Thursday, January 25, 2007

Ketenangan Hati

Oleh : Sholehan Latundo

Dalam banyak literatur yang membahas tentang spiritual, tasawuf, psikologi, hati dan mental, baik itu ulama khalaf maupun penulis kontemporer pada umumnya mereka sepakat akan tiga hal. Tiga hal ini dapat menghilangkan depresi, kegelisahan, keresahan, dan kebimbangan. Tiga hal ini pula yang dapat membawa pada ketenangan dan kebahagiaan.

Apa tiga hal itu? Pertama, selalu mengikatkan hati kepada Tuhan, menyembah, serta tunduk dan berserah diri kepada-Nya. Dalam Islam, ini merupakan perkara keimanan yang totalitas (iman al-kubra). Setiap Muslim menyadari kehidupan ini berjalan berdasarkan ketentuan dalam qadha dan qadar-Nya. ''Tiada ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Tuhan; dan barang siapa yang beriman kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.'' (QS At-Taghabun (64): 11)

Para penulis Barat yang terkenal seperti Alexis Carlyle, Karsey Marson, dan Dale Carnegie mengakui yang bisa menyelamatkan Barat yang kini telah ambruk adalah keimanan kepada Tuhan. Mereka menyebutkan penyebab utama dan rahasia terbesar dari terjadinya tindakan bunuh diri yang kini menjadi fenomena di Barat adalah kekafiran dan keberpalingan orang-orang Barat dari Tuhan.

Kedua, memaafkan dan melupakan (forgive and forgot). Dengan memaafkan dapat membuang benih-benih kebencian, dendam, kemarahan, dan kedengkian yang membuat hati menjadi buram dan dapat menenggelamkan dalam kebinasaan dan kehancuran. Melupakan berarti menutup berkas-berkas masa lalu dengan semua kegetirannya.

Terakhir, pemahaman hari inilah yang Anda jalani, bukan hari kemarin yang telah berlalu dengan segala kebaikan dan keburukannya. Hari ini pula, sebaiknya Anda persembahkan kualitas keimanan, kasih sayang, keindahan akhlak, ketaatan pada Tuhan, dan keseimbangan dalam kehidupan Anda. ''Sesungguhnya hari ini adalah beramal dan tidak ada hisab, dan esok adalah hisab dan tidak ada lagi beramal.'' (Ali ibn Abi Tholib).

Masa depan datang dengan sendirinya, hadapi dengan wajar dan optimistis. Nabi SAW bersabda, ''Barang siapa tidur dengan tenang di tempat tidurnya, sehat badannya, memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dia telah mendapatkan dunia dan semua kenikmatannya.'' Bukankah kondisi di atas adalah keadaan yang terjadi pada kebanyakan orang. Namun, mereka tidak pernah menikmatinya sebagai kebaikan dan kebahagiaan. Naudzu billahi min zalik.

Sumber : Hikmah Republika Online, 25-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=280086&kat_id=14

Wednesday, January 24, 2007

Pertemanan

Sesuai sunatullah, manusia membutuhkan teman. Namun harus disadari bahwa lingkungan pergaulan yang heterogen sangat signifikan dalam membentuk karakter dan akhlak seseorang. ''...maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.''" (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Beberapa faktor harus diperhatikan dalam menjalin pertemanan yang diridhai-Nya. Pertama, saling menasehati ke arah kebaikan dan saling mengingatkan jika ada kesalahan atau kekhilafan. Kedua, tidak meremehkan atau memandang rendah pada teman. Ketiga tidak iri atau dengki atas karunia yang diberikan kepada teman oleh Allah SWT. Keempat, tidak berprasangka buruk kepada teman. Kelima, tidak membicarakan aib teman. Keenam, menjaga rahasia yang diamanahkan oleh teman.

Jika kita banyak bergaul dengan orang-orang yang saleh, maka dengan izin Allah SWT akhlak dan perilaku kita akan terimbas oleh kesalehan mereka. Demikian juga sebaliknya. ''Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau hanya akan mencium aroma harumnya itu.

Sedangkan peniup api pandai besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap.'' (HR Bukhari) Pertemanan yang dijalin semata-mata untuk mendapatkan keuntungan duniawi bersifat sementara. Sedangkan pertemanan yang paling mulia adalah yang dijalin karena Allah SWT. Tidak ada tujuan apa pun dalam pertemanan mereka, selain untuk mendapatkan ridha-Nya. Inilah pertemanan sejati hingga hari akhir.

''Dan ingatlah hari ketika orang yang zalim menggigit kedua tangannya seraya berkata, aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku dulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya, dia telah menyesatkan aku dari Alquran ketika Alquran itu datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.'' (QS Al-Furqaan [25]: 27-29).

Ayat di atas menggambarkan betapa besar penyesalan di hari akhir, karena pertemanan akrab yang telah menyesatkan dari jalan-Nya. Suatu penyesalan yang terlambat, dan merupakan resiko yang diakibatkan oleh kelalaian dalam berteman. Semoga kita menjadi orang yang dicari Allah di hari pembalasan, seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, ''Sesungguhnya Allah pada hari kiamat berseru, di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini akan Aku lindungi mereka dalam lindungan-Ku, pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali perlindungan-Ku.'' (HR Muslim). Amien.

Sumber : Hikmah Republika Online, 24-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=279938&kat_id=14

Tuesday, January 23, 2007

Terawasi

Oleh : Mujiyanto

Suatu malam Khalifah Umar bin Khathab berkeliling untuk mengamati kondisi rakyatnya. Di depan suatu rumah, dia mendengar perdebatan antara seorang ibu dan anak perempuannya. ''Wahai anakku, tambahkan sedikit air ke dalam susu itu untuk menambah pemasukan kita hari ini. Karena saat ini kita sedang membutuhkan banyak uang,'' kata sang ibu.

