Tuesday, December 26, 2006

Memuliakan Ibu

Oleh : Ahmad Soleh

Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar selalu berbuat dan bersikap baik kepada orang tua, ayah dan ibu kita. Syariah yang mulia ini memerintahkan untuk memelihara mereka dan tidak membentaknya di saat mereka sudah renta. Sekadar mengatakan 'ah' pun dilarang. Bahkan, larangan ini disejajarkan oleh Allah setelah larangan syirik kepada-Nya.

'Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.'' (QS Al Isra [17]: 23).

Secara khusus pula, Islam memerintahkan penganutnya untuk berbakti kepada ibu. Karena, ibu adalah orang yang mengandung, melahirkan, serta merawat kita. Dalam Alquran, Allah SWT menggambarkan penderitaan ibu, sebagai penjelas kewajiban berbakti kepadanya. ''Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.'' (QS Luqman [31] : 14).

Memuliakan ibu merupakan kewajiban yang diutamakan dan mengantarkan pelakunya kepada derajat yang tinggi. Sehingga, jika tidak ada orang lain yang memperhatikan ibu, mengurus, serta memeliharanya harus didahulukan dari perang di jalan Allah sekalipun.

Mu'awiyah bin Jahimah As-Salami meriwayatkan bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ''Ya Rasulullah, aku ingin berperang. Aku datang kepadamu meminta pendapat.'' Rasulullah bertanya, ''Apakah engkau masih memiliki seorang ibu?'' Dia menjawab, ''Masih.'' Kemudian Rasul bersabda, ''Layanilah ia, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua telapak kakinya.'' (HR An-Nasa'i)

Allah SWT mengharamkan seorang hamba durhaka kepada ibunya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari Mughiroh bin Syu'bah. ''Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian durhaka kepada ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menahan dan menuntut dan dia tidak suka kalian banyak bicara, banyak bertanya dan menghambur-hamburkan harta.''

Bila Islam menghormati ibu sedemikian tinggi, bagaimana dengan kita? Belum terlambat untuk memuliakan ibu kita mulai hari ini!

Sumber : Hikmah Republika Online, 22-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=276482&kat_id=14

Thursday, December 21, 2006

Tabayun

Oleh : Chandra Kurniawan

''Siapa yang mengajarkan surah (Alquran) yang kamu baca ini?'' Umar bertanya kepada Hisyam. ''Rasulullah,'' jawab Hisyam. Umar kaget dengan jawaban Hisyam, karena ia merasa, Rasulullah mengajarkannya bukan dengan bacaan seperti itu. Dengan tegas dan keras Umar berkata, ''Dusta kamu! Apa yang diajarkan Rasulullah SAW kepadaku berbeda dengan cara kamu membaca.''

Umar merasa marah dengan ulah Hisyam. Ia ingin membuktikan bahwa Hisyam bersalah. Umar menyeretnya menemui Rasulullah SAW. Setelah menghadap Rasulullah, Umar pun mengadu tentang perihal ini. Apa kata Rasulullah kepada Umar? Rasulullah SAW bersabda, ''Lepaskan dia, Umar! Bacalah, Hisyam!''

Dari sini Rasulullah menghendaki agar Umar melepaskan Hisyam dan menyuruh Hisyam untuk membaca Alquran. Rasulullah menyuruh Umar melepaskan Hisyam sebagai upaya agar Hisyam dapat menjawab dengan tenang tanpa tekanan. Sedangkan Rasulullah menyuruh Hisyam untuk membaca Alquran agar Hisyam membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Kemudian, Hisyam membaca Alquran menggunakan dialek yang berbeda dengan dialek Umar. Setelah mendengar bacaan Alquran Hisyam, Rasulullah SAW bersabda, ''Begitulah ia diwahyukan.'' Artinya, benarlah apa yang dibacakan Hisyam.

Setelah mengetahui bacaan Hisyam benar, Rasulullah menyuruh Umar membacanya, takutnya dialek Umarlah yang salah. Lagi-lagi di sini Rasulullah tabayun. Sekalipun Umar adalah sahabat yang terdekat dengannya, beliau tak peduli. Beliau hanya taat kepada kebenaran, sekali lagi agar tidak timbul fitnah di kemudian hari. Sebab, bisa jadi, hanya karena hal sepele, Islam menjadi rusak dan umat terpecah belah.

Setelah memastikan bahwa bacaan Umar juga benar, Rasulullah SAW kemudian bersabda, ''Begitu pulalah ia diwahyukan. Alquran diwahyukan untuk dibacakan dengan tujuh cara (qira'ah as-sab'ah), maka bacalah dengan cara yang mudah bagimu.''

Rasulullah menghendaki agar umatnya mau tabayun (mencari informasi yang benar) atas kejadian yang menimpa saudaranya. Sehingga kelak, tidak timbul fitnah dan ghibah.

Mencari informasi yang benar atau tabayun, merupakan sikap yang sudah seharusnya melekat pada diri orang-orang beriman. Dengan cara seperti itulah umat Islam tidak mudah diadu domba oleh pihak yang tidak menginginkan Islam dan umatnya jaya.

Allah SWT berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.'' (QS Al-Hujurat [49]: 6).

Sumber : Hikmah Republika Online, 21-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=276354&kat_id=14

Wednesday, December 20, 2006

Sedih pada Tempatnya

Oleh : Chandra Kurniawan

Banyak di antara kita yang lebih bersedih pada urusan-urusan sepele seputar duniawi; bersedih karena sedikitnya harta, bersedih karena belum mendapatkan jodoh, bersedih karena belum memiliki anak, bahkan ada yang bersedih karena tim sepak bolanya kalah. Padahal dunia ini tempat persinggahan sementara.

Setiap orang sudah pasti akan mati, menemui Tuhannya, masuk surga atau neraka. Jangan pernah berpikir bahwa kematian kita akan datang pada usia 70 atau 80 tahun, misalnya. Tetapi berpikirlah bagaimana kita mengisi waktu dengan kebaikan.

Para ulama adalah orang yang hidup sederhana. Jika mendapatkan harta sekian, mereka mensyukurinya dan merasa cukup (qana'ah) dengannya. Sebut saja misalnya Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Taimiyah, Rabi'ah al-Adawiyah, dan Sayyid Quthb. Mereka hidup melajang hingga wafatnya, tapi mereka tidak bersedih karena belum menikah. Imam Bukhari hingga wafatnya belum memiliki anak satu pun, tapi tak pernah sekalipun dalam hidupnya dia meratap karena tidak dikaruniai anak.

Kebahagiaan seseorang itu tidak diukur dari materi duniawi, melainkan dari kebenaran yang sedang ditegakkannya dan kedekatannya pada Allah SWT. Bersedih karena urusan-urusan duniawi tidaklah menenteramkan hati dan tidaklah menambah kebaikan apa pun kepada kita. Sebaliknya, kesedihan hanya menambah gejolak dalam jiwa kita.

Dikisahkan bahwa seorang laki-laki pernah mendatangi salah seorang tabi'in yang sedang menangis, maka orang itu menaruh belas kasihan kepadanya. Ia lalu bertanya, ''Apa yang menyebabkanmu menangis? Apakah ada rasa sakit yang kau alami?'' Tabi'in itu menjawab, ''Lebih dahsyat dari itu.'' Orang tadi bertanya lagi, ''Apakah kamu mendapat berita bahwa salah seorang anggota keluargamu meninggal dunia?'' Tabi'in itu menjawab, ''Lebih dahsyat dari itu.'' Orang itu bertanya lagi, ''Apakah kamu kehilangan hartamu?'' Tabi'in itu menjawab, ''Lebih dahsyat dari itu.'' Laki-laki itu pun berkata sambil terheran-heran, ''Lalu, apakah yang lebih dahsyat dari semua itu?'' Tabi'in itu menjawab, ''Kemarin, karena tertidur, saya lupa bangun malam.''

Semestinya yang kita sedihkan adalah shalat yang tidak khusyuk, tidak mengisi waktu luang dengan amal shalih, tidak qiyamul lail, atau tidak bersedekah. Atau, melalaikan segala amal shalih lainnya padahal seharusnya kita sempat mengerjakannya.
Kita bersedih mestinya karena bekal untuk akhirat belum terisi penuh, padahal kita tak pernah tahu sampai batas mana usia kita. Lalu kesedihan itu akan menggerakkan hati untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Sumber : Hikmah Republika Online, 18-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275986&kat_id=14

Fasilitas Allah

Oleh : EH Kartanegara

''Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.'' (QS Adz-Dzariyaat [51]: 56). Ayat tersebut terkesan seperti pernyataan Allah, bukan perintah kepada manusia. Namun, jika dihayati lebih mendalam, lewat ayat tersebut Allah sesungguhnya menunjukkan kekuasaan-Nya yang absolut kepada manusia. Tak ada tawar-menawar bagi manusia untuk mencapai hakikat hidup selain menyembah kepada Allah.

Banyak orang yang berusaha atau mencoba melawan ketetapan itu. Kita tahu akibat apa yang akan ditanggungnya, baik semasa hidup di dunia maupun terlebih lagi kelak di akhirat. Hanya orang kafir yang congkak yang berani melawan ketentuan Allah, secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Bagi orang yang ikhlas, berserah diri kepada Allah dijamin bakal selamat di dunia dan akhirat. Sebab, kita --para manusia-- memang diciptakan Allah bukan untuk tujuan iseng atau main-main.

Para mufasir menafsirkan kata khalaqtu (tidak mencipta) dalam ayat tersebut, menunjukkan bahwa Allah punya kehendak khusus kepada manusia. Salah satunya adalah menjadi khalifah di bumi.

Maka, menjadi khalifah di bumi, tak lain adalah amanat, tugas, dan kewajiban, yang diberikan Allah kepada manusia. Bedakan kata 'khalifah' ini dengan pengertian politik manusia yang mentang-mentang dipilih menjadi pemimpin lewat pemilu, misalnya, lantas mau bertindak sewenang-wenang.

Khalifah dalam konteks amanat Allah adalah tugas mulia, yaitu menjadi wali atau wakil Allah di bumi. Di sini asyiknya, kalau Allah memberi tugas kepada manusia, pasti Allah juga memberi fasiltas yang luar biasa melimpah kepada manusia. Allah Mahatahu bahwa tanpa fasilitas, manusia hanyalah setitik debu yang hina.

Sungguh remeh jika fasilitas itu cuma berupa istana gemerlap, seribu mobil mewah, segudang berlian, dan deposito triliunan rupiah. Tak ada angka yang bisa mencatat fasilitas Allah untuk manusia. Kekayaan dan ilmu Allah, bahkan tak terbayangkan oleh manusia.

Untuk ilmu Allah, kita ingat surat Luqman (31) ayat 27, ''Dan sekiranya pohon-pohon di bumi adalah pena dan samudera (adalah tinta) dan sesudah itu ditambah dengan tujuh samudera, kalimat Allah tak akan pernah habis ditulis. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.''

Dalam teks aslinya, kata kalimatullah diterjemahkan oleh beberapa mufasir sebagai 'ilmu Allah dan hikmah-Nya'. Dengan ilmu Allah itulah, manusia diberi bekal materi, rohani, dan pengetahuan yang berlimpah untuk mengemban amanat menjadi wakil Allah di bumi.

Jika kepada para pejabat atau bos di kantor, kita tak malu merunduk-runduk, bahkan mengemis dan menyuap demi memperoleh fasilitas, sungguh terlaknat jika kita tak mau menyembah Allah. Jauh sebelum memperoleh fasilitas dari orang lain, kita sudah lebih dulu menikmati fasilitas gratis dari Allah yang telah menghidupkan kita.

Sumber : Hikmah Republika Online, 16-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275817&kat_id=14

Friday, December 15, 2006

Menjaga Hati dan Lisan

Oleh : Ibnu Hasan

Rasulullah SAW pernah menjamin surga bagi siapa saja di antara kaum Muslimin yang sanggup menjaga dua hal, yaitu menjaga apa yang terdapat di antara kedua bibirnya (lisan) dan menjaga apa yang terdapat di antara kedua kakinya (kemaluan). Mengapa penjagaan terhadap lisan menempati posisi yang sangat penting di dalam agama ini?

Fakta memperlihatkan betapa lisan manusia mampu menimbulkan kekacauan sosial serta konflik yang berkepanjangan. Pertikaian seringkali bermula dari lidah yang tidak dijaga dengan baik.

Alquran menasihati kita, ''Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.'' (QS Al Hujurat [49]: 12).

