Tuesday, August 07, 2007

Provokator

Oleh : MS Iman

''Hai Orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.'' (QS Al-Ahzab [33]: 70-71).

Ayat tersebut di atas memerintahkan manusia untuk mengucapkan kata-kata yang benar dan membawa kemaslahatan. Setelah menjelaskan dampak positif dari petunjuk tersebut baru disusulnya penjelasan itu dengan ayat selanjutnya (QS Al-Ahzab [33]: 72), yaitu tentang kebodohan manusia dan menganiaya diri.

Alquran mengingatkan penerima informasi (komunikan) supaya menimbang bahkan menyelidiki dengan seksama informasi yang disampaikan khususnya oleh orang-orang yang tidak terpercaya (QS Al-Hujurat [49]: 6). Di sisi lain kepada pembawa berita (komunikator), Alquran berpesan, ''Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan sampaikanlah perkataan yang sadid.'' (QS Al-Ahzab [33]: 70). Arti sadid dalam ayat tersebut bukan hanya berarti benar, lebih jauh dari itu sadid berarti perkataan yang menghasilkan sesuatu yang berguna.

Adam AS teperdaya oleh rayuan iblis, 'Hai Adam, maukah aku tunjukkan pohon kekekalan dan kekuasaan abadi?'' (QS Thaha [20]: 120). Informasi iblis itu ternyata bukan hanya salah tetapi sekaligus menyesatkan.

Salah satu contoh kebodohan dan penganiayaan diri, yaitu perbuatan provokasi. Perspektif Islam tentang provokasi, dapat dilihat dalam sebuah hadis, ''Innal ghilla wal hasada ya'kulaanil hasanaati kamaa ta'kulunnaarul hathab'' (Dengki dan hasut keduanya dapat menghapus amal kebaikan seperti api membakar kayu, Muttafaq 'alaih). Sedangkan pandangan Islam tentang provokator dapat dilihat dalam QS Al-Falaq [113] ayat 5. Ayat tersebut mengingatkan kita agar berlindung kepada Allah SWT dari kejahatan provokator apabila ia memprovokasi.

Provokasi termasuk perbuatan dosa dan dilarang dalam Islam. Menurut al-Faqih, ketika dalam hati terselip rasa hasut maka jangan dilahirkan (jangan dinyatakan), sebab Allah hanya akan memaafkan selama hasut itu belum diucapkan dan dilakukan. Terlalu murah jika menjadikan diri kita seorang provokator!

Hikmah Online, 07-08-2007

Monday, August 06, 2007

Ragu-ragu

Oleh : Dudu Badrusalam

''Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.'' (QS Al-Hujurat [49]: 15).

Ayat di atas memberikan penjelasan dan penegasan bahwa dasar keimanan kepada Allah dan rasul-Nya harus disertai keteguhan dan keyakinan dalam hati sepenuhnya. Tidak boleh ada keraguan dalam meyakini wahyu Allah dan ajaran rasul-Nya. Ragu-ragu adalah tiadanya keteguhan dan keyakinan dalam hati.

Segala bentuk ibadah keseharian kita, tentunya akan menghasilkan pahala apabila disertai dengan keyakinan dalam hati dan semata-mata hanya mengharap ridha Allah SWT. Karena percuma jika kita berjihad dan bersedekah, misalnya, tetapi masih disertai keraguan kebenaran janji Allah dalam Alquran tentang pahala yang akan diberikan nanti di hari akhir. Allah memerintahkan kita untuk pe-de dan menjauhkan keragu-raguan. Ragu-ragu atau syak merupakan penyakit hati yang harus dibersihkan oleh setiap Muslim yang beriman. Karena selain bersih jasmani, kebersihan rohani juga harus dijaga.

Firman Allah, ''Sesungguhnya Allah mencintai orang yang senantiasa bertobat dan senantiasa membersihkan dirinya.'' (QS Al-Baqarah [2]: 222). Dan Rasulullah SAW pun bersabda, ''Allah tidak menerima shalat seseorang tanpa bersuci.'' (HR Bukhari dan Muslim). Meyakini dan mengaplikasikan seruan Allah dan ajaran rasul-Nya merupakan salah satu jalan untuk memperteguh hati kita dan menghilangkan rasa ragu dalam diri yang selalu gundah. Bila kebenaran yang kita pegang, maka tak perlu gamang untuk melangkah. Apalagi bila keimanan pada Allah dan Rasul-Nya menjadi dasar langkah kita.