Anak perempuannya menjawab, ''Wahai ibu, tidakkah ibu mendengar Rasul kita mengajarkan bahwa 'siapa saja yang menipu maka dia tidak termasuk golongan kami' .... Tidakkah engkau ingat bahwa Amirul Mukminin telah mengingatkan hal itu dan melarang orang banyak untuk mengerjakannya?'' Sang ibu menyahut, ''Hai anakku! Siapa yang memberi tahu Umar? Kita ini sedang berbicara di waktu malam, tak seorang pun melihat kita.''

Anak itu pun membalas jawaban itu dengan mengatakan, ''Wahai ibu, meskipun Umar tidak melihat kita dan dia sedang tidur saat ini, tetapi Allah melihat kita. Dia tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur. Bertakwalah wahai ibuku! Terimalah apa yang diberikan Allah untuk kita secara halal.'' Usai mendengar perdebatan itu Umar bertolak pulang sesudah meninggalkan tanda terhadap rumah itu. Selanjutnya dia memanggil anaknya Ashim di waktu pagi. Ashim diminta mencari rumah itu dan meminang gadis yang shalihah itu. Akhirnya gadis itu menjadi istri Ashim.

Andai perangai gadis putri penjual susu itu ada di kehidupan kaum Muslimin di negeri ini, alangkah indahnya. Sungguh negeri ini akan sejahtera. Betapa tidak, tidak akan ada korupsi, manipulasi, pungutan liar, mark up, dan segala jenis bentuk penipuan lainnya. Orang akan takut melakukan tindakan itu karena merasa diawasi oleh Zat Yang Maha Pengawas.

Gadis itu telah mempraktikkan secara nyata sifat ihsan yakni merasa diawasi oleh Allah kendati dia tidak melihat Allah. Sifat ini merupakan pembentuk pribadi mulia para sahabat Rasulullah. Sifat ini akan menjadikan kita selalu mengontrol diri atas seluruh perbuatan yang kita lakukan.

Ihsan mendorong setiap diri kita untuk menjadikan Allah sebagai tujuan hidup dan tempat bergantung. Dengan sifat tersebut, kita merasa tidak ridha kalau amal perbuatan kita dan saudara-saudara, teman, sahabat, keluarga, masyarakat, akan mendatangkan murka-Nya. Sebaliknya kita akan merasa bahagia jika Dia meridhai amal-amal kita semua.

Dalam situasi negeri yang carut-marut seperti saat ini, mau tidak mau sifat ini harus dilahirkan kembali. Para penguasa, birokrat, pegawai negeri, pegawai swasta, pedagang, petani, buruh, dan sebagainya perlu ingat bahwa kita semua dalam pengawasan Allah. Tak ada hal yang paling kecil sekalipun yang lepas dari pengawasan-Nya.

Sumber : Hikmah Republika Online, 23-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=279776&kat_id=14

Friday, January 19, 2007

Berhijrah

Oleh : Suprianto

Tidak terasa tahun 1427 H akan segera meninggalkan kita dan sebentar lagi menyongsong Tahun Baru 1428 H. Pergantian waktu setahun menunjukkan umur kita bertambah satu, tetapi kesempatan hidup kita di dunia berkurang pula satu tahun. Waktu laksana air yang mengalir ke hilir yang takkan pernah kembali ke hulu.

Setiap Muslim mestinya merenungi juga peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya penamaan tahun qomariah, yaitu hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Menurut Muhammad Rasyid Ridla, dalam tafsir Al-Manar, ada tiga sebab hijrah, dua bersifat individual dan yang satu bersifat sosial politik. Pertama, karena tidak ada kebebasan dalam melaksanakan ajaran agama. Kedua, karena tidak ada pengajaran agama di tempat lain yang tidak terdapat ulama. Ketiga, karena adanya tekanan politis dari penguasa zalim yang dilakukan secara massal.

Dari uraian tadi dapat disimpulkan hakikat hijrah sebenarnya merupakan usaha perubahan kualitas hidup, baik yang bersifat mental maupun moral sosial. Apabila dilihat dari kajian sejarah, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya melakukan hijrah bukan karena takut kezaliman kafir Quraisy Makkah sehingga dianggap sebagai pengungsian atau pengusiran. Hijrah merupakan perintah Allah SWT di samping strategi besar yang dilakukan seorang pemimpin untuk membangun kekuatan baru yang tangguh. Juga sebagai suatu stategi kebangkitan Islam.

Hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan babak awal kebangkitan Islam. Dari hijrah, Rasulullah SAW bisa membangun masyarakat baru di Kota Madinah. Masyarakat yang terformulasikan dalam bentuk persaudaraan ukhuwah yang sangat kental, antara orang-orang yang berhijrah dari Makkah atau kaum Muhajirin dan penduduk Kota Madinah yang membantu mereka atau lebih dikenal kaum Anshar.

Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk hijrah dari meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah SWT. ''Dan berbuat dosa tinggalkanlah.'' (QS Al Muddatstsir [74]: 5). Sebuah hadis Nabi menyebutkan, orang yang hijrah itu ialah orang yang meninggalkan larangan Allah.

Jika demikian dahsyatnya pengaruh hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW untuk menuju perubahan ke arah yang lebih baik, tunggu apa lagi. Mari kita berhijrah menjadi pribadi Muslim yang lebih baik.