Dalam ayat yang lain Allah menyatakan bahwa prasangka sama sekali tidak berfaedah terhadap kebenaran (QS An Najm [53]: 28). Seringkali, kita menyangka yang bukan-bukan terhadap seseorang, padahal kita sama sekali tidak memiliki data yang pasti tentang itu. Kita juga sama sekali tidak mengetahui isi hati orang tersebut.

Bila sudah mulai menyangka yang tidak baik, maka kita pun akan cenderung dijalani pula, yaitu mencari-cari kesalahan (tajassus). Jika kita tidak suka terhadap orang lain, maka berbagai jalan akan ditempuh untuk mencari-cari hal yang salah dari diri orang tersebut. Kalau kesalahan sudah dicari-cari, maka manusia yang paling mulia pun akan tampak penuh noda di depan mata.

Prasangka dan tajassus biasanya akan dekat dengan bergunjing. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah RA dikatakan bahwa Rasulullah SAW suatu kali ditanya tentang pengertian ghibah. ''Yaitu kamu menyebut-nyebut saudara kamu tentang sesuatu yang tidak disukainya,'' terang Rasul. ''Lantas bagaimana sekiranya saudara saya seperti apa yang saya sebutkan?'' tanya orang itu lagi. ''Kalau dia seperti yang kamu ucapkan, berarti kamu telah melakukan ghibah, tapi sekiranya ia tidak seperti yang engkau katakan, maka kamu telah membuat tuduhan palsu terhadapnya.'' Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Manusia-manusia yang baik pun bisa memiliki kekurangan. Tapi, bukan berarti hal itu layak untuk diinvestigasi dengan prasangka dan tajassus serta dipublikasi dengan ghibah. Bukankah seorang hamba seharusnya merasa malu dengan teguran Tuhannya yang mengumpamakan semua itu dengan 'memakan daging bangkai saudaranya yang sudah mati'? Tidakkah kita merasa jijik karenanya?

Sumber : Hikmah Republika Online, 15-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275695&kat_id=14

Thursday, December 14, 2006

Usia Empat Puluh

Oleh : Agus Sutanto

Akar dan orientasi kultur masyarakat Barat adalah materialisme. Mereka menilai dan membuat indikator hidup dari sisi materialistis. Atas dasar ini tidak mengherankan jika mereka mempunyai ungkapan bahwa 'hidup' dimulai pada umur 40 tahun. Life begin at 40.

Asumsinya adalah pada umur ini, karier telah cukup mapan, pendapatan, serta kekayaan telah mencukupi. Karena itu, sering pula pada usia 40 ini dikaitkan dengan puber kedua, yang membawa pada perselingkuhan. Kemapanan materi membawa godaan, sehingga umur 40 tahun merupakan saat kritis terjadi perceraian dalam rumah tangga.

Islam memberi perhatian kepada umur 40 berbeda secara diametrikal dengan budaya Barat. Umur 40 tahun mendapat perhatian khusus dari Alquran. Dalam Surat Al Ahqaf [46] ayat 15 Allah berfirman: ''Kami perintahkan manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: Ya tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah kau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat beramal shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.''

Dalam surat tersebut setidaknya terdapat empat indikator kemuliaan manusia yang seharusnya menjadi identitas orang yang mencapai umur 40 tahun yaitu bersyukur, beramal shalih, bertaubat, dan berserah diri. Bersyukur kepada Allah atas karunia umur yang mengantarkannya mencapai angka 40.

Bersyukur atas kenikmatan hidup yang telah dianugerahkan Allah baik berupa kenikmatan material maupun nikmat anak keturunan (dzuriyat).

Bersyukur sesuai hakikat bahwa semuanya karena kehendak yang mengikuti nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah dan dicontohkan dalam kehidupan Rasul dan para sahabat.
Bertobat disertai kesadaran bahwa manusia mempunyai kalbu yang berbolak-balik antara tarikan kebaikan dan keburukan. Bertobat disertai perenungan dan perhitungan apakah di usia 40 tahun lebih berat kebaikannya atau keburukannya.

Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadisnya, ''Sesiapa yang mencapai umur 40 tahun dan dosanya lebih berat dari amal baiknya maka bersiaplah memasuki neraka.''
Berserah diri, merupakan permulaan yang pas untuk menapaki usia 40 tahun. Dengan demikian umur 40 tahun dipandang sebagai pencerahan kejiwaan, gerbang cahaya menuju kehidupan yang lebih mulia. Wallaahu a'lam.

Sumber : Hikmah Republika Online, 13-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275384&kat_id=14

Tuesday, December 12, 2006

Video

Oleh : Prof Ir H Ardi MSc

Kehadiran video telah memberikan dampak atau pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat dewasa ini. Dengan video kita bisa merekam momen-momen penting dalam kehidupan kita sebagai kenangan indah.

Namun, video juga kerap dipergunakan untuk tujuan yang tidak terpuji. Tersebarnya video porno yang mungkin berdurasi hanya beberapa menit saja ke masyarakat, tidak hanya berdampak besar pada si pelakunya, tetapi juga pada keluarga, institusi, dan masyarakat. Jabatan yang tinggi bisa copot, harga diri, pamor, dan ketenaran seketika ternoda. Malu tidak hanya menimpa si pelaku tetapi juga keluarganya.

Itu baru di dunia, bagaimanakah di akhirat kelak? Mudah-mudahan kita semua tersadar bahwa sebenarnya kehidupan kita di dunia mulai sejak kita dilahirkan ibunda tercinta sampai ajal menjemput, tidak satu detik pun luput dari catatan dan rekaman video yang mahacanggih. Ada dua 'kameraman' yang tidak pernah tidur, yaitu malaikat Rakib dan Atid yang selalu setia mendampingi di kanan dan kiri kita. Semua perbuatan baik dan buruk yang kita lakukan akan tercatat dan terekam secara detail dari segala posisi dan sudut.

Perbuatan-perbuatan baik seperti shalat, puasa, zakat, membantu orang lain dan sebagainya akan tercatat dan terekam. Perbuatan buruk pun tidak akan ada yang terluput, mulai dari mengambil ubi di kebun tetangga hingga korupsi atau menerima suap, semua terekam. Dalam mahkamah Allah kelak, semua akan diputar ulang di hadapan-Nya dan semua makhluk-Nya. Dalam QS Qaaf (26): 16-17 ''Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.'' (QS Qaaf [50]: 16-17).

Dalam surat Al Infithaar (82) ayat 10-12 juga disebutkan, ''Padahal, sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.''

Apakah kita tidak malu seandainya catatan dan video kehidupan kita yang jelek diperlihatkan dan diputar di hadapan Allah kelak? Belum terlambat rasanya untuk memulai membuat 'rekaman' yang baik, yang membuat kita layak untuk masuk dalam golongan orang-orang mulia di sisi Allah.

Sumber : Hikmah Republika Online, 12-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275238&kat_id=14

Monday, December 11, 2006

Menjinakkan Perasaan

Oleh : Guslaeni Hafidz

Al-Hafidz Abu Ishak Ibrahim bin Abdurrahman meriwayatkan dari Dhamirah, dia mengisahkan, ada dua orang yang mengajukan persengketaan kepada Nabi SAW. Beliau memenangkan yang benar dan mengalahkan yang batil. Orang yang dikalahkan menyatakan ketidakrelaannya.

Temannya bertanya, ''Apa yang kamu inginkan?'' Dia menjawab, ''Kita ingin menemui Abu Bakar ash-Shiddiq.'' Maka keduanya pun berangkat untuk menemuinya. Orang yang menang berkata, ''Sesungguhnya kami berdua mengadukan persengketaan kami kepada Nabi SAW dan beliau memenangkan perkaraku.'' Maka Abu Bakar berkata, ''Kalian tetap dalam keputusan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.''

Namun temannya tetap menolak keputusan dan berkata, ''Ayo kita menemui Umar saja.''' Kemudian orang yang menang perkara berkata, ''Sesungguhnya kami berdua mengadukan persengketaan kami kepada Nabi SAW dan beliau memenangkan perkaraku, tetapi dia tidak menerimanya.'' Kemudian Umar bertanya kepada orang yang menolak keputusan, dan dia berkata, ''Begitukah?'' Kemudian Umar masuk ke rumah dan sebentar kemudian dia keluar sambil membawa pedang yang terhunus. Lalu dia memenggal leher orang yang menolak keputusan hingga tewas.

Maka Allah menurunkan ayat, ''Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.'' (QS An-Nisaa' [4]: 65)
Dalam mensikapi aturan Allah, sering kali kita terhanyut oleh perasaan. Kita menilai baik dan buruknya aturan dari Sang Pencipta mengikuti anggapan perasaan.

Kisah asbabun nuzul di atas seharusnya mengingatkan kita. Sebagai hamba Allah, tak pantas rasanya meragukan aturan-aturan yang telah Allah tetapkan. Sikap terbaik yang kita tunjukkan adalah sami'na wa ato'na (kami mendengar dan kami taat). Bukan lantas mengukurnya dengan perasaan yang sangat mudah terwarnai oleh kondisi lingkungan yang kian jauh dari nilai-nilai Islam.

Kini, saatnya kita belajar menjinakkan perasaan kita agar tidak terkotori oleh hawa nafsu yang bisa melemahkan keimanan kita. Ingatlah, ''Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.'' (QS Al-Baqarah [2]: 216). Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 11-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275093&kat_id=14

Budaya Malu

Oleh : Ibnu Hasan

''Sesungguhnya sebagian yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah, 'Bila kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu'.'' (HR Bukhari).

Rasa malu memang merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita. Sekiranya tidak ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis di atas akan benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa kekangan. Kalau sudah seperti itu, maka berbagai penyelewengan dan penyimpangan tentu akan dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah.

Bahkan mungkin, berbagai penyimpangan itu dikemas dalam tampilan yang saleh dan agamis. Tanpa adanya rasa malu, apa yang tidak layak menjadi pantas, dan apa yang terlarang menjadi boleh dan dipandang baik.

Penting untuk dipahami bahwa rasa malu seharusnya diarahkan pada hal-hal yang salah dan buruk, bukan dalam hal-hal yang benar dan baik. Tidak semestinya seseorang malu untuk menuntut apa yang memang menjadi haknya. Tapi, ia seharusnya malu jika mengambil apa-apa yang bukan haknya, walaupun tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui perbuatannya.

Nabi Luth AS mengingatkan kaumnya (yang menyimpang secara seksual) ketika mereka datang dan bernafsu pada tamu-tamu Luth yang berparas tampan. Beliau berkata, ''Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu.'' (QS Al-Hijr [15]: 68). Namun, apa hendak dikata, rasa malu sudah hilang dari diri mereka. Dan, mereka pun hendak melampiaskan nafsu sesuka mereka. Sampai akhirnya Allah menurunkan azab atas diri mereka. Alangkah indah sekiranya kaum Muslimin memiliki rasa malu yang kuat, sehingga rasa malu itu menjadi penuntun ke arah perilaku yang mulia. Setiap kali hal-hal yang buruk menggoda di hadapan, maka mereka berkata dengan hati yang bergetar, ''Sungguh saya malu pada Allah untuk berbuat yang semacam ini."

Semua itu akan menjadi lebih kokoh lagi ketika rasa malu sudah menjadi karakter yang bersifat kolektif. Budaya malu. Dengan begitu semua pihak saling diingatkan untuk merasa malu setiap kali terdorong melakukan hal yang buruk. Sebagai konsekuensinya, rasa malu akan menjadi ''penyakit'' yang menulari masyarakat luas. Maka, insya Allah masyarakat pun akan menjadi sehat setelah terjangkit ''penyakit'' yang positif ini.

Apakah masih ada rasa malu di hati kita? Barangkali perhatian kita terhadap pertanyaan tersebut pada hari ini akan menjadi penyelamat bangsa di masa-masa yang akan datang. Semoga!

Sumber : Hikmah Republika Online, 09-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=274940&kat_id=14

Thursday, December 07, 2006

Umat yang Kuat

Oleh : A Ilyas Ismail

Kata Islam dalam Alquran disebut hanya delapan kali, sedangkan kata ummat (umat) diulang sampai 64 kali yang tersebar dalam 13 surat. Ini menarik, mengarah pada indikasi bahwa persoalan umat bisa lebih besar ketimbang persoalan Islam itu sendiri.

Umat adalah suatu komunitas yang diikat oleh kesamaan visi dan misi (ideologi). Dalam bahasa Alquran, kata umat berasal dari kata umm, yang berarti ibu. Ini dapat dipahami bahwa keberadaan umat itu sama dengan keberadaan seorang ibu. Peran keduanya tak diragukan lagi, amat penting, bahkan menentukan kelangsungan dan kemajuan hidup manusia.