''Sungguh Allah tak akan menzalimi seseorang, walau sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan (sekecil zarrah) niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya.'' (QS Annisa [4]: 50). Untuk itu, mumpung kita masih bisa menghela napas dan menghirup udara segar duniawi, mari sucikan diri kita dari penyakit keragu-raguan agar terhindar dari sikap zalim. Perteballah keyakinan kita kepada Allah SWT beserta wahyu yang disampaikan rasul-Nya, sehingga kita menjadi orang yang beruntung di dunia maupun di akhirat. Insya Allah.

Hikmah Republika Online, 04-08-2007

Friday, August 03, 2007

Lidah

Oleh : Bahron Anshori

''Siapa yang menahan lidahnya, pasti Allah menutupi auratnya, siapa yang dapat menahan amarahnya, pasti Allah akan melindunginya dari siksa-Nya, dan siapa yang memohon ampunan kepada Allah, pasti Allah menerima permohonan ampunannya.'' (HR Ibnu Abu Dunya).

Bahaya lidah sangat besar dan tidak ada orang yang bisa selamat darinya kecuali orang yang diam. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa yang diam, pasti selamat.'' (HR Tirmidzi).

Menjaga lidah memang tidak mudah. Salah satu dampak dari bahaya lidah adalah banyaknya fitnah yang bermunculan di mana-mana, hampir tak ada satu tempat pun di dunia ini yang selamat dari fitnah akibat lidah. Benar apa kata peribahasa bahwa lidah lebih tajam dari pedang.

Orang yang mampu menjaga lidah, berarti dialah orang yang akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Suatu ketika, Sahl bin Sa'ad RA bertanya kepada Rasulullah SAW, ''Wahai Rasululullah, apakah jalan keselamatan?'' Nabi menjawab, ''Tahanlah lidahmu, perluaslah rumahmu dan tangisilah kesalahanmu.'' (HR Tirmidzi).

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua janggutnya (lidah) dan dua kakinya, maka aku menjamin baginya surga.'' (HR Bukhari).

Betapa hebatnya orang yang mampu menjaga lidah. Sampai-sampai dikatakan dalam sebuah hadis bahwa orang yang menjaga lidahnya, mampu mengalahkan setan. ''Simpanlah lidahmu kecuali untuk kebaikan, karena sesungguhnya dengan demikian, kamu dapat mengalahkan setan.'' (HR Thabrani).

Begitulah para sahabat, mereka lebih rela mengunci lidahnya dari berkata yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya. Setiap perkataan pasti ada yang mencatat dan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT. Karena itu, menjaga lidah merupakan salah satu upaya untuk menghindari hisab di akhirat. ''Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.'' (QS Qaaf: 18). Wallahua'lam.

Hikmah Republika Online, 03-08-2007

Thursday, August 02, 2007

Kesejahteraan

Oleh : Luthfi Arif

Secara kodrati, manusia senantiasa memimpikan keadaan sejahtera. Kesejahteraan biasa digambarkan sebagai kebahagiaan, ketenangan, dan kenyamanan yang dirasakan selama menjalani hidup dan kehidupan.

Dalam konsep kehidupan bernegara, manusia juga ingin sejahtera dalam berbagai hal. Kesejahteraan tersebut tentu akan dapat diperoleh jika syarat-syaratnya terpenuhi.

Disebutkan dalam Alquran, ''Maka, sembahlah Tuhan pemilik Ka'bah ini (Allah). Yang telah mengaruniakan makanan ketika kamu lapar. Dan, memberikan keamanan ketika kamu takut.'' (QS Quraisy [106]: 3-5).

Ayat di atas, secara tidak langsung, menggambarkan tiga syarat utama memperoleh kesejahteraan bernegara. Pertama, setiap elemen negara, rakyat, maupun pemerintah, harus selalu melandasi diri dengan keyakinan beribadah. Karena pada dasarnya, tugas utama manusia di dunia adalah beribadah. ''Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.'' (QS Adz-Dzariyat [51]: 56).