Sumber : Hikmah Republika Online, 19-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=279482&kat_id=14

Wednesday, January 17, 2007

Syahwat Politik

Oleh : A Ilyas Ismail

Tahta atau kuasa (al-jah) selalu diminati, bahkan diperebutkan oleh manusia sepanjang waktu. Alasannya, karena manusia mengira, dengan memiliki kuasa, ia akan menggapai apa saja yang menjadi keinginannya. Tak heran bila daya tarik (baca: syahwat) politik itu begitu tinggi. Menurut Imam Ghazali, syahwat politik itu jauh lebih besar ketimbang syahwat harta. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh tiga faktor.

Pertama, kuasa dapat mendatangkan harta. Dengan kuasa, manusia bisa menumpuk kekayaan. Tidak demikian sebaliknya. Diakui, untuk mencapai kuasa, manusia butuh harta, tetapi tidak setiap orang yang telah menghabiskan begitu banyak harta, dengan sendirinya ia mencapai tahta.

Kedua, kuasa menimbulkan efek popularitas yang luar biasa. Begitu seorang dinobatkan sebagai pejabat, demikian Ghazali, maka seketika itu ia akan menjadi masyhur di seluruh pelosok negeri. Dalam dunia modern, popularitas itu akan bertambah besar bila ia mampu memanfaatkan dukungan media massa.

Ketiga, pengaruh kuasa relatif lebih dalam dan tahan lama. Pada sebagian orang, pengaruh kuasa menimbulkan loyalitas yang sangat tinggi, bahkan kesetiaan sampai mati. Tidak demikian dengan pengaruh harta.

Kuasa sebagai sesuatu yang secara alamiah digandrungi manusia, tentu bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama. Setiap orang, demikian Ghazali, boleh mendapatkannya, asalkan dengan cara yang baik (halal) dan dipergunakan untuk kebaikan pula. Dalam hal ini, ada dua hal menurut Ghazali yang perlu diperhatikan.

Pertama, kita tak boleh mencapai tahta dengan cara-cara yang tidak halal, seperti menipu, berbuat curang atau menunjukkan kualitas agama dengan berpura-pura menjadi orang shaleh. Perbuatan yang terakhir ini dinilai Ghazali sebagai kejahatan besar (jarimah) terhadap agama.

Kedua, setelah mencapai kuasa, orang diminta agar bekerja keras dan menggunakan kuasa yang dimiliki untuk kesejahteraan rakyat. Di sini berlaku kaidah tasharruf al-imam manuth bi al-mashlahat (sepak terjang seorang imam harus relevan dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat).

Demi kesejahteraan rakyat, ia dituntut agar berbuat jujur dan adil, serta amanah. Inilah makna firman Allah, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.'' (QS An-Nisa [4]: 58). Wallahu a'lam.

Sumber : Hikmah Republika Online, 16-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=279049&kat_id=14

Berhias dengan Akhlak

Oleh : H Muhammad Irfan Helmy

Setiap manusia mempunyai fitrah untuk menghiasi diri. Tapi sayangnya, banyak manusia yang tidak mengetahui perhiasan yang terbaik bagi dirinya. Ada yang menghiasi diri dengan logam mulia seperti emas dan berlian. Ada pula yang menghiasi diri dengan kosmetik. Semua ditujukan guna menampilkan diri dalam bentuk yang paling indah.

Bagi seorang Muslim, perhiasan terindah adalah akhlak mulia. Inilah perhiasan yang dapat dikenang sepanjang masa. Inilah perhiasan yang menjadikan pemiliknya mulia di hadapan manusia dan Allah SWT. Dengan akhlak mulia, seorang Muslim akan terlihat anggun dan cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkesima dan kagum oleh keindahan akhlaknya.

Dalam pandangan Rasulullah SAW, akhlak mulia menjadi bukti kemuliaan seorang Muslim. Beliau bersabda, ''Sesungguhnya orang yang paling baik keislamannya adalah yang paling indah akhlaknya.'' (HR. Ahmad) Menghiasi diri dengan akhlak mulia berarti mempertegas diri sebagai manusia, karena dengan akhlak akan terlihat perbedaan manusia dengan hewan. Dengan akhlak pula akan terlihat sisi keteraturan hidup manusia yang tidak dimiliki hewan.

Dengan demikian, manusia yang tidak peduli dengan akhlak sesungguhnya ia sedang menuju derajatnya yang paling rendah. Tanpa akhlak, manusia akan seenaknya melakukan apa saja tanpa peduli apakah tindakannya berbahaya bagi orang lain atau tidak.

Allah SWT berfirman, ''Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Kemudian Kami kembalikan manusia kepada derajat yang paling rendah.'' (QS al-Tin [95]: 5-6).

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, akhlak mulia menjadi kunci keberlangsungan suatu masyarakat. Artinya, keberadaan suatu masyarakat hanya bernilai jika telah mempraktikkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, jika akhlak mulia sudah ditinggalkan oleh suatu masyarakat, maka lonceng kematian masyarakat itu hanya tinggal menunggu waktu.

Masyarakat tanpa akhlak mulia seperti masyarakat rimba di mana pengaruh dan wibawa diraih dari keberhasilan menindas yang lemah, bukan dari komitmen terhadap integritas akhlak dalam diri.

Dalam Islam, akhlak bukanlah ajaran yang layak dipandang sebelah mata. Perhatian Islam terhadap akhlak sama seperti perhatian terhadap masalah akidah dan syariah. Ini menjadi bukti bahwa Islam bukanlah agama yang hanya kaya dengan teori normatif tetapi juga agama yang menekankan kepada pengamalan praktis.