Pendapat lain menyatakan, kata umat berasal dari kata amma, yang secara harfiah bermakna bergerak ke depan. Dari kata ini dibentuk kata amam, berarti depan, dan kata imam, berarti pemimpin atau orang yang berada di barisan depan.

Dalam pengertian ini, umat adalah suatu komunitas yang diminta untuk terus bergerak maju atau melangkah ke depan mendekati visi atau cita-cita. Sebagai sutu komunitas, umat Islam dianugerahi oleh Allah tiga sifat yang menjadi inti kekuatannya, yaitu umat pertengahan (ummatan wasathan, QS Al-Baqarah [2]: 143), umat penyeimbang (ummatan muqtashidah, QS Al-Maidah [5]: 66), dan umat terbaik (khairu umma).

''Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.'' (QS Ali Imran [3]: 110).
Menurut Sayyid Quthub, umat terbaik seperti dikehendaki ayat di atas, adalah umat yang benar dari segi akidah dan ibadah, serta kuat dari segi ekonomi dan politik. Dengan begitu mereka mampu memegang kendali kepemimpinan dunia (al-qiyadah al-basyariyah) seperti dibuktikan oleh Rasulullah SAW dan kaum Muslimin pada periode awal Islam.

Amar ma'ruf, nahi munkar, dan iman dipahami Quthub sebagai ciri atau karakteristik dasar komunitas Islam (umat). Dalam bahasa modern, amar ma'ruf dapat dipahami sebagai humanisasi, yaitu program pemberdayaan (empowerment) dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Nahi munkar dipahami sebagai liberasi, yaitu ikhtiar membebaskan umat dari kezaliman dan berbagai pelanggaran moral.

Sementara iman bermakna transendensi, yaitu seruan agar manusia tidak melupakan komitmen dan perjanjian primordialnya dengan Allah SWT. Pada humanisasi terkandung penguatan intelektual, sedangkan pada liberasi terkandung penguatan moral. Sementara pada transendensi terkandung penguatan spiritual.

Inilah tiga hal yang akan membangun kekuatan umat, yaitu kekuatan intelektual, moral, dan spiritual. Dengan tiga kekuatan ini, manusia baik sebagai individu maupun sebagai umat, akan bertahan hidup (survive), bahkan panjang umur dalam arti maju dan beradab. Wallahu a'lam.

Sumber : Hikmah Republika Online, 06-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=274484&kat_id=14

Wednesday, December 06, 2006

Musibah

Oleh : Asrori

Musibah dalam bahasa Arab berarti mengenai, menimpa, atau membinasakan. Muhammad Husein Thabataba'i, ahli tafsir modern dalam kitabnya, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, menyatakan bahwa musibah adalah kejadian apa saja yang menimpa manusia yang tidak dikehendaki. Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Nasr at-Thabari pernah mengatakan, ''Apa yang menimpa manusia berupa hal-hal yang tidak dikehendaki, itu namanya musibah.''

Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menyinggung persoalan 'musibah' ataupun nama lain dari itu, bala dan cobaan. Seperti termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 155, Al Maidah (5) ayat 49, dan At Taubah (9) ayat 50. Musibah yang menimpa seseorang atau suatu kelompok tertentu, berupa sakit, kerugian dalam usaha, kehilangan barang, meninggal dunia (musibah yang bersifat individual), dan bencana alam, peperangan, wabah penyakit, kekeringan yang berkepanjangan, dan musibah lain yang bersifat sosial.

Musibah adalah ketentuan yang datang dari Allah SWT yang tidak bisa ditolak maupun dicegah. Walau demikian, manusia wajib untuk menghindari atau mengantisipasi dari berbagai bentuk musibah yang sudah maupun yang akan terjadi pada diri kita. Seorang yang terkena sakit diwajibkan untuk berobat agar mendapatkan kesehatan seperti sedia kala. Bila terkena banjir, kekeringan, ataupun bencana alam lainnya, diwajibkan baginya untuk menghindar dari bahaya tersebut.

Upaya untuk mengantisipasi musibah bukan saja pada tingkat pencegahan semata, tapi juga pada tingkat penanggulangannya. Karena membiarkan diri dalam kerusakan dan kebinasaan sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Alquran dalam menjaga jiwa. Sebagaimana firman Allah, ''Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah sangat menyukai orang-orang yang berbuat baik.'' (QS Al Baqarah [2]: 195).

Islam memberikan tuntunan dalam menyikapi musibah yang dialami oleh seseorang, berupa istirja -- mengembalikan segalanya kepada Allah SWT dengan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (sesungguhnya kami milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya). Berdoa agar musibah yang menimpa diri kita hanyalah bentuk ujian dari Allah SWT bagi hamba-Nya yang soleh. Ikhlas dan lapang dada dalam menghadapinya, agar kita mendapatkan rahmat dan pahala-Nya.

Dalam kehidupan di dunia, secara niscaya manusia tidak akan pernah terlepas dari musibah, bencana, dan cobaan. Selama hayat masih dikandung badan, seketika itu juga musibah mengintai dan kerap menghampiri kita. Dua hal saja menghadapinya, melakukan upaya antisipasi dan ber-istirja. Waqllahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 05-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=274342&kat_id=14

Makanan Hati

Oleh : Abdussalam

''Ingatlah bahwa dalam tubuh terdapat sepotong daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah, sepotong daging itu adalah hati.'' (HR Bukhari).

Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW menggambarkan betapa hati mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam diri seseorang. Pantaslah kiranya, jika ia dapat disebut sebagai parameter dari segala aktivitas manusia. Hati dalam hadis di atas bukanlah hati dalam bentuk fisik yang berfungsi sebagai penyaring racun dalam tubuh. Hati yang dimaksud adalah hati yang dapat mengantarkan seseorang pada keadaan yang penuh ketenangan, kedamaian, ketenteraman, dan bahkan pada sebuah yang cinta abadi.

Secara leksikal, kata hati adalah hasil terjemahan dari qalb (kalbu). Kalbu merupakan bentuk masdar dari fiil qalaba-yaqlibu-qalban, yang berarti membalikkan, mengubah, memalingkan, dan mengalami perubahan. Pemaknaan etimologis tersebut tidak jauh dari latar belakangnya yang cenderung selalu berubah-ubah.

Kalbu adalah lokus dari kebaikan dan kejelekan, kebenaran dan kesalahan. Hati dalam bentuk ruh atau lathifah adalah sesuatu yang halus, tidak kasat mata, tidak dapat diraba, dan bersifat rohani rabbani.

Lathifah tersebut merupakan hakikat dari diri manusia. Ia adalah salah satu komponen manusia yang berpotensi memahami, menyerap, atau memersepsikan segala hal yang ditujukan kepadanya dan akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan kata lain, hati menunjukkan sentralitas dalam diri manusia sebagai pusat kepribadian dan membuat manusia menjadi manusiawi. Untuk mengenali seseorang, apakah hatinya tenteram atau tidak dapat dikenali dari segala tingkah laku fisik mereka. Karena segala tingkah laku seseorang bersumber dari panggilan atau bisikan suara hatinya (shaut al-dlamir).

Bagi orang yang bertingkah laku Qurani, berarti hatinya tenteram, dan bagi orang yang bertingkah laku syaithani maka dalam hatinya tidak ada rasa tenteram yang menyelimutinya.

Kecenderungan hati ditentukan oleh ''makanan'' apa yang dikonsumsinya. Karena sebagaimana tubuh, hati juga butuh makan. Tetapi, bukan berbentuk konkret seperti nasi, roti, keju, dan lain sebagainya. Makanan untuk hati dapat dilakukan berupa dzikrullah (banyak mengingat Allah).

Allah SWT berfirman, ''(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah (dzikrullah). Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram.'' (QS Al-Radu: 28). Bila dalam sehari semalam sedikitnya kita memerlukan makanan sebanyak tiga kali plus camilan, berapa kali dalam sehari Anda memberi ''makan'' hati Anda?

Sumber : Hikmah Republika Online, 02-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=274017&kat_id=14

Muhasabah

Oleh : Ihsan M Rusli

Waktu ibarat pedang yang akan menebas siapa saja yang tidak memanfaatkannya dalam kebaikan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-'Ashr (103): ''Demi waktu, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati dalam kebenaran dan nasihat-menasihati dalam kesabaran.''

Salah satu keunikan waktu adalah dia tidak dapat diulang, tak dapat mundur; waktu akan berjalan terus melaju ke depan. Suka atau tidak suka dia akan meninggalkan mereka yang lalai, yang tidak memanfaatkan waktunya secara maksimal untuk kebajikan dan ketakwaan kepada Allah.

Dalam setiap pergantian waktu, entah itu tahun Masehi atau Hijriyah, kita diingatkan kembali akan perlunya melakukan muhasabah, evaluasi diri, atau introspeksi. Tentu saja evaluasi diri secara kritis dan jujur yang bagi seorang Muslim tidak hanya dilakukan dalam hitungan tahun, malah dalam setiap denyut napas kita akan selalu ada pertanyaan evaluatif.

''Allah ridha apa tidak terhadap apa yang aku perbuat?'' Hal itu bisa saja dilakukan menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, dan bulan demi bulan. Shalat lima waktu juga mengingatkan kita akan perlunya muhasabah dalam setiap rentang waktu yang kita lalui di antara shalat-shalat kita.Perputaran waktu, pergantian tahun, adalah sarana muhasabah bagi setiap Muslim untuk mencetak prestasi yang lebih baik di hari depan. Allah SWT mengingatkan manusia tentang hal ini, ''Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS 59: 18) Tidak ada jalan lain bagi seorang Muslim bahwa kehidupan yang dilakukannya harus dievaluasi secara terus-menerus dengan istikamah.

Hasil dari muhasabah akan membuat seseorang kembali termotivasi untuk berprestasi karena Allah dalam setiap aktivitas kehidupannya. Percayalah Allah Mahateliti dan tidak pernah lengah, walau manusia tidak dapat melihat Allah secara zahir tapi Allah selalu melihat dan mengawasi hamba-Nya.

Ketakwaan itulah prestasi tertinggi yang harus diraih oleh seorang mukmin. Untuk itulah perlunya muhasabah dilakukan. ''.... Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.'' (QS Al Hujurat [49]: 13)

Sumber : Hikmah Republika Online, 01-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=273881&kat_id=14

Tuesday, December 05, 2006

Persahabatan yang Tulus

Oleh : Sudar As-Salafy Zein

Abu Sulaiman Darami berkata, ''Jangan sekali-kali engkau bersahabat kecuali salah satu dari dua macam ini. Pertama, orang yang dapat engkau ajak bersahabat dalam urusan duniamu dengan jujur. Dan, kedua orang yang karena bersahabat dengannya engkau memperoleh kemanfaatan untuk urusan akhiratmu.''

Islam sangat menjunjung tinggi persahabatan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ''Tidakkah engkau beriman sehingga engkau mencintai sesama saudaramu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri.''

Wujud refleksi cinta bukan hanya dalam sikapnya untuk selalu membela sesama saudaranya, tetapi tampak pula dari tutur katanya yang lemah lembut, caranya bicara yang sangat waspada. Dia takut apabila ada orang lain tersakiti hatinya karena lidahnya, walau dalam bercanda atau senda gurau sekalipun.

Lihatlah tanda-tanda persaudaraan itu; ketika kita memberi sesuatu maka dia akan menerimanya dengan rasa haru. Ketika kita dalam kesulitan, dialah orang pertama yang menawarkan diri untuk meringankan beban. Ketika dalam kegelapan, dialah manusia paling merasa bersalah karena merasa tidak memberikan pelita.

Penderitaannya bukanlah karena dirinya lapar atau sakit merintih dalam rasa nyeri. Penderitaan yang dia rasakan adalah ketidakberdayaannya ketika melihat saudaranya kedinginan mengerang kelaparan; menanggung beban hidup berkepanjangan. Kebahagian baginya adalah apabila dia bisa bagaikan cahaya yang menerangi sekitarnya.

Renungkanlah, ketika Rasulullah memekik karena sakit yang tak tertahankan tatkala malaikat mencabut nyawa Beliau. ''Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.''

Tubuh Rasulullah SAW mulai dingin, kaki dan dada beliau sudah tak bergerak. Bibir beliau bergetar seakan hendak menyampaikan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinga beliau. ''Uushikum bishshalati, wa ma malakat aimanukum (peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu).''