Kedua, menjalani kehidupan tentunya tidak lepas dari permasalahan memenuhi kebutuhan. Setiap orang memiliki kadar kebutuhan yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidupnya. ''Sesungguhnya Kami ciptakan segala sesuatu sesuai dengan kadarnya.'' (QS Al-Qamar [54]: 49). Ini artinya, segala hal menyangkut ekonomi rakyat harus diutamakan. Karena masalah kemiskinan akan menimbulkan banyak hal buruk, semisal kriminalitas. Atau yang lebih parah, dapat menyebabkan kekafiran.

Dalam sebuah hadis dari sahabat Abu Sa'id al-Khudri, Rasulullah SAW pernah berdoa memohon dijauhkan dari kekafiran dan kemiskinan. Maka, Abu Sa'id al-Khudri bertanya, ''Ya Rasul, apakah kekafiran dan kemiskinan dapat menjadi setara?'' Rasul menjawab, ''Ya.'' (HR Ibnu Hibban).

Ketiga, terciptanya kondisi yang aman dan situasi yang terkendali. Kebutuhan akan keamanan hidup ini juga merupakan manifestasi dari sabda Rasulullah SAW, di mana setiap orang harus senantiasa saling menjaga diri dan perilakunya dari menyakiti orang lain. ''Muslim yang sempurna adalah orang yang menjaga lisan dan tangannya dari menyakiti Muslim lainnya.'' (HR Bukhari).

Hikmah Republika Online, 02-08-2007

Wednesday, August 01, 2007

Keutamaan Ilmu

Oleh : Guslaeni Hafid

Sepuluh orang Khawarij datang mengunjungi tempat Saidina Ali bin Abi Thalib. Mereka bermaksud menguji sejauh mana kedalaman ilmu yang dikuasai oleh Ali bin Abi Thalib. Mereka penasaran karena Rasulullah dalam sabdanya pernah menggambarkan bahwa bila beliau adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintunya.

"Hai Ali, manakah yang lebih mulia, ilmu atau harta benda, dan terangkan sebab-sebabnya?'' ujar salah seorang dari mereka. Di antara 10 jawaban sayyidina Ali adalah, ''Pengetahuan dan ilmu adalah warisan para nabi. Sedangkan harta kekayaan adalah warisan Fir'aun, Qorun, Syadad, dan sejenisnya. Maka, ilmu lebih mulia daripada harta.''

Lalu Ali menguraikan penjelasannya: ilmu lebih mulia daripada harta benda, karena yang memelihara ilmu adalah empunya. Sedangkan harta, empunya harus menjaga. Ilmu lebih mulia daripada harta, karena orang yang berilmu banyak sahabatnya, sedangkan orang yang banyak hartanya lebih banyak musuhnya. Saidina Ali menjelaskan, ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu bila disebarkan akan bertambah. Tetapi, harta benda jika disebarkan atau dibagikan akan berkurang.

Ilmu juga lebih mulia daripada harta benda, karena ilmu tidak dapat dicuri, sedangkan harta benda dapat dicuri dan dapat hilang. Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu tidak dapat binasa dan tidak dapat habis selamanya, sedangkan harta benda bisa habis atau bisa lenyap karena masa atau usia. Ilmu lebih mulia daripada harta benda, karena ilmu memberi sinar kebaikan, menjernihkan pikiran dan hati serta menenangkan jiwa. Sedangkan harta benda pada umumnya menggelapkan jiwa dan hati.

Ilmu lebih mulia dari harta benda, karena orang yang berilmu lebih mendorong untuk mencintai Allah, merendahkan diri, bersifat berprikemanusiaan. Sedangkan harta benda membangkitkan orang pada sifat-sifat sombong, congkak, takabur, dan angkuh.

''Ali memang orang pandai. Ia pantas dikatakan sebagai pintu gerbangnya ilmu. Sedangkan Nabi Muhammad SAW sebagai kotanya ilmu,'' ujar orang-orang Khawarij setelah puas dengan jawaban yang diberikan Ali.

Hikmah Republika Online, 01-08-2007