Perjalanan dakwah Islam membuktikan bahwa keberhasilan Nabi Muhammad SAW berdakwah bukanlah hanya karena keluhuran ajaran Islam tetapi juga karena akhlak mulia yang langsung dipraktikkan oleh beliau dalam setiap langkah kehidupannya.

Sumber : Hikmah Republika Online, 17-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=279217&kat_id=14

Monday, January 15, 2007

Optimisme

Oleh : Ilham Maulana

Optimistis merupakan keyakinan diri dan salah satu sifat baik yang dianjurkan dalam Islam. Dengan sikap optimistis, seseorang akan bersemangat dalam menjalani kehidupan, baik demi kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat kelak. Allah SWT berfirman, ''Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.'' (QS Ali Imran [3]: 139)

Optimistis merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap manusia, khususnya seorang Muslim. Karena dengan optimistis, seorang Muslim akan selalu berusaha semaksimal mungkin mencapai cita-cita dengan penuh keikhlasan karena Allah.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, ''Telah bersabda Rasulullah SAW: Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah, tetapi di tiap-tiap (seorang Mukmin) itu ada kebaikan, beringinlah (optimistis) kepada apa-apa yang memberi manfaat.'' (HR Bukhari)

Dari ayat dan hadis tersebut di atas, kita harus yakin, mantap, dan tidak ragu atau bimbang jika mempunyai keinginan yang kuat untuk melaksanakan segala cita-cita yang sesuai dengan jalan-Nya. Allah tidak menyukai orang-orang yang berputus asa atau lemah karena sikap demikian membuka pintu bujuk rayu setan.

Akan tetapi, optimistis tanpa perghitungan dan pertimbangan yang tepat juga merupakan sesuatu kekonyolan (tidak dibenarkan) yang dapat dibenci Allah. Sikap pesimistis merupakan halangan utama bagi seseorang untuk menerima tantangan. Orang yang pesimistis pasti selalu merasa hidupnya penuh dengan kesulitan. Ia selalu merasa berada dalam ketidakberdayaan menghadapi masa depan. Sikap seperti ini sangat dibenci oleh Islam.

Allah SWT berfirman, ''Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.'' (QS Al-Baqarah [2]: 147)

Optimisme sangat diperlukan dalam kehidupan kita sehari-hari guna mancapai sebuah kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Dengan adanya sikap optimistis dalam diri setiap Muslim, kinerja untuk beramal akan meningkat dan persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik. Doa, ikhtiar, dan tawakal harus senantiasa mengiringi, kerena hanya dengan kekuasaan-Nya apa yang kita harapkan dapat terwujud.

Ada enam hal yang dapat membangkitkan optimisme dalam kehidupan kita. pertama, temukan hal-hal positif dari pengalaman masa lalu. Kedua, tata kembali target yang hendak kita capai. Ketiga, pecah target besar menjadi target-terget kecil yang segera dapat dilihat keberhasilannya. Keempat, bertawakal kepada Allah setelah melakukan ikhtiar. Kelima, ubah pandangan diri kita terhadap kegagalan. Keenam, yakin bahwa Allah SWT akan menolong dan memberi jalan keluar. Wallahu a'lam bis shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 15-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=278907&kat_id=14

Tidak Kebal Hukum

Oleh : Muhbib Abdul Wahab

Suatu ketika khalifah Ali bin Abi Thalib kehilangan baju besi kesayangannya dalam sebuah perjalanan di malam hari. Keesokan harinya, ia mendapatinya berada pada seorang ahli zhimmi (non-Muslim) yang hendak menjualnya di pasar Kufah. ''Ini baju besiku yang terjatuh dari untaku,'' ujar Ali, di hadapan ahli zhimmi. ''Tidak, ia milikku, wahai Amirul Mukminin,'' katanya.

Ali tetap bersikukuh bahwa baju besi itu adalah miliknya dan belum pernah dijual atau dihibahkan kepada siapa pun. Ahli zhimmi itu kemudian meminta persengketaan itu diselesaikan melalui seorang hakim Kufah, yaitu Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi. Ali pun sepakat untuk itu.

Keduanya menemuinya di peradilan. Hakim menanyakan persoalan menurut versi masing-masing. Kemudian ia menoleh kepada Ali dan memintanya untuk menghadirkan saksi.

Tapi hakim menolak salah satu saksi yang dihadirkan Ali, yaitu Hasan, anaknya. Ali menjawab, ''Subhanallah! Seorang yang dijamin akan menjadi penghuni surga (Hasan) kesaksiannya tidak diterima. Tidakkah engkau pernah mendengar Rasulullah SAW pernah menyatakan Hasan dan Husain adalah dua pemuda yang menjadi penghuni surga.'' Kata Sang Hakim, ''Benar, wahai Amirul Mukminin. Tapi sebagai hakim saya tidak membolehkan kesaksian seorang anak kepada ayahnya.''

Ketika Ali mengalihkan pandangannya kepada ahli zhimmi, ia berkata, ''Ambillah baju besi itu, karena aku tidak mempunyai saksi selain kedua orang itu.''

Ahli zhimmi itu kemudian menyatakan, ''Tapi aku bersaksi baju besi ini adalah milikmu, wahai Amirul Mukminin. Amirul Mukminin menghakimiku di depan hakimnya sendiri, sementara hakim memutuskan perkara dan memenangkanku!'' Ahli zhimmi itu kemudian bersaksi agama yang menyuruh hal tersebut pastilah benar. Setelah itu, ahli zhimmi menyatakan masuk Islam. Ali terharu dan menyatakan menghibahkan baju besi dan kuda untuknya.