Fatimah menutupkan tangan ke wajahnya, sementara Ali kembali mendekatkan telinga ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan, ''Ummatii, ummatii, ummatii (umatku, umatku, umatku),'' bisik Rasulullah. Begitulah ketulusan cinta Rasullah SAW kepada kita. Di antara sakaratul maut Beliau, kita diingatnya. Betapa ikhlasnya perjuangan dan pengorbanan Rasulullah SAW; hanya berharap dapat memberikan kebaikan yang terbaik bagi kita. Sebagai umatnya, sudahkah kita bisa dengan tulus mengasihi sesama, seperti dicontohkan Beliau?

Sumber : Hikmah Republika Online, 30-11-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=273722&kat_id=14

Wednesday, November 22, 2006

Mengamalkan Ilmu

Oleh : Firdaus MA

Islam mendorong Muslim untuk belajar dan menuntut ilmu. Menuntut ilmu bagi Muslim bukan sekadar kewajiban yang berlaku sepanjang hayat (long life education), tetapi dinilai sebagai ibadah yang dipersembahkan kepada Yang Maha Berilmu.

Menuntut ilmu membuka kesempatan bagi Muslim untuk mendapatkan surga Allah, seperti hadis: ''Siapa meniti jalan menuntut ilmu, Allah akan memudahkan jalannya menuju surga.'' (HR Muslim). Orang yang menuntut ilmu sama kedudukannya dengan jihad fi sabilillah; ''Siapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah (fi sabilillah) sampai ia kembali.'' (HR Tirmidzi).

Ilmu sebagai nur (cahaya) yang diberikan Allah kepada manusia. Ilmu merupakan hidayah yang menerangi seseorang menjalani kehidupan ini. Oleh sebab itu, Allah menempatkan orang berilmu pada kedudukan yang tinggi di kalangan manusia. Allah berfirman, ''Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Al Mujadillah [58]: 11).

Ayat ini menegaskan bahwa Allah mengangkat derajat orang-orang berilmu terhadap orang yang kurang ilmunya. Orang yang ditinggikan Allah derajatnya karena ilmu tentu akan mendapat kemuliaan di hadapan-Nya dan manusia. Melalui ilmu, Muslim takut dan mendekatkan diri dengan baik kepada Allah, seperti firman-Nya, ''Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.'' (QS 35: 28). Ayat ini mengisyaratkan bahwa semakin banyak ilmu seseorang, terutama ilmu tentang Allah, maka ia semakin menyadari keagungan dan kebesaran Allah sehingga merasa kecil di hadapan-Nya. Perasaan ini menimbulkan rasa takut untuk melanggar aturan Allah dan mendorong senantiasa mendekat diri kepada-Nya.

Ilmu yang dimiliki Muslim bukan untuk dibanggakan di hadapan manusia karena hal itu dapat menjadi bumerang dan merugikan dirinya, seperti hadis: ''Janganlah kamu menuntut ilmu untuk saling membanggakan diri di hadapan para ulama, mendebat orang-orang bodoh, dan menyombongkan diri di depan majelis. Karena, siapa yang melakukannya, maka hendaknya ia berhati-hati dengan api neraka.'' (HR Ibn Majah).

Islam menginginkan orang yang berilmu mengamalkan ilmunya demi kebaikan diri dan orang lain. Ilmu pada seseorang ibarat sebatang pohon dan amal sebagai buahnya. Perintah belajar dan menuntut ilmu bertujuan meningkatkan kuantitas dan kualitas amal Muslim. Dengan amal itu pula, Muslim memperoleh kebahagiaan di dunia dan selamat di akhirat.

Orang yang tidak mengamalkan ilmu lebih buruk dari orang bodoh. Ia mendapat murka Allah di dunia dan mendapat siksaan dari-Nya di akhirat. Bahkan, ia akan mendapat siksa yang berat dan termasuk orang yang pertama kali merasakan azab neraka.

Sumber : Hikmah Republika Online, 21-11-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=272491&kat_id=14

Sabar Saat Diuji

Oleh : KH Dr Surahman Hidayat MA

Sabar itu indah, kata Alquran. Tapi, bukan seperti dipahami oleh orang awam, sebagai sikap pasrah pada nasib yang menimpa. Secara bahasa pun, sabar artinya tahammul, yakni daya tahan/daya pikul. Sebuah kemampuan karunia Allah yang paling besar setelah iman.

Sepanjang jalan ujian, orang sabar ''tidak mengeluhkan kepedihan derita kepada siapa pun juga, kecuali kepada Allah Ta'ala'', seperti ditulis Al Jurjani. Sabar adalah tanda lulus dalam ujian musibah demi musibah. Hidup memang tidak terlepas dari ujian, agar bisa diketahui secara nyata siapa hamba Allah yang pejuang dan yang sabar dalam perjuangannya (QS Muhammad [47]: 31).

Allah akan menganugerahkan shalawat dan rahmat kepada yang sabar. Pahala yang tak terhingga di dunia, dan surga di akhirat. Ujian dengan musibah bukan untuk menjatuhkan manusia pada kenistaan. Justru sebaliknya sebagai tanda cinta dan rasa percaya dari Rabbbul 'alamin kepada hamba-Nya. Nyatanya, para nabi, hamba Allah yang paling dimuliakan dan dicintai-Nya, harus menempuh ujian paling berat, dibanding orang beriman lainnya.

Berat ringannya ujian disesuaikan dengan kadar keimanan yang bersangkutan. Setelah lulus menjalani ujian ada pemutihan dosa-dosa, dan ada promosi ke martabat/derajat yang lebih tinggi. Itulah yang terjadi pada Nabi Ayub AS; mendapat pujian ni'mal 'abd (hamba paling baik), karena dapat membuktikan kesabaran selama delapan belas tahun sakit semacam lepra, yang memakan seluruh tubuh, hanya menyisakan lidah dan jantungnya. Dalam ketiadaan harta semua orang menjauh, kecuali sang istri yang setia berkat iman di dada. Allah mengabulkan doa Ayub: mengangkat penyakitnya, mendatangkan kembali keluarga dan orang-orang yang bersamanya (QS Al Anbiya [21]: 83-84).

Ujian hidup bisa menimpa kita kapan saja. Baik sebagai individu, sebagai warga masyarakat, bagian dari umat atau anak bangsa. Itu bukan untuk dihindari, tapi untuk disikapi dan dikelola dengan manajemen sabar.

Tanpa kesabaran sama saja dengan orang jatuh lalu tertimpa tangga. Sedangkan dengan kesabaran, berarti memiliki modal pokok bangkit pascamusibah. Bahkan, tersedia energi yang dapat membuka peluang untuk lebih maju dari sebelumnya.

Sebagaimana dalam semangat doa musibah yang diajarkan Nabi SAW: ''Ya Allah berilah hamba pahala dalam musibah ini, dan gantilah musibah ini dengan yang lebih baik.''

Ujian ada yang berupa kesenangan. Di sini seorang Muslim tetap harus sabar dalam menaati aturan Allah. Dengan sabar, ia menikmati kesenangan tanpa penyimpangan. Sehingga, mengundang nikmat yang lebih besar lagi. Mari kita tingkatkan kesabaran.

Sumber : Hikmah Republika Online, 18-11-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=272217&kat_id=14

Keutamaan Subuh

Oleh : Muhammad Jihad Akbar

Shalat Subuh merupakan satu di antara shalat wajib lima waktu yang mempunyai kekhususan dari shalat lainnya dan mempunyai keutamaan yang luar biasa. Pada saat inilah pergantian malam dan siang dimulai. Pada saat ini pula malaikat malam dan siang berganti tugas (HR Al-Bukhari).

Karenanya, beruntunglah mereka yang dapat melaksanakan shalat Subuh pada awal waktu sebab disaksikan oleh malaikat, baik malaikat yang bertugas pada malam hari maupun siang. Allah SWT berfirman: ''Dan dirikanlah shalat Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat).'' (QS Al-Isra' [17]: 78).

Selain itu, shalat Subuh juga bisa menjadi penerang pada hari ketika semua orang berada dalam kekalutan (kiamat). Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, ''Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang berjalan di kegelapan menuju masjid (untuk mengerjakan shalat Subuh) dengan cahaya yang terang benderang (pertolongan) pada hari kiamat.'' (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Majah).

Tak hanya itu, Allah pun telah menyiapkan pahala yang luar biasa bagi mereka yang membiasakan shalat Subuh tepat pada waktunya, yaitu mendapatkan pahala sebanding dengan melakukan shalat semalam suntuk. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, ''Barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah, maka seakan-akan dia telah melaksanakan shalat semalam suntuk.'' (HR Bukhari).

Di antara hikmah dan alasannya adalah karena shalat Subuh merupakan shalat wajib yang paling ''sulit'' dikerjakan pada awal waktu. Banyak di antara kita lebih memilih untuk tidur di atas kasur empuk dan selimut yang hangat. Padahal, seruan Allah (adzan) pada waktu Subuh telah memberitahukan kita bahwa shalat itu lebih baik daripada tidur.

Secara ilmiah, benar adanya bahwa bangun pagi dan melakukan shalat lebih baik daripada terus tidur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Louis J Ignarro dan Ferid Murad, pembuluh darah manusia akan mengembang pada tengah malam terakhir sampai menjelang siang. Kemudian secara berangsur-angsur sekumpulan sel darah akan menggumpal pada dinding pembuluh sehingga terjadi penyempitan. Inilah yang mengakibatkan tekanan darah tinggi.

Menurut peraih Nobel bidang Fisiologi dan Kedokteran tahun 1998 ini, ada cara alamiah yang bisa dilakukan oleh setiap orang, yaitu menggerakkan tubuh sejak pagi buta. Karena, penelitian mereka menunjukkan bahwa dengan menggerak-gerakkan tubuh, gumpalan sel tadi akan melebur bersama aliran darah yang terpompa dengan kencang pada saat bergerak.

Maka, beruntunglah mereka yang terbiasa menggerakkan tubuh pada waktu Subuh dengan bangun tidur lalu berwudhu kemudian berjalan menuju masjid guna shalat Subuh berjamaah.

Sumber : Hikmah Republika Online, 17-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=272058&kat_id=14

Tuesday, October 31, 2006

Meraih Predikat Taqwa

Oleh : Suprianto

Ramadhan 1427 Hijriyah sudah berlalu meninggalkan kita. Harapan terbesar setiap muslim adalah diterimanya amal ibadah selama Ramadhan, baik ibadah yang bersifat individu, maupun ibadah yang bersifat sosial.

Target akhir dari ibadah puasa yang diwajibkan Allah SWT kepada umat Islam, adalah mencapai predikat takwa, seperti yang tersurat dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 183: ''...semoga kalian menjadi orang yang bertakwa.'' Keberhasilan seorang Muslim melaksanakan ibadah puasa terlihat di luar Ramadhan. Orang yang sungguh-sungguh menjalankan amaliyah di bulan Ramadhan berupaya mengamalkan nilai-nilai puasanya di luar Ramadhan. Artinya, keberhasilan orang-orang yang berpuasa bukan pada bulan Ramadhan tetapi sebelas bulan setelah Ramadhan.

Kini, kita telah berada di bulan Syawwal yang akar katanya dari syala yasyulu syawwal artinya meningkat. Hal ini sejalan dengan makna Idul Fitri yang diambil dari kata al ied artinya kembali, dan fitrah yang berarti kecenderungan manusia untuk selalu berbuat baik. Seorang muslim yang memperoleh kemenangan memberikan pengaruh yang besar sekali terhadap prilaku sehari-hari. Kalau dia berhasil, ia menjadi seorang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya.

Apa cirinya orang takwa? Allah SWT Berfirman, ''Orang takwa itu pertama beriman kepada yang ghaib, senantiasa mendirikan shalat, serta senantiasa menginfakkan sebagian harta yang diberikan Allah SWT kepadanya.'' (QS. Albaqarah [2]: 3). Dengan menjadi seorang yang takwa, maka orang yang berhasil dalam melaksanakan ibadah puasa, dia akan peduli kepada fakir, miskin, dhuafa. Bahkan ada ayat lain yang menyebutkan, orang takwa itu selalu menginfakkan hartanya di kala sempit maupun keadaan lapang. Artinya, orang yang berpredikat takwa dia mudah untuk berbagi.

Predikat takwa yang dicapai seorang yang berhasil dalam menjalankan ibadah puasa ditandai dengan kepekaan sosialnya yang sangat tinggi. Ia bisa merasakan penderitaan orang lain, khususnya yang fakir miskin bukan hanya pada saat puasa. Tetapi justru setelah dia puasa.