Kisah tersebut memberi tiga pelajaran berharga kepada kita semua. Pertama, tidak ada orang yang kebal hukum, termasuk pemimpin tertinggi (Amirul Mukminin) saat itu, Ali Bin Abi Thalib. Dalam berperkara pemimpin tidak selamanya harus dimenangkan. Kekuasaan tidak dapat mengintervensi proses peradilan. Hukum tidak boleh tunduk kepada kekuasaan, tetapi harus membela kebenaran dan keadilan.

Kedua, keadilan hukum harus ditegakkan kepada siapun, termasuk kepada non-Muslim. Syuraih adalah hakim teladan yang mampu bersikap objektif dalam memutuskan perkara, meskipun yang berperkara itu adalah menantu Rasulllah SAW.

Ketiga, pentingnya kesadaran dan sikap taat terhadap putusan hukum. Ali dengan legowo mau menerima dan patuh terhadap keputusan hakim yang diangkat sendiri, Syuraih. Supremasi hukum memang harus ditegakkan dan dipatuhi oleh semua, tanpa pandang bulu.

Sumber : Hikmah Republika Online, 13-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=278738&kat_id=14

Thursday, January 11, 2007

Lautan Hidup

Oleh : Muhamad Abduh

Laut adalah muara dari segala bentuk perairan yang ada di muka bumi. Dari air lembah mengalir ke sungai di dataran yang lebih rendah, lalu bermuara ke laut, begitulah sifat aliran air.

Kehidupan manusia juga memiliki muara yang akan menjadi pemberhentian terakhirnya. Umar bin Khathab RA pernah berkata, ''Sesungguhnya lautan itu ada empat macam. Dosa adalah lautan hawa nafsu, nafsu adalah lautan syahwat, kematian adalah lautan umur, dan kubur adalah lautan penyesalan.''

Jika kita renungkan dan mencoba mengambil hikmah dari perkataan Umar tersebut, terasa sangat mendalam sekali pemahaman beliau akan hidup ini. Beliau mencoba memperingatkan kita bahwa segala bentuk hawa nafsu pasti akan bermuara kepada sifat dosa. Marah, iri hati, dan dengki, semua dikendalikan oleh hawa nafsu, dan tidak ada kebaikan sedikit pun dari sifat tersebut, semua bermuara pada dosa jika kita tidak dapat membendungnya dengan bersabar.

Begitupun dengan syahwat yang ada pada diri setiap manusia, selalu akan bermuara pada nafsu, jika dibiarkannya syahwat itu terlalu lama, nafsulah yang kemudian akan menggerakkan hati dan tubuhnya, bukan akal pikiran yang sehat dan jernih.

Lihatlah bahwa dua lautan pertama yang disebutkan oleh Umar dijawab dengan dua lautan kedua yang disebutkan berikutnya. Beliau memperingatkan setiap kita pasti akan mati, dan kematian itu adalah muara dari umur, sehingga tidak akan terelakkan lagi. Berapa pun umur yang dianugerahkan Allah SWT kepada kita, pasti akan ada akhirnya. Oleh karena itu, persiapkanlah diri kita masing-masing untuk menghadapi kematian itu, perbanyaklah bekal amal saleh, karena setelah kematian itu tidak ada lagi yang bisa kita lakukan.

Dan jika ternyata lebih banyak keburukan yang kita lakukan daripada kebaikan, maka kubur akan menjadi lautan penyesalan yang pasti akan datang. Menangis, mengaduh, memohon agar dikembalikan lagi ke dunia sudah tidak berarti lagi, semua sudah terlambat. Sudah habis kesempatan yang Allah berikan sepanjang umur kita.

Allah SWT berfirman, ''Dan pada hari itu diperlihatkan neraka jahanam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia (manusia) mengatakan, ''Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini. Maka, pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.'' (QS Al Fajr [89]: 23-26). Namun, belum terlambat untuk berbenah diri. Wallahu a'lam.

Sumber : Hikmah Republika Online, 11-01-2007

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=278456&kat_id=14

Wednesday, January 10, 2007

Persoalan Hidup

Oleh : Bahron Anshori

Suatu hari, Imam Al Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu ia mengajukan enam pertanyaan. Pertama, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya.

Imam Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "mati". Sebab kematian adalah janji Allah SWT. "Setiap yang bernyawa (pasti) akan merasakan mati." (QS Ali Imran [3]: 185). Lalu Imam Ghazali meneruskan pertanyaan kedua, "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang diberikan adalah benar.

Tapi yang paling benar adalah "masa lalu". Siapa pun kita, bagaimana pun kita, dan betapa kayanya kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Imam Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga, "Apa yang paling besar di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghazali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "nafsu".

Banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya. Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu. Karena itu, kita harus hati-hati dengan hawa nafsu ini, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka. Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?" Di antara muridnya ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban hampir benar, kata Imam Ghazali, tapi yang paling berat adalah "memegang amanah." Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?" Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghazali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan "shalat".

Lalu pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?". Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang...?" Benar kata Imam Ghazali, tetapi yang paling tajam adalah "lidah manusia". Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Sudahkah kita menjadi insan yang selalu ingat akan kematian, senantiasa belajar dari masa lalu, dan tidak memperturutkan nafsu? Sudahkah kita mampu mengemban amanah sekecil apapun, senantiasa menjaga shalat, dan selalu menjaga lisan kita?

Sumber : Hikmah Republika Online, 10-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=278340&kat_id=14

Tuesday, January 09, 2007

Ikhlas dan Tawakal

Oleh : Alwi Shahab

Kita diperintahkan oleh banyak ayat suci Alqur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW agar dalam hidup yang penuh kemelut dan cobaan ini bersikap ikhlas. Karenanya para ulama dan orang-orang bijak menyatakan, ''Beruntunglah orang-orang yang ikhlas karena dalam hidupnya ia semata-mata mencari keridhaan Allah.'' Setiap hari kita juga berikrar, ''Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.''

Kalau saja kita benar-benar menghayati komitmen yang kita ucapkan saat shalat itu, dipastikan setidaknya kita akan dijauhkan dari segala perbuatan tercela. Seperti korupsi, suap menyuap, dan mengumpulkan kekayaan tidak halal, yang oleh Islam dinyatakan sebagai dosa besar. Kita akan mendapati banyak ayat dan hadis yang menjelaskan hal ini, sekaligus sebagai peringatan dari Allah terhadap azab yang akan diberikannya kelak.

Ikhlas dan niat yang baik menyampaikan manusia ke puncak keluhuran dan menempatkannya pada kedudukan orang-orang yang banyak berbuat kebaikan. Sabda Rasulullah SAW, ''Beruntunglah orang-orang yang ikhlas, yaitu orang-orang yang apabila mereka hadir tidak diketahui dan apabila mereka pergi tidak dicari. Mereka itulah lampu-lampu petunjuk, yang karena mereka lenyap segala fitnah yang sangat kejam.'' (Hadis Basihaqi dan Tsauban).

Seperti halnya sifat ikhlas dan niat baik dapat menyampaikan manusia pada kedudukan yang tinggi, maka sifat riya dan niat buruk dapat pula menurunkan manusia ke lapisan yang paling rendah, karena dorongan untuk beramal yang merupakan unsur moral adalah tempat yang diperhatikan oleh Allah SWT. Amal tak dapat dipegangi dan tidak pula dianggap suatu kebaikan, kecuali apabila ia berasal dari satu niat yang baik dan murni karena Allah.

Dalam ihwal yang menyangkut kebaikan ini hendaknya kecenderungan manusia dalam kehidupan adalah kecenderungan berbuat kebaikan bagi dirinya, dan bagi manusia semua. Karena itulah Islam menegaskan bahwa manusia yang paling tinggi nilainya adalah yang paling bermanfaat bagi masyarakatnya.

Bersamaan dengan sikap ikhlas, Islam juga mengajak manusia memiliki sifat tawakal dan berhias diri dengannya. Tapi tawakal dalam pengertian kita dilarang keras mengabaikan usaha dan perjuangan di dunia. Bahkan seperti sabda Nabi, ''Tawakal menjadi tidak benar, apabila hanya bertawakal saja, tanpa sebelumnya didahului usaha.''

Sumber : Hikmah Republika Online, 09-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=278197&kat_id=14

Monday, January 08, 2007

Ujian Hidup

Oleh : Muhammad Arifin Ilham

Dalam mengjalani kehidupan di dunia ini, manusia selalu berhadapan dengan dua keadaan silih berganti. Suatu saat merasakan suka, saat lain merasakan duka. Pada saat bahagia, terkadang manusia menjadi lupa. Sebaliknya, saat duka mendera, seringkali manusia berkeluh kesah.

Bagi hamba Allah SWT yang beriman, hidup adalah ujian. Selama hidup, selama itulah kita diuji Allah SWT. ''Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.'' (QS Al-Mulk [67]: 2).

Minimal ada tujuh ujian hidup yang wajib kita ketahui. Insya Allah, Allah SWT luruskan dari ujian-ujian-Nya, sehingga meraih gelar shobirin dan mujahidin. ''Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu, dan akan Kami uji perihal kamu.'' (QS Muhammad [47]: 31).

Pertama, ujian berupa perintah Allah, seperti Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT menyembelih putra tercintanya bernama Ismail. Kedua, ujian larangan Allah SWT, seperti larangan berzina, korupsi, membunuh, merampok, mencuri, sogok-menyogok, dan segala kemaksiatan serta kezaliman.

Ketiga, ujian berupa musibah. ''Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.'' (QS Al-Baqarah [2]: 155). Keempat, ujian nikmat, sebagaimana Allah SWT jelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 7. ''Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.''

Kelima, ujian dari orang zalim buat kita, baik kafirun (orang yang tidak beragama Islam), musyrikun (menyekutukan Allah SWT), munafiqun, jahilun (bodoh), fasiqun (menentang syariat Allah), maupu hasidun (dengki, iri hati). Keenam, ujian keluarga, suami, istri, dan anak. Keluarga yang kita cintai bisa menjadi musuh kita karena kedurhakaanya kepada Allah SWT. Ketujuh, ujian lingkungan, tetangga, pergaulan, tempat dan suasana kerja, termasuk sistem pemerintahan/negara.

Subhanallah, Allah SWT amat sayang kepada kita. Allah SWT tunjukkan cara menjawab ujian itu semua. ''Dan minta pertolonganlah kamu dengan kesabaran dan dengan shalat, dan sesungguhnya shalat sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusuk tunduk jiwanya.'' (QS Al-Baqarah [2]: 48). Semoga kita dijadikan Allah SWT, hamba-Nya yang lulus dari ujian. Amin ya mujibas sailin.

Sumber : Hikmah Republika Online, 08-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=278046&kat_id=14

Peringatan Dini

Oleh : Kholil Misbach

Diriwayatkan dalam hadis Ibnu Majah dari Umar bin Khattab bahwasanya Rasul SAW bersabda, ''Wahai kaum Muhajirin ada lima hal yang akan mendatangkan bencana bagimu, aku berlindung kepada Allah agar engkau tidak menemuinya.''