Itu sebabnya, puasa Ramadhan selalu ditutup dengan zakat fitrah. Zakat fitrah artinya peduli kepada orang lain yang tidak punya beras pada hari raya. Orang yang berhasil menjalankan ibadah puasanya kemudian meraih predikat takwa, orang tersebut ibarat seorang bayi yang baru keluar dari perut ibunya. Orang takwa, juga senantiasa memiliki keinginan untuk mengajak orang lain masuk surga, ia tidak ingin sendirian masuk surga. Surga itu tidak hanya di akhirat, tapi juga di dunia. Nah, surga dunia itu adalah bebas dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, penderitaan dan sebagainya.

Sumber : Kolom Hikmah Republika, 30-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=269873&kat_id=14

Saturday, October 21, 2006

Idul Fitri

Oleh : H Rahmat Hidayat SE MT

Fajar 1 Syawal sebentar lagi menyingsing di ufuk timur, pertanda kita berada di suatu hari yang sangat berbahagia. Takbir, tahmid, dan tasbih terdengar ke atas penjuru langit. Baik di kota maupun di desa, di gunung maupun di lembah, di pantai maupun di pedalaman, di perumahan kumuh maupun di komplek perumahan mewah.

Orang berbondong-bondong melaksanakan shalat Id berjamaah. Mereka laksana drama kolosal kemanusiaan, berduyun-duyun pergi menuju masjid, mushala dan lapangan untuk menunaikan salat Id yang menandai berakhirnya puasa Ramadhan dan sekaligus simbol kemenangan umat Islam karena telah berhasil melewati ujian berat: berpuasa selama sebulan penuh di bulan suci Ramadhan. Untuk itu, kita saling bersalaman mengucapkan selamat kepada sesama kaum muslimin, saling memberi maaf, dengan perasaan suka cita dan penuh kegembiraan merayakan hari kemenangan.

Bagi siapa saja yang berhasil melewati ujian maha berat selama Ramadhan, dijanjikan oleh Allah SWT akan diampuni segala dosanya dan dibebaskan dari azab api neraka. Bahkan lebih dari itu, Allah SWT akan mengembalikan manusia kepada kesucian primordial yaitu fitrah kemanusiaan yang bersifat azali. Karena itu, hari kemenangan disebut Idul Fitri, yang berarti kembali kepada kesucian (fitrah).

Kembali ke fitrah merupakan puncak pencapaian spiritualitas yang sangat didambakan dan membahagiakan bagi setiap muslim. Kembali ke fitrah berarti kita memperoleh penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) yang selama 11 bulan terlumuri oleh berbagai kotoran, noda, dan dosa yang telah mereduksi nilai kemanusian kita. Kembali ke fitrah berarti kita memperoleh pembebasan dari segala belenggu nafsu duniawi yang membuat kita terlena, bahkan acapkali membuat kita berpaling dari Allah SWT (QS: Al Muzzamil [73]:9, 15).

Kembali ke fitrah berarti kita memperoleh kesempatan untuk mendekatkan diri (taqarrub) ke haribaan Allah SWT yang Mahasuci, karena jiwa kita telah disucikan oleh-Nya. Kesempatan untuk bertaqarrub ke haribaan Allah SWT itulah yang amat membahagiakan dan menjadi dambaan bagi setiap Muslim.

Bagi bangsa Indonesia, ujian dirasakan jauh sebelum Ramadhan. Bencana alam seperti susul menyusul, krisis moral, dan bencana kemanusian seperti kerusuhan, kelaparan, serta musibah lainnya. Ramadhan semestinya menjadi bulan perenungan. Bulan intsrospeksi.

Oleh karena itu, mari kita jadikan Idul Fitri sebagai momentuam untuk melakukan koreksi menyeluruh (istisab) terhadap berbagai praktek kehidupan sosial keagamaan dan kemasyarakatan kita. Agar bangsa Indonesia kembali ke fitrah. Agar Indonesia kembali ke cita-cita dasar dan luhur dibentuknya Republik Indonesia oleh para pendiri bangsa.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 21-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=269381&kat_id=14

Friday, October 20, 2006

Membahagiakan Anak Yatim

Oleh : Ummu Fatiha

''Dulu ketika ayah masih ada, baju Lebaranku empat. Aku mendapat banyak uang baru. Sepatuku baru. Sandalku juga. Dulu ketika ayahku ada, banyak kue di meja tamu. Dulu ketika ayahku ada ...'' (Suara Maesarah tercekat. Ia tersenyum, tapi air mata meluncur di pipinya yang sawo matang).

Lebaran sebentar lagi. Mungkin sudah sejak beberapa hari lalu Anda berburu pakaian baru untuk buah hati tercinta. Atau, bahkan sudah dilakukan sejak awal Ramadhan. Tapi, pernahkah terbayang bagaimana Maesarah, penghuni sebuah yayasan yatim piatu di Ciputat, Tangerang, itu merayakan Lebaran? Padahal, Islam menganjurkan umatnya untuk memuliakan anak yatim. Orang yang menghardik anak yatim dinilai sebagai orang yang mendustakan agama (QS Al Maa'un [107]: 1-2). Anak yatim juga tidak boleh diberlakukan sewenang-wenang atau disia-siakan (QS Adh Dhuhaa [93]: 9).

Rasulullah SAW sendiri merupakan sosok yang sangat menyayangi anak yatim. Dalam hadisnya, Rasulullah SAW menyatakan, ''Bahwa saya dan orang yang memelihara anak yatim dengan baik akan berada di surga, bagaikan dekatnya jari telunjuk dengan jari tengah.'' (HR Muslim). Bila kita mengaku cinta Rasulullah, mari kita mencintai anak yatim. Mumpung Idul Fitri masih beberapa hari lagi, mumpung masih ada waktu untuk membuat mereka tersenyum di hari kemenangan nanti. Adalah kewajiban kita untuk berbagi kebahagiaan bersama mereka.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 20-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=269238&kat_id=14

Thursday, October 19, 2006

Terima Kasih Ya Allah!

Oleh : Muhammad Arifin Ilham

Ramadhan dengan masdar Ramadhan bermakna pembakaran. Sesuatu yang dibakar biasanya hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti sampah yang dibakar untuk dibersihkan. Kalaupun yang dibakar baik, untuk lebih baik, seperti besi dibakar untuk jadi pisau, palu, pacul, dan sebagainya. Apabila proses pembakarannya dengan ilmu dan teknologi. Jadilah teknologi canggih seperti motor, mobil, pesawat, dan sebagainya.

Demikian halnya Allah meramadhankan kita untuk mencetak pribadi-pribadi yang canggih, yaitu pribadi-pribadi yang bertakwa. Pertama, Ramadhan membakar dosa-dosa kita kepada Allah (dosa vertikalistik). Tidak satupun di antara kita bersih dari dosa-dosa. Sehingga, orang-orang bertakwa pun diingatkan oleh Allah (QS An-Najm [53]: 32), ''Janganlah kalian merasa paling suci padahal Allah sangat tahu siapa yang paling bertakwa di antara kalian.''

Kedua, Ramadhan membakar dosa-dosa antarkita (dosa horizontal). Dengan keluarga kita disahurkan. Jarang terjadi dan sangat berkesan bersama keluarga menjelang fajar, menumbuhkan cinta dan keakraban, dan inilah di antara makna berkah sahur. Yang disebutkan oleh Rasulullah SAW. Dengan tetangga jarang bertemu, dengan Ramadhan ditarawihkan, dimushallakan, dimasjidkan.

Dengan fakir miskin dibersamakan dengan zakat fitrah dan zakat mal, bahkan serempak umat Islam seluruh dunia berpuasa. Allah ingin kita, kaum beriman, menjadi masyarakat dunia yang bertakwa (Al Baqarah [2]: 183).

Ketiga, dibakar dosa-dosa yang telah mendarah daging. Mungkin selama sebelas bulan ada makanan dan minuman yang tidak halal termakan, sehingga menyusup menjadi darah dan daging. Imam Ghozali menyebutnya zakatul jasad. ''Tidak akan masuk surga darah-daging yang tumbuh dari yang haram,'' demikian peringatan Rasulullah SAW.

Keempat, Ramadhan membakar berbagai macam penyakit sehingga tidak satu pun pakar dari semua disiplin ilmu menemukan dampak buruk dari puasa kecuali hikmah dan hikmah (Al Baqarah [2]:184). Sungguh benar sabda Rasulullah SAW, ''Dengan berpuasa kalian akan sehat.''

Kelima, Ramadhan membakar sifat-sifat tercela, gampang marah, serakah, dengki, bakhil, dan sebagainya. Saat berpuasa orang beriman tidak melakukan apa yang dilakukan hewan seperti makan, minum, dan seks. Allah, pencipta alam semesta ini, ingin menghadirkan sifat-sifat malaikat pada diri hamba-hamba-Nya. Taat tanpa reserve dan tanpa putus berdzikir. Subhanallah! Terima kasih Ya Allah, Engkau meramadhankan kami, dan menjadikan kami hamba-Mu yang mulia.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 19-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=269075&kat_id=14

Wednesday, October 18, 2006

Bulan Tarbiyah Anak

Oleh : Hj Yoyoh Yusroh

Rasulullah SAW dan para shahabat mengenalkan puasa sejak dini pada anak. Diriwayatkan bahwa bila waktu Ashar tiba, para sahabat sibuk membujuk anak-anak yang mulai merengek meminta berbuka dengan membuatkan mereka permainan dari bulu. Tentu upaya mengenalkan puasa pada anak ini menimbang kemaslahatan kondisi anak, misalnya, kondisi kesehatan dan pentahapan dalam pengenalannya.

Secara syar'i anak-anak memang belum wajib berpuasa. Pengenalan sejak dini ini dimaksudkan agar tumbuh rasa cinta mereka pada ibadah puasa, sebagai sebuah ibadah istimewa yang Allah sebutkan dalam hadis Qudsi sebagai ibadah yang khusus untuk-Nya. Maka, cara pengenalannya pun seyogianya dengan penuh cinta.

Cinta pada Ramadhan adalah hal pertama yang harus ditumbuhkan. Berbagai keutamaan Ramadhan sebagai sayyidul syahri -- penghulu bulan --merupakan informasi yang dapat membuat anak jatuh hati. Tentu informasi ini perlu dilengkapi dengan gambaran keindahan serta kenikmatan surga yang kekal. Secara ruhiy, insya Allah, keimanan anak akan tumbuh secara kokoh di hati, bersambung dengan beningnya fitrah mereka.

Kisah-kisah peri kehidupan Rasulullah dan para sahabat di bulan Ramadhan juga akan menambah khasanah wawasan dan kecintaan mereka pada ibadah puasa dan berbagai amalan utama lainnya. Misalnya, bahwa Rasulullah dan para sahabat makin tampak berbahagia di bulan Ramadhan. Senyum mereka kian mekar bertebaran, serta tegur sapa dan salam yang kian hangat di masyarakat. Mereka sadar betul bahwa Ramadhan adalah bulan cinta, bulan istimewa yang Allah jadikan sebagai tanda kasih-Nya bagi umat Islam.

Kedermawanan Rasulullah dan para sahabat di bulan Ramadhan juga melebihi hari-hari lainnya. Diriwayatkan bahwa pemurahnya Rasulullah bagaikan angin bertiup. Maka, tak ada salahnya kita menyepakati bersama anak-anak bagaimana program infak Ramadhan keluarga dilakukan dan ke mana hendak disalurkan. Kegiatan ini bisa menjadi salah satu peristiwa yang mengasyikkan bagi anak-anak serta mengasah kepekaan sosial mereka.

Demikianlah indahnya Ramadhan dapat kita tanamkan di hati anak, menjadi kesan mendalam yang tak tergantikan sepanjang hidupnya, insya Allah. Di akhir Ramadhan, silaturahim Idul Fitri pada para sesepuh, mendidik anak untuk menghargai para orang tua, membuat mereka menjadi pemuda yang rendah hati dan santun. Semoga Ramadhan ini Allah jadikan indah bagi kita sekeluarga, dan Ramadhan yang akan datang adalah saat yang lebih indah dari saat ini. Amin.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 18-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268962&kat_id=14

Tuesday, October 17, 2006

Hakikat Menahan Lapar

Sebagai pemimpin, Rasulullah SAW selalu hidup sederhana, dan jauh dari sikap boros dan berlebihan, termasuk dalam soal makan dan minum. Dikatakan, Rasulullah SAW tidak pernah makan kenyang sepanjang hidupnya sampai beliau wafat (HR Muslim). Kalaulah kita harus makan, maka disarankan agar sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk udara atau bernapas (HR Thirmidzi).