''Tidak nampak perbuatan keji di suatu kaum hingga diumumkan, kecuali akan ditimpakan pada mereka penyakit menular dan penyakit-penyakit lain yang belum ada sebelumnya. Mmereka tidak mengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka akan ditimpakan kekeringan, kelaparan, dan kekejaman dari penguasa mereka. Mereka tidak membayar zakat atas harta mereka kecuali akan dicegah hujan dari langit. Kalau bukan karena binatang ternak maka tidak akan turun hujan bagi mereka.''

''Mereka tidak melanggar ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya kecuali Allah akan menciptakan musuh dari golongan selain mereka yang akan menguasai dan merampas semua yang mereka miliki, jika para pemimpin mereka tidak menghukumi (perkara) dengan kitab Allah dan tidak mengambil yang terbaik dari apa yang diturunkan Allah, maka Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka.''

Dalam hadis ini ada lima hal yang mendatangkan bencana. Pertama, jika perbuatan keji sudah tampak dan dipublikasikan di berbagai media, ketika pornografi semarak di mana-mana. Maka tunggulah akan adanya berbagai penyakit baru yang belum ada sebelumnya.

Kedua, jika takaran dan timbangan dikurangi, ketika praktik korupsi menjadi tradisi, ketika dana pembangunan dibocorkan, ketika mark up menjadi kebiasaan, maka kekeringan, kelaparan dan kekejaman penguasa akan terjadi. Ketiga, ketika zakat tidak dibayarkan, ketika orang-orang sudah menimbun harta mereka, maka Allah akan mencegah turunnya hujan, kalau bukan karena kasih sayang Allah kepada makhluk selain manusia maka tidak akan ada hujan sama sekali.

Keempat, ketika ketentuan-ketentuan Allah dilanggar, ketika ajaran-ajaran Rasul disepelekan, maka akan datang musuh kejam yang akan merampas segala yang dimiliki baik nyawa maupun harta. Kelima, ketika para pemimpin jauh dari kitab Allah dan sunah Nabi SAW, ketika mereka memuja dan memuji hedonisme, liberalisme, dan isme-isme lain yang bertentangan dengan agama, maka akan terjadi permusuhan di antara anak bangsa sendiri, hingga hilanglah rasa cinta kasih di antara mereka.

Lima hal di atas merupakan tanda-tanda akan datangnya bencana yang diramalkan baginda Rasul SAW. Bencana juga akan datang walau hanya segelintir saja pelakunya. Maka perlu kontrol sosial dari masyarakat. Tidak ada jalan selamat dari bencana tersebut kecuali dengan tobat, intropeksi diri, dan saling nasihat-menasihati dalam kesabaran dan kebenaran. Wallahu A'lam.

Sumber : Hikmah Republika Online, 06-01-2007
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=277926&kat_id=14

Wednesday, January 03, 2007

Berkata yang Baik

Oleh : Ummu Hasna Syahidah

Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang Muslim memiliki keistimewaan yang menjadi ciri khasnya, yaitu adanya sifat kasih sayang dan persaudaraan. Kasih sayang tersebut menghiasi diri mereka.

Hakikat kehidupan seorang mukmin adalah bersaudara dan bersahabat dengan baik. Satu sama lain saling bahu-membahu, dan tak ada aksi saling hina, hujat, apalagi saling bunuh, nauzubillah. Persaudaraan ini jelas seperti yang difirmankan Allah SWT, ''Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu.'' (QS Al Hujurat [49]: 10)

Allah SWT telah mengharamkan atas kaum mukminin untuk melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari melakukan perbuatan itu).'' (QS Al-Maidah [5]: 91)

Sudah selayaknya setiap pribadi Muslim untuk menjaga lidahnya sehingga tidak berkata-kata kecuali untuk kebaikan. Jika berkata-kata itu sama baiknya dengan tidak berkata-kata, maka Islam menganjurkan untuk tidak berkata-kata. Karena, perbincangan yang halal kadang dapat berubah menjadi perbincangan yang makruh dan bahkan menjadi perbincangan yang haram.

Terkait dengan hal itu, Nabi SAW bersabda, ''Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata-kata yang baik atau hendaklah ia diam.'' (HR Bukhari dan Muslim) Dalam hadits yang telah disepakati keshahihannya ini disebutkan bahwa tidak layak seseorang berbicara kecuali jika kata-katanya itu mengandung kebaikan, yaitu perkataan yang mendatangkan kebaikan. Untuk itu jika seseorang ragu tentang ada atau tidaknya kebaikan pada apa yang akan diucapkannya maka hendaklah ia tidak berbicara.

Orang yang beriman kepada Allah SWT tentu takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semua itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah SWT, ''Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya.'' (QS Al Isra' [17]: 36)

Bahaya lisan itu sangat banyak, Rasulullah SAW bersabda, ''Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya.'' (HR Timridzi). Maka, mari kita memelihara lisan kita.

Sumber : Hikmah Republika Online, 03-01-2007

Tuesday, January 02, 2007

Memahami Bencana

Oleh : Salman Parisi

Berbagai musibah menimpa kita. Sekarang, peristiwa pergantian musim yang bersifat alamiah selalu dibarengi dengan berbagai bencana. Saat musim kemarau kasus kebakaran hutan marak terjadi. Dampaknya asap tebal menganggu berbagai aktivitas warga, membahayakan keselamatan dan kesehatan warga.