Seperti Nabi, Umar bin al-Khaththab, meski tergolong kaya, beliau sangat sederhana dan asketis. Beliau sering mengingatkan kaum Muslim agar tidak menjadi budak perut ('bd al-buthun). Begitu pula sahabat-sahabat Nabi yang lain. Mereka hidup sederhana. Di kalangan mereka, ada ungkapan yang sangat masyhur, yaitu: Nahnu qaumun la na'kulu hatta naju' wa idza akalna la nasyba' (Kami adalah segolongan manusia yang tidak makan hingga lapar, dan kalau makan pun tidak sampai kenyang).

Secara spiritual, lapar atau menahan lapar menjadi syarat utama bagi al-Salik, yaitu orang yang menempuh perjalanan menuju Allah. Dalam kitab Ihya' `Ulum al-Din, Imam Ghazali menulis satu pasal khusus tentang keutamaan lapar ini. Menurut Ghazali, lapar itu mendatangkan banyak keutamaan. Di antaranya yang terpenting adalah beberapa hal ini.

Pertama, mencerahkan hati dan pikiran kita. Menurut Ghazali, orang yang lapar (bukan kelaparan) tidak hanya sehat secara fisik, tetapi terlebih lagi sehat secara ruhani. Baginya, hati manusia itu ibarat tanaman. Ia menjadi mati kalau terlalu banyak air atau terendam banjir.

Kedua, meningkatkan sense of crisis dan kepekaan sosial. Orang yang lapar lebih peka terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain. Ini berarti, lapar itu dapat menumbuhkan jiwa penolong dan solidaritas sosial. Bahkan, menurut Ghazali, lapar itu mengingatkan kita pada siksa dan azab akhirat, sehingga kita lebih tergugah untuk memperbanyak ibadah dan amal shaleh.

Ketiga, mencegah dorongan syahwat dan nafsu amarah. Menurut al-Ghazali, sumber dan energi syahwat itu adalah makan dan minum. Oleh sebab itu, orang yang mengurangi makan dan minum, ia akan mampu mengendalikan nafsu syhawatnya. Lalu, seperti umum diketahui, orang yang mampu mengendalikan nafsunya, ia akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan, dan sebaliknya orang yang dikendalikan oleh nafsunya, ia akan binasa dan celaka. Inilah menurut Ghazali, keutamaan terbesar dari lapar.

Di samping itu, terdapat keutamaan lapar yang lain lagi, yaitu terbukanya peluang dan kekuatan ibadah di malam hari. Dikatakan, orang yang kenyang atau kekenyangan, akan mudah terserang oleh rasa kantuk dan tidur, sedangkan orang yang lapar atau sedikit makan dan minum, ia pasti tahan bangun dan melek malam.

Inilah sesungguhnya makna firman Allah, ''Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah).'' (QS Adz-Dzariyat [51]: 17-18). Wallahu A'lam!

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 17-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268823&kat_id=14

Budaya Konsumtif

Oleh : Rokhmin Dahuri

''Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.'' (QS Al-Isra' [17]: 26).

Firman Allah SWT ini sangat penting untuk dihayati dan diamalkan oleh kita yang menjalankan ibadah puasa. Karena, meski di bulan Ramadhan kita dapat menahan lapar dan dahaga, namun acapkali tak mampu untuk menahan diri dari sifat boros. Padahal salah satu hikmah ibadah puasa adalah momentum untuk membuang sifat konsumtif dan secara simultan menumbuh-kembangkan kepedulian muslim yang mampu terhadap kaum dhuafa.

Begitu mudah kita terjangkit penyakit gila belanja (shopaholic). Budaya boros ini menjangkiti hampir semua lapisan usia di Tanah Air. Anak-anak lebih mementingkan pulsa telepon selular ketimbang menabung untuk keperluan sekolah. Ibu rumah tangga terlalu banyak belanja untuk make up, perhiasan, perabotan, dan makanan. Sementara kaum bapak bergaya hidup mewah demi gengsi.

Puasa sejatinya menanamkan etos penyadaran bagi manusia untuk mengukur dan mengendalikan diri, agar kehidupannya dapat lebih terarah, produktif dan bermakna bagi dirinya serta sesama umat manusia.

Perenungan ini mutlak diperlukan, agar puasa tidak hanya menjadi rutinitas ibadah tahunan tanpa makna. Jangan sampai di bulan Ramadhan kita justru bertambah boros daripada bulan-bulan yang lain. Sementara pesan puasa yang menuntut kita untuk bersedekah dan berbagi kelebihan kepada sesama malah terlupakan.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 16-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268697&kat_id=14

Monday, October 16, 2006

Mengoptimalkan Iktikaf

Oleh : KH Athian Ali M Da'i MA

Secara syara', iktikaf mengandung pengertian, ''tinggal untuk waktu tertentu di dalam masjid dengan niat beribadah kepada Allah SWT.'' Dasar hukumnya, di samping firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 125 dan 187, juga hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan iktikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, sejak beliau tiba di Madinah sampai dengan wafatnya. (HR Bukhari dan Muslim)

Iktikaf dapat dilaksanakan selama bulan Ramadhan dan juga di luar Ramadhan. Saat yang terbaik adalah 10 hari terakhir dalam bulan Ramadhan. Jumhur (mayoritas) ulama sepakat, iktikaf sunah hukumnya, kecuali iktikaf nazar. Mazhab Hanafi membaginya kepada yang wajib yakni, iktikaf nazar sunnah mu'akkadah pada 10 hari terakhir Ramadhan dan yang sunnah mustahab pada waktu-waktu selain 10 hari terakhir Ramadhan.

Iktikaf dimaksudkan untuk menyucikan ruh dan mengembalikannya kepada fitrah iman (QS Al A'raaf [7]: 172) dan fitrah Islam (QS Ar Rum [30]: 30) dengan berupaya mematikan kecenderungannya fujur (kefasikan) dan menghidupkan kecenderungan takwa (QS Asy syams [91]: 7-8). Membebaskan diri sementara dari kesibukan dunia agar terbebas dari penyakit al wahn, yakni hubbu al dunia wa qorohiyah al maut (cinta kepada dunia dan takut akan kematian).

Berupaya mengusir nafsu setani dari dalam diri lewat upaya taqarrub(mendekatkan) diri kepada Allah SWT dengan tidak puas hanya melaksanakan yang diwajibkan, tapi berusaha memperkaya diri dengan ibadah-ibadah yang disunahkan. Merasa belum cukup dengan tidak melakukan yang diharamkan, tapi juga berupaya menjauhi yang dimakruhkan.

Melakukan latihan ruhaniyah (tahziib an nafs) seperti yang dimaksudkan Imam Al Ghazali dengan thariqaat. Beliau mendefinisikannya sebagai, ''Berusaha dengan sungguh-sungguh hidup di jalan Allah, dengan menghapus segala sifat yang tercela, serta memutuskan hubungan dengan segala bentuk kehidupan yang tidak diridhai Allah SWT.'' Sasaran utamanya adalah menggapai posisi sebagai `ibad ar rahmaan (hamba yang baik dari Allah Yang Maha Pengasih) dengan sekian kriterianya yang terdapat dalam surah Al Furqaan (25) ayat 63-77.

Di antaranya menjauhkan diri dari sifat takabur, memanfaatkan sebagian malam dengan shalat tahajud. Menghindarkan diri dari perbuatan ahli neraka. Membaca dan menghayati Alquran serta berupaya mengamalkannya. Memperbanyak zikrullah dan istighfar. Bertafakur tentang Allah SWT dengan segala sifat 'Maha'-Nya.

Di samping itu, memanfaatkan saat-saat kedekatan diri dengan Al Khalik saat beriktikaf, untuk bermuhasabah dengan mempertanyakan kepada diri. Misalnya, andai kata kehidupan di alam dunia ini berahir esok hari sudah siapkah mempertanggungjawabkan amanah kehidupan ini di hadapan Allah SWT? Sudah cukupkah bekal iman dan amal saleh untuk dapat meraih rahmat dan maghfirah-Nya? Allahu Akbar! Wallahu a'lam bish-shawab

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 14-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268541&kat_id=14

Friday, October 13, 2006

Iktikaf di Masjid

Oleh : Prof Dr Azyumardi Azra MA

Iktikaf di masjid. Inilah anjuran mulia dari agama Islam bagi orang-orang yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Iktikaf di masjid berarti berdiam diri atau mengasingkan diri di dalam masjid dengan tujuan ibadah; merenung, berintrospeksi (muhasabah), dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah..

Dalam sejarah (sirah) Nabi Muhammad SAW disebutkan, kebiasaan pengasingan diri di tempat sunyi dan sepi telah dilakukan sejak masa awal Rasulullah di Mekkah. Nabi SAW sendiri menjauhkan diri dari kebisingan duniawi dengan mengasingkan diri di Gua Hira, sampai kemudian menerima wahyu pertama, sebagai tanda kenabian dan kerasulannya. Pengasingan diri semacam ini biasanya disebut dengan tahannuts atau tahanuf -- bukan iktikaf.

Tidak seperti pada masa-masa awal kenabiannya, Rasulullah kembali melakukan pengasingan diri pada masa akhir kehidupannya; tidak lagi di gua, tetapi di dalam masjid. Bentuk pengasingan semacam inilah yang kemudian disebut dengan iktikaf. Nabi SAW melakukan iktikaf di masjid setelah beliau menerima perintah puasa di dalam bulan Ramadan.

Perintah iktikaf sebagai salah satu bagian dari ibadah di dalam Islam didasarkan pada teks ayat Alquran, ''Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.'' (QS Al-Baqarah [2]: 125), dan ''Janganlah kamu mencampuri istrimu ketika kamu sedang beriktikaf di masjid.'' (QS al-Baqarah [2]: 187).

Kedua ayat Alquran ini memberi tuntunan, tempat pelaksanaan iktikaf atau tempat untuk menyendiri adalah di dalam masjid. Dengan begitu jelas, umat Islam tidak boleh melakukan pengasingan diri selain di masjid, seperti di kuburan atau di tempat-tempat lain yang dapat menyekutukan Allah, karena iktikaf hanya ditujukan untuk bersama Allah.

Dalam konteks ini jelas, Islam menjadikan masjid sebagai tempat suci yang sentral. Selain sebagai salah satu simbol terjelas dari eksistensi Islam, masjid juga sebagai tempat kegiatan ritual-sosial.

Dengan demikian, masjid dapat fungsional untuk menjadi salah satu pusat terpenting pembangunan kembali peradaban Islam. Dan, beriktikaf di dalam masjid pada hari-hari puasa di bulan Ramadan ini merupakan salah usaha untuk melakukan instrospeksi demi mengembalikan kejayaan dan peradaban Islam dengan landasan tauhid kepada Allah, di masa kini dan mendatang. Wallahu a'lam.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 13-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268362&kat_id=14

Thursday, October 12, 2006

Nuzul Al Quran

Kembali kita memperingati turunnya Alquran kepada Nabi Muhammad SAW yang lazim disebut Nuzul Alquran. Peringatan ini dinilai penting karena dimaksudkan untuk menggugah dan meningkatkan kembali kedudukan Alquran sebagai pedoman hidup manusia dan petunjuk dalam kehidupan individu, berbangsa, dan bernegara.

Alquran telah meletakkan dasar-dasar pedoman hidup bagi umat manusia yang kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi. Maka, sebagai khalifah kita harus taat kepada aturan main yang sudah digariskan Allah SWT. Tanpa itu manusia akan kehilangan arah dan akan bertindak sewenang-wenang yang pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan di muka bumi.

Alquran di samping mengajarkan keseimbangan hidup, juga menjadikan kebaikan, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan yang selalu dicita-citakan seperti yang kita inginkan. Begitu pula Alquran tidak mengajarkan kezaliman, kekerasan, apalagi terorisme. Karenanya, sangat disayangkan apabila perilaku umat Islam tidak mencerminkan ajaran Alquran yang memerintahkan kepada kita agar mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Masalahnya adalah sudahkah kita sebagai umat Islam mampu memahami isi kandungan Alquran dan kita implementasikan dalam kehidupan. Kita akui secara jujur bahwa umat Islam di Indonesia masih banyak yang belum mampu membaca Alquran dengan baik dan benar, apalagi memahami isi kandungannya, maka tugas kita sebagai Muslim adalah meningkatkan kualitas diri kita sehingga kita mampu membaca Alquran dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Memerhatikan kondisi tersebut kiranya tepat kalau peringatan Nuzul Alquran pada malam hari ini dijadikan sebagai momentum untuk melakukan koreksi dan introspeksi seraya membulatkan tekad untuk melakukan perubahan dan perbaikan dengan semangat kandungan Alquran.

Marilah kita bangun kerukunan dan persatuan serta kita jaga stabilitas nasional sehingga tercipta suasana yang kondusif untuk mewujudkan cita-cita menjadi bangsa dan negara Indonesia yang kuat dan bermartabat, adil dan sejahtera. Dengan demikian, kehidupan bangsa kita dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Maka, dalam membangun bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera, harus kita bakukan secara bersama saling menghormati tidak saling mencurigai, terutama antara ulama dan umara. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, ''Dua golongan manusia apabila keduanya saling damai dan rukun maka selamatlah kehidupan umatnya tetapi apabila hubungan keduanya rusak, maka akan rusaklah kehidupan umatnya yaitu ulama dan umara.'' (Al Hadits)

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 12-10-2006
http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268186&kat_id=14

Wednesday, October 11, 2006

Memberdayakan Dhuafa

Oleh : Ust Aslih Ridwan SAg

Apakah pengikut Muhammad yang kali pertama menyambut seruan agama ini terdiri atas orang-orang elite atau orang-orang dhuafa? Begitu satu dari 10 pertanyaan Heraclius, raja Romawi kepada Abu Sofyan bin Harb. Jawab Abu Sofyan, ''Mereka kebanyakan dhuafa.'' Kemudian kaisar mengatakan begitulah pengikut para rasul utusan Tuhan sebelumnya. ''Bila yang Anda katakan itu benar, maka Muhammad akan menguasai tempat pijakan kedua telapak kakiku ini. Aku semula mengira bahwa rasul yang diutus itu bukan dari kalangan kaum kalian.

Seandainya aku tahu bahwa aku bisa bertemu dengannya, aku akan datangi dia dan mencuci kedua talapak kakinya.'' (HR Imam Bukhari dari Abu Sofyan) Ironisnya, umat Muhammad pada hari ini kurang dekat dengan kaum dhuafa bahkan cenderung mengabaikannya. Sehingga, mereka kaum yang terpinggirkan dijadikan objek pemurtadan dan dieksploitasi.

Padahal, menolong dan membela kaum yang lemah mustadh'afien adalah tanda-tanda orang yang bertakwa (QS Al Ma'arij [70]:24-25). Mengabaikan fakir miskin, tiada rasa empati serta kurangnya kepedulian terhadap problem mereka, maka dianggap mendustakan agama (QS Al Maa'un [107]:1-3). Mari kita berkaca lagi.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 11-10-2006
http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268011&kat_id=14

Tuesday, October 10, 2006

Akhlaq dan Kedermawanan

Oleh : H Saifullah Yusuf

Sedahsyat apa pun badai persoalan, seberat apa pun himpitan beban, seorang mukmin senantiasa percaya akan pertolongan Allah. Bahwa, Allah memberikan pertolongan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Masalahnya, apakah kita ini pantas ditolong? Bahkan, pantaskah kita mengharapkan pertolongan-Nya? Maling tak pantas mengharap pertolongan polisi. Ia harus insaf dan bertobat dulu. Demikian pula adab kita di hadapan Allah. Kita boleh mengharap pertologan Allah kalau kita pantas. Kapan? Setelah kita insaf, bertobat, dan membaguskan agama-Nya.

Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Asaakir, dari Jabir bin Abdillah RA, dari Rasulullah SAW, Allah berfirman, ''Inna hadza diinun irtadloituhu linafsi, lan yushlihahu illaa as-sakhoo-u wa husnul khuluq, fa akrimuuhu bihima maa shohibtumuuhumaa, inilah agama yang Aku ridhai untuk diri-Ku. Tidak ada yang mampu membuatnya bagus, kecuali kedermawanan dan akhlak yang bagus. Karena itu, muliakanlah agama ini dengan yang dua itu selama kamu melestarikannya.''

Mengapa kedermawanan? Sebab harta adalah titipan Allah. Titipan itu bisa benar-benar menjadi anugerah kalau manfaatnya mampu menetes kepada lingkungan. Bagi seorang mukmin, segala isi dunia ini, termasuk harta, harus berfungsi ibadah.

Ibadah berarti infak. ''Wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquun, dan sebagian dari yang Kami anugerahkan, mereka infakkan: derma.'' Sungguh merugi, hartawan yang tidak demawan. Rugi diri sendiri, rugi pula masyarakatnya.

Dalam sebuah hadisnya Rasulullah SAW bersabda, bahwa di antara empat hal yang menentukan tegaknya dunia (masyarakat) adalah dermawannya kaum berpunya, di samping ilmunya para ulama, hadirnya pemimpin yang adil, dan doanya orang miskin.

Lebih lanjut, tujuan kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. Sedangkan akhlak itu sendiri 'melayani' dua matra: hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minan naas (hubungan dengan sesama manusia). Tidak dapat disebut berakhlak mulia kalau kedua matra itu tak terlayani dengan sebaik-baiknya. Bukan akhlak mulia bila keshalihan ritual tanpa dibarengi keshalihan sosial atau sebaliknya. Sama halnya dengan khusyuk (merendahkan diri di hadapan Allah), tak dapat dipisah dari tawadhu (berendah hati di hadapan makhluk).

Marilah kita jadikan diri kita pantas memperoleh pertolongan Allah dengan membaguskan agama-Nya. Marilah membaguskan agama Allah dengan kedermawanan dan akhlak mulia. Momentum Ramadhan adalah saat yang pas bagi kita untuk berubah menjadi lebih baik. Menjadi hamba yang khusyuk sekaligus tawadhu. Wallahul Muwaffiq.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 10-10-2006
http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=267857&kat_id=14

Monday, October 09, 2006

Hari Raya untuk Semua

Oleh : Yusuf Mansur

Suatu hari di bulan Ramadhan beberapa tahun lalu, saya pulang dengan tentengan isi belanjaan untuk persiapan hari raya. Sampai rumah, saya menemukan Basri, adik ipar saya yang berusia tujuh tahunan, sedang bermain bersama Anil, kawan sebayanya.

''Nil,'' panggil saya kepada Anil. ''Sudah dibeliin apa saja oleh ayahmu?'' Anak itu diam sejenak, sebelum kemudian menyahut, ''Basri sudah Om beliin kelereng....'' Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Matanya memerah. Anil tiba-tiba bangun meninggalkan kelerengnya dan pulang dalam keadaan menangis.

Saya baru sadar, ayah Anil sejak beberapa bulan sebelumnya menganggur. Saya sedih, karena sebenarnya Anil baru saja terdiam dari menangis, ia merengek meminta dibelikan sesuatu untuk Lebaran. Dan, saya menyesal karena lupa membelikan sesuatu untuknya.

Tak sedikit anil-anil kecil yang nasibnya nestapa ketika akan menghadapi hari raya. Amal ibadah di bulan suci Ramadhan ini mestinya mendidik kita untuk lebih mencintai anak yatim dan orang miskin.

Ibadah puasa dengan menahan rasa lapar dan haus di siang hari, adalah bentuk manifestasi dari kecintaan kita kepada anak yatim dan orang miskin yang selalu kekurangan. Begitu pula ibadah sedekah dan infak yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW di bulan suci Ramadhan, mestinya mengikis sikap kikir kita kepada saudara kita yang tak berpunya.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 09-10-2006
http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=267684&kat_id=14

Friday, October 06, 2006

Ramadhan dan Pendidikan Diri

Oleh : Dr Masyitoh Chusnan MAg

Di antara ciri khas Ramadhan adalah meningkatnya kesadaran setiap Muslim untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Suasana religius terlihat di mana-mana, dibarengi dengan tumbuh suburnya perilaku keagamaan yang terjadi di bulan suci ini. Umat Islam mempersiapkan dirinya untuk dapat lebih banyak beribadah, meningkatkan prestasi sosialnya, mengendalikan dirinya dari hawa nafsu, serta meningkatkan ketakwaannya.

Puasa merupakan sarana yang sangat efektif untuk menahan segala kecenderungan negatif. Sebaliknya, puasa memotivasi diri untuk melakukan semua bentuk kebaikan dan amaliyah positif. Di sinilah proses pendidikan kualitas diri sedang terjadi. Dalam proses ini, sesungguhnyalah kaum Muslimin sedang meneladani Allah, karena setiap saat Allah ada dalam `kesibukan' (kullu yaumin Huwa fi sya'n).

Jika menengok sejarah Rasul, justru prestasi besar yang diraih oleh Rasul terjadi pada bulan Ramadhan. Misalnya kemenangan Perang Badar, serta keberhasilan menguasai Kota Makkah.

Sepeninggal beliau, prestasi umat Islam juga telah ditorehkan dalam sejarah di bulan suci ini. Kemenangan umat Islam menaklukkan Spanyol dapat diraih di bulan Ramadhan. Kemenangan menghadapi Perang Salib, demikian pula melawan bangsa Tartar terjadi pada bulan Ramadhan. Proklamasi kemerdekaan RI pun terjadi pada bulan Ramadhan.

Ramadhan adalah bulan penuh berkah dari semua sisi kebaikan. Kaum Muslimin harus mengambil keberkahan Ramadhan dari semua aktivitas positif dari berbagai aspek kehidupan, termasuk juga aspek ekonomi, sosial, budaya, dan pemberdayaan umat.

Rasulullah SAW menjadikan Ramadhan sebagai bulan penuh amaliah dan aktivitas positif. Selain yang disebutkan di atas dan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, beliau juga mengintensifkan kegiatan pendidikan di bula suci ini. Semoga dengan meneladani Allah dan Rasulullah, kualitas diri kita pada Ramadhan ini semakin meningkat.

Jika seorang Muslim tetap istiqamah mengisi kehidupannya dengan meniti jalur yang diridhai Allah yaitu jalur yang dipandu oleh iman, insya Allah janji Allah akan dapat diraih. Meniti jalur ini, memang tidak mudah, penuh perjuangan dan pengorbanan. Salah satu perjuangannya adalah melalui ibadah Ramadhan, khususnya puasa, yang merupakan 'jihad akbar' melawan hawa nafsu. Semoga kita selalu memenangi perang melawan hawa nafsu, sampai Ramadhan tahun mendatang. Wallahu'alam bi al shawab.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 06-10-2006
http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=267403&kat_id=14

Thursday, October 05, 2006

Kriteria Tobat

Oleh : Dr A Ilyas Ismail MA

Bulan Ramadhan dapat dijadikan sebagai syahr al-taubah, yaitu bulan tobat. Di bulan ini, kaum Muslim diperintahkan agar banyak melakukan taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, juga memperbanyak kebaikan dan amal shaleh, serta membersihkan diri dari berbagai dosa dan maksiat kepada Allah SWT.

Dalam terminologi agama, upaya kita untuk membersihkan diri dari dosa-dosa itu, dinamakan tobat. Pada intinya tobat mengandung makna meninggalkan dosa-dosa, baik kecil (al-Shaghair) apalagi besar (al-kabair) disertai penyesalan yang mendalam. Secara sufistik, tobat dipandang sebagai pangkal tolak (tangga pertama) dalam perjalanan menuju Allah (al-tawbah ashl kulli maqam). Tanpa tobat, manusia tidak bisa mendapatkan akses menuju ke jalan atau orbit Tuhan.

Menurut Ghazali, tobat melibatkan tiga aspek sekaligus, yaitu aspek pengetahuan manusia (kognisi), aspek sikap mental (afeksi), dan aspek perbuatan (behavioral). Aspek pengetahuan dalam arti kesadaran manusia tentang bahaya dan akibat-akibat buruk dari perbuatan dosa, akan memengaruhi sikap, dan selanjutnya memengaruhi prilaku dan perbuatannya. Bagi Ghazali, tobat yang baik adalah tobat yang memenuhi tiga kriteria. Pertama, meninggalkan dosa-dosa (al-iqla' `an al-dzunub). Kedua, berjanji tidak mengulangi (al-`azm an la ya'uda). Ketiga, menyesali diri atas dosa-dosa yang diperbuat dan atas hilangnya kesempatan dan peluang baik secara sia-sia (al-nadam `ala ma fata).

Kriteria yang ketiga di atas, yaitu penyesalan, dipandang oleh Ghazali sebagai kunci sukses tobat. Hal ini, karena tanpa penyesalan yang mendalam, sukar dibayangkan seseorang akan benar-benar bertobat. Itu sebabnya, Nabi SAW memandang bahwa penyesalan itu identik dengan tobat itu sendiri, sebagaimana sabda beliau, ''al-Nadamu Taubatun, penyesalan adalah tobat itu sendiri.''

Orang yang benar-benar menyesal, menurut Ghazali, ditandai oleh tiga hal. Pertama, hatinya lentur dan sensitif serta tidak membeku dan membatu seperti batu cadas (riqqat al-qalb). Kedua, air matanya mudah meleleh tanpa sadar (ghazarat al-dumu'). Ketiga, ia kapok dan benci pada dosa-dosa yang dahulu pernah dinikmatinya. Orang yang bertobat dengan tingkat penyesalan seperti di atas layak mendapat pengampunan dari Allah SWT.