Pada saat musim hujan bencana banjir susul menyusul di berbagai daerah. Akibatnya ribuan warga terpaksa mengungsi, tak sedikit yang menjadi korban, dan yang selamat pun harus berjuang menyelamatkan diri mereka pascabencana ini.

Sungguh mengherankan siklus alam yang biasanya mendatangkan berkah justru menjadi bencana. Pertanyaannya apakah itu semua azab? Kalau memang azab siapakah sebenarnya yang berdosa? Kalau ini bukan azab, bagaiman kita bisa memahami hal ini?

Para teolog akan menjawab bahwa tidak mungkin Tuhan menciptakan alam ini dengan tidak sempurna. Alam ini adalah salah satu kreasi Tuhan yang paling sempurna.

Kalau Allah menciptakan alam ini dengan tidak sempurna tentu ini lahir dari beberapa kemungkinan. Pertama, kapabilitas ilmu Tuhan kurang sempurna sehingga Dia menciptakan alam ini dengan kejahilan. Ini tidak mungkin karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Kedua, atau Tuhan itu bakhil kepada makhluknya, dan ini tidak mungkin karena Allah Maha Pengasih dan Penyanyang. Ketiga, Allah tidak mampu menciptakan alam yang sempurna, dan ini tidak mungkin karena Allah Maha Kuasa.

Di dalam Alquran, Allah menjelaskan bahwa terdapat hukum alam yang pasti yang disebut dengan Sunnatullah yang tidak berubah wa lan tajida lisunnatillahi tabdala (alam memiliki sebuah desain sempurna yang memiliki hubungan sebab dan akibat). Allah telah menggariskan keseimbangan alam.

Hujan turun sudah memiliki ukuran (takdir)-nya dan hutan juga sudah memiliki ukurannya sendiri. Ketika hujan turun maka hutan akan mengatur air supaya tidak menjadi bencana bagi manusia. Kalau Anda memakan makanan bergizi (sebab) maka Anda akan sehat (akibat). Demikian seterusnya.

Kemudian karena hutan kita rusak, maka sudah jelas bahwa sesuai dengan Sunnatullah akan terjadi bencana banjir, karena fungsi hidrologis hutan tidak lagi berjalan. Hal ini ditegaskan oleh Allah bahwa kerusakan yang terjadi di alam semesta ini adalah karena ulah tangan manusia.

Sunnatullah atau hukum alam tidak terjadi dengan seketika. Dia selalu memberikan berbagai sinyal-sinyal kepada manusia. Akan tetapi seringkali manusia abai terhadap sinyal-sinyal ini. Pada akhirnya keseimbangan alam menjadi rusak dan kemudian menjadi tidak terkendali dan menjadi bencana bagi kita karena tangan kita sendiri. Sungguh Allah Maha Adil, Maha Mengetahui dan Maha Penyayang.

Sumber : Hikmah Republika Online, 02-01-2007

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=277298&kat_id=14

Memaknai Tahun Baru

Oleh : Yusuf Burhanudin

Tahun berganti tahun. Detik demi detik, menit ke menit, jam ke hari, bulan berlalu berganti tahun. Baru kemarin anak-anak, kini beranjak dewasa. Tak disadari saat fisik masih kuat, kini renta. Sayangnya, penyesalan memaknai hidup tidak selalu datang sejak awal, kesadaran kerap datang terlambat.

Karenanya, tidak sepantasnya menyambut tahun baru dan tahun kelahiran dengan pesta pora. Semakin bertambah umur, kian berkurang jatah hidup di dunia. Kita harus banyak merenung, introspeksi, dan berbenah dari kesalahan. Islam mengajarkan hidup hari ini lebih baik dari kemarin, menyongsong hari esok lebih baik dari hari ini. Itulah hakikat hidup.

Bukan saja kesuksesan materi dunia, namun ingat juga bekal untuk kelak di akhirat. Allah SWT berfirman, ''Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,'' (QS Al-Hasyr [59]: 18).

Maut dan ajal seseorang adalah ghaib. Kita selalu merasa mendapatkan giliran yang terakhir. Padahal, tak ada yang bisa menjamin usia hidup kita lebih panjang daripada kakak atau orang tua kita. Berubahlah sebelum terlambat, sebelum penyesalan akhir datang di mana pintu tobat telah tertutup.

''Dan (alangkah ngeri), sekiranya kamu melihat orang-orang berdosa menundukkan kepalanya di hadapan Tuhan, mereka berkata, 'Ya Tuhan, kami telah melihat dan mendengar (siksaan), kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami orang-orang yang yakin','' (QS As-Sajdah [32]: 12).

Ibnu Umar menasihati, pergunakan waktu sehat sebelum sakit datang dan pergunakan kesempatan hidup sebelum ajal menjemput. Marilah kita isi kesempatan hidup cukup pada hari ini saja. Tinggalkan hari kemarin yang usang, dan tutup rapat hari esok yang samar. Pesan ini menyuratkan, untuk menjadi lebih baik tak perlu ditunda hingga usia senja. Mulailah detik ini juga! Marilah kita awali detik tahun baru ini dengan doa yang diajarkan Rasulullah SAW setiap kali menyambut bulan baru. ''Ya Allah, semoga Engkau mendatangkan bulan ini kepada kami dengan membawa berkah dan keteguhan iman, keselamatan dan keislaman, Tuhanku dan Tuhanmu yaitu Allah.'' (HR Tirmidzi). Selamat tinggal keburukan pada 2006. Kita songsong perubahan positif di tahun baru.

Sumber : Hikmah Republika Online, 30-12-2006

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=277181&kat_id=14