Inilah sesungguhnya makna firman Allah: ''Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.'' (QS Ali Imran [3]: 135-136). Wallahu A'lam

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 04-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=267108&kat_id=14

Tuesday, October 03, 2006

Shaum yang Diterima

Oleh : KH Ma'ruf Amin

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ''Telah bersabda Rasulullah SAW, setiap amal anak bani Adam adalah untuknya kecuali puasa, ia adalah untukku dan ada pahala dengannya. Dan sesungguhnya puasa itu adalah benteng pertahanan, pada hari ketika kamu puasa janganlah berbuat keji, jangan berteriak-teriak (pertengkaran), apabila seorang memakinya sedang ia puasa maka hendaklah ia katakan, 'Sesungguhnya saya sedang puasa.' Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya sungguh bau busuknya mulut orang yang sedang puasa itu lebih wangi di sisi Allah pada hari kiamat daripada kasturi.

Dan bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan, apabila ia berbuka ia gembira dengan bukanya, dan apabila ia berjumpa dengan Rabbnya ia gembira karena puasanya.'' ( HR Al-Bukhary dan Muslim) Dalam kaitan ini Rasulullah SAW dengan tegas bersabda, ''Kam min shaimin laisa lahu min shiyamihi illalju'i wal 'athasyi, berapa banyak dari mereka yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa, kecuali rasa lapar dan haus.''

Agar ibadah puasa yang kita laksanakan selama bulan suci Ramadlan ini, dapat diterima oleh Allah SWT, hendaknya ibadah puasa tersebut memenuhi syarat-syarat sahnya puasa. Yang lebih penting lagi adalah niat. Niat harus benar-benar ikhlas, semata-mata karena Allah SWT kemudian tidak disertai dengan perilaku yang membatalkan puasa.

Lafal niat ini sangat penting diucapkan oleh seseorang yang akan melaksanakan ibadah puasa. Oleh karena itu, ada baiknya jika setiap malam seusai shalat tarawih berjamaah secara bersama-sama melafalkan niat puasa semata-mata karena Allah SWT.

Rasulullah SAW memberi bimbingan bahwa Allah Maha Pencemburu (ghayyur) jika seorang hamba berniat puasa bukan karena Allah, tapi karena niat yang lainnya.

Tindakan dan perilaku yang dapat membatalkan puasa, antara lain, berbohong, menipu, mengadu domba, ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), ataupun menyaksikan sesuatu dengan pandangan yang penuh syahwat. Walaupun secara hukum ibadah puasanya benar, namun jika perilaku-perilaku tersebut di atas dilakukan, maka bisa jadi pahala puasanya batal. Termasuk di dalamnya menyaksikan tayangan ghibah di layar kaca selama Ramadhan, dapat membatalkan pahala puasa.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, ''Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda, barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan kebohongan, maka tidak ada bagi Allah hajat (untuk menerima) dalam hal ia meninggalkan makan dan minumnya.'' Maksudnya Allah tidak merasa perlu memberi pahala puasanya.

Marilah kita jaga dan pelihara pahala ibadah shaum dan puasa dari hal-hal yang membatalkannya. Jangan sampai seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, kita tidak mendapatkan apa-apa dari amal ibadah puasa kita kecuali rasa lapar dan haus.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 03-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=266954&kat_id=14

Monday, October 02, 2006

Jangan Berputus Asa

Oleh : Dr Hj Tutty Alawiyah AS

Dalam kehidupan, manusia harus memiliki sebuah tujuan. Seorang yang telah mendapatkan Islam mempunyai tujuan dan arah yang jelas. Dia mempunyai pedoman dan petunjuk berupa Alquran dan As-Sunah, yang akan mengantarkannya sampai ke tujuan dengan selamat.

Islam mengajarkan hidup berkeseimbangan dan memahami bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang menuju tujuan yang benar, yaitu kepada jalan akhirat yang Tuhan sudah sediakan. Jalan menuju kepada Allah dan jalan kekekalan ke negeri akhirat itu ada fase-fasenya. Dunia, adalah satu fase saja.

Bagi orang yang mempunyai agama dan dia mengikuti Islam secara kaffah, dia akan dapat hidup dengan seimbang dan hidup dengan kebenaran dan kedamaian. Tetapi tidak mudah untuk mencapai keseimbangan karena di dunia ini banyak daya tarik, godaan yang bisa membuat manusia lupa, tergelincir, tersesat, dan lain-lain.

Hidup ini tidak bisa dijalani dengan seenaknya. Namun bukan berarti tidak bisa dilalui dengan mudah. Kalau saja manusia itu lebih bisa merenung akan tercapai bahwa hidup ini bisa menjadi mudah dan setiap persoalan selalu ada solusi dan jalan keluar yang baik. Adalah sangat disayangkan kalau manusia banyak yang tergelincir dan terpuruk berkepanjangan hanya karena merasa ujian-ujian yang diterimanya dia rasa tidak bisa mengatasinya.

Muslim yang 'menemukan jalannya' adalah Muslim seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya: ''Kalau senang ia bersyukur, kalau susah dia bersabar.''

Cobaan itu datang dari Allah. Orang-orang yang sabar terhadap musibah adalah orang-orang yang akan mendapat kabar gembira dari Tuhannya, seperti firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 155-157. ''Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yatu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, innaalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.''

Ramadhan adalah bulan yang pas untuk menggembleng diri menjadi Muslim yang menemukan jalannya, yaitu jalan Tuhan. Satu bulan penuh dalam setahun ini Allah berkehendak meningkatkan derajat ketakwaan hamba-hambanya. Salah satu mata 'pelajaran' penting dalam ibadah puasa adalah melatih kesabaran, supaya hidup selalu dalam keseimbangan.

Melatih kesabaran ini sangat penting karena manusia sekarang ini sering putus asa apabila menghadapi sebuah kenyataan yang pahit. Kita lihat saat ini banyak sekali orang yang mudah putus asa. Mendapat sedikit ujian, dia langsung menyerah. Mendapat ujian berupa ketidakmampuan ekonomi, dia dengan segera berpindah keyakinan.

Semoga melalui ibadah Ramadhan ini, iman kita dimantapkan. Rahmat Tuhan itu sangat luas. Terlalu sayang bila kita menyerah terhadap segala cobaan, yang adalah hanya ujian kecil dari Allah dalam satu fase -- yaitu alam dunia -- dalam perjalanan menuju-Nya.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 02-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=266783&kat_id=14

Friday, September 29, 2006

Puasa dan Kesehatan

Oleh : Muhtar Sadili

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana juga telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS Al-Baqarah [2]: 183). Dan, andai kalian memilih puasa tentulah itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 184).

Dua ayat di atas menggambarkan tentang kewajiban puasa dan manfaatnya. Selain menjadikan umat islam bertakwa, puasa juga penuh manfaat, antara lain bagi kesehatan badan. Jauh-jauh hari Rasulullah telah bersabda, ''Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.''

Berbagai penelitian ilmiah dan terperinci terhadap organ tubuh manusia dan aktivitas fisiologisnya menemukan bahwa puasa sangat dibutuhkan oleh tubuh, sama seperti halnya makan, bergerak, dan tidur. Jika manusia tidak bisa tidur, dan tidak makan selama rentang waktu yang lama, maka ia akan sakit, karena tubuhnya tidak beristirahat secara cukup. Maka, tubuh manusia pun akan mengalami hal yang tidak menguntungkan jika ia tidak berpuasa.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasaa'i dari shahabat Abu Umamah: ''Wahai Rasulullah, perintahkanlah kepadaku satu amalan yang Allah akan memberikan manfaat-Nya kepadaku dengan sebab amalan itu.'' Maka Rasulullah bersabda, ''Berpuasalah, sebab tidak ada satu amalan pun yang setara dengan puasa.''

Puasa bisa membantu badan dalam membuang sel-sel yang sudah rusak, sekaligus hormon ataupun zat-zat yang melebihi jumlah yang dibutuhkan tubuh. Dan puasa, sebagaimana dituntunkan oleh Islam adalah rata-rata 14 jam, kemudian baru makan untuk durasi waktu beberapa jam, merupakan metode yang bagus untuk membangun kembali sel-sel baru.

Dan, ini sangat berbeda dengan apa yang dipahami kebanyakan orang, bahwa puasa menyebabkan orang menjadi lemah dan lesu. Puasa yang bagus bagi badan itu adalah dengan syarat dilakukan selama satu bulan berturut-turut dalam setahun, dan bisa ditambahkan tiga hari setiap bulan.

Hal ini sesuai benar dengan anjuran Rasulullah dalam sebuah hadisnya: ''Siapa yang berpuasa tiga hari setiap bulan, maka itu sama dengan puasa dahr (puasa sepanjang tahun).''

Kalau memakai analisis matematika Alquran, kita akan menemukan relevansinya dengan firman-Nya: ''Barangsiapa yang beramal dengan satu perbuatan baik, maka Allah memberikan kepadanya 10 kali lipat dari amalan itu.'' (QS Al-An'am [6]: 160)

Analoginya, satu hari dihargai 10 hari oleh Allah, maka tiga hari dihargai 30 hari, dan bila tiga hari setiap bulan maka menjadi 36 hari. Dan ini senilai dengan 360 hari atau satu tahun dalam penghargaan Allah.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 29-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=266459&kat_id=14

Thursday, September 28, 2006

Puasa dan Keberpihakan

Oleh : Didin Hafidhuddin

Salah satu watak dasar manusia adalah kecenderungannya untuk selalu berpihak pada orang atau kelompok orang atau pada perilaku yang sejalan dengan keinginannya. Kelompok orang yang berperilaku baik akan selalu memiliki pengikut, sama halnya dengan kelompok orang yang berperilaku buruk pun akan memiliki pengikut pula. Hal ini merupakan sunatullah yang bersifat eksak (pasti) dan konstan (tetap), kapan dan di manapun.

Tidak akan mungkin ada orang atau kelompok orang yang berperilaku netral, meski menyatakan dirinya sebagai orang-orang yang netral. Atau pada waktu yang bersamaan, orang tersebut berpihak pada kebaikan sekaligus pula berpihak pada keburukan. Allah SWT berfirman dalam QS Al Azhab [33] ayat 4: ''Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati (dua kecenderungan dan dua buah pikiran) dalam rongganya ....''

Puasa Ramadhan yang sedang kita lakukan pada hakikatnya adalah mengasah dan menajamkan keberpihakan pada hal-hal yang baik, positif, dan maslahat bagi kebidupan pribadi atau masyarakat. Di sisi lain, juga memandulkan keinginan untuk berpihak pada hal-hal yang buruk, negatif, dan merusak tatanan kehidupan.

Sebagai contoh, puasa menajamkan keberpihakan pada kejujuran. Sehingga, orang yang berpuasa dengan baik dan benar diharapkan akan selalu bertindak jujur, baik jujur pada diri sendiri, keluarga, jujur pada amanah dan tanggung jawab, serta terlebih lagi jujur pada Allah SWT. Kejujuran inilah yang akan mengantarkan pada kebaikan, sebaliknya, khianat dan dusta akan mengantarkan pada keburukan.

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, ''Hendaklah kalian jujur karena kejujuran itu akan mengantarkan pada kebaikan, dan kebaikan itu akan mengantarkan pada nikmat surga. Seseorang yang berusaha untuk terus-menerus jujur, maka Allah akan mencatatnya sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian dusta dan khianat, karena dusta itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan kejahatan akan mengantarkan pada azab neraka. Seseorang yang terus-menerus dusta, maka kelak akan dicatat oleh Allah sebagai pendusta.''

Puasa juga menajamkan keberpihakan pada orang-orang lemah yang dekat dengan penderitaan dan berbagai kesulitan. Tidak mungkin orang yang berpuasa dengan baik dan benar akan berperilaku kejam, kasar, dan zalim kepada mereka. Rasa lapar dan haus yang dialami oleh yang berpuasa akan menumbuhkan kasih sayang kepada mereka yang hidupnya selalu lapar.

Keberpihakan kepada mereka (dalam arti memerhatikan nasib mereka) pada hakikatnya akan mengundang pertolongan dan rezeki dari Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya kalian akan mendapatkan pertolongan dan rezeki dari Allah kalau kalian berpihak pada orang-orang yang lemah.'' Semoga kita termasuk dalam barisan hamba yang mampu 'menangkap' hikmah puasa. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 27-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=266182&kat_id=14