Wednesday, May 02, 2007

Meminta Jabatan

Oleh : Ian Suherlan

Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Engkau jangan melamar (meminta) jabatan (pimpinan), sebab jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, maka akan diserahkan kepadamu semuanya. Sebaliknya, jika jabatan itu diserahkan kepadamu tanpa perintaanmu, maka akan dibantu untuk mengatasinya.'' (HR Bukhari Muslim, Al-Lu'lu wal Marjan, No 1197).

Hadis tersebut berisi peringatan Rasulullah SAW kepada Abdurrahman bin Samurah agar ia tidak meminta-minta jabatan. Meski hadis tersebut dikatakan di hadapan Abdurrahman bin Samurah, tetapi larangan meminta jabatan berlaku untuk semua umat Nabi Muhammad SAW. Siapa pun dan di manapun mereka berada, Rasulullah melarang meminta-minta jabatan.

Kini terdapat fenomena orang-orang berlomba meraih jabatan. Kenapa meminta jabatan dilarang? Berdasar hadis di atas, paling tidak ada dua dampak negatif dari jabatan yang diraih karena permintaan atau ambisi. Pertama, orang yang berambisi mendapat jabatan akan cenderung menempuh cara-cara yang tidak halal. Ketika seseorang mendapat jabatan dengan cara yang tidak halal, besar kemungkinan jabatan itu akan banyak disalahgunakan. Jabatan tidak lagi dianggap sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Kedua, orang yang mendapat jabatan karena ambisi, ia akan dibebani dengan jabatan itu. Beratnya pekerjaan dan besarnya tanggung jawab harus ia jalani sendiri. Mungkin sedikit sekali orang yang sadar rumitnya persoalan yang harus ia selesaikan dan sedikitnya dukungan dari pihak lain merupakan akibat dari ambisinya. Ambisi itu memudaratkan dirinya. Karena ketidaksadaran itu, orang-orang terus berlomba mencari dan meminta-minta jabatan.

Penyalahgunaan jabatan yang diraih karena permintaan sangat besar peluangnya. Dalam hadis lain Rasulullah bersabda, ''Kalian akan menghadapi sepeninggalku suatu monopoli dan mengutamakan kepentingan diri sendiri atau sistem famili." Salah seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang engkau pesankan kepada kami jika terjadi semua itu? Rasulullah SAW bersabda, "Tunaikanlah kewajibanmu, dan kamu tuntut kepada Allah hakmu." (HR Bukhari Muslim).

Hadis tersebut masih satu rangkaian dengan hadis di atas yang menjelaskan adanya korelasi antara meminta jabatan dan kecenderungan menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Prediksi Rasulullah SAW tersebut tengah kita saksikan saat ini.

Hikmah Republika Online, 27-04-2007

Majikan dan Pekerja

Oleh : Rashid Satari

Hari Buruh seringkali dijadikan momen oleh para pekerja untuk berdemonstrasi, menggugat majikan dan menuntut segala hal yang menjadi hak mereka. Ini tak perlu terjadi seandainya selama ini hubungan antara pekerja dan majikan terjalin harmonis.

Keharmonisan antara pekerja dan majikan akan terjalin bila setiap pihak memandang pekerjaannya sebagai lahan ibadah. Dalam Islam, bekerja adalah ibadah. Bekerja menjadi bukti dan manifestasi keimanan seseorang. Dalam Alquran terdapat ratusan kata ''iman'' yang diikuti dengan kata ''amal''. Allah SWT berfirman, ''Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh (bekerja dengan baik).'' (QS Alkahfi [18]:110). Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak ada satu makanan yang dimakan seseorang, yang lebih baik daripada makanan hasil usahanya sendiri.'' (HR Bukhari).

Motivasi seorang Muslim dalam bekerja, baik itu posisinya sebagai majikan ataupun pekerja, bukanlah sekadar mengejar upah/gaji, namun juga mengejar keridhaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang melakukan pekerjaannya dengan baik dan tekun.'' (HR Baihaqi).

Keharmonisan antara pekerja dan majikan akan terbangun bila setiap pihak menunaikan perannya dengan baik dan profesional. Pekerja bekerja dengan penuh disiplin, amanah, dan tanggung jawab. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah adalah Zat yang terbaik dan sangat mencintai yang baik dan tidak menerima sesuatu kecuali jika dilakukan dengan baik.'' (HR Baihaqi).

Majikan pun demikian, harus menunaikan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab dan rasa kepedulian. Majikan harus mampu memenuhi hak-hak pekerjanya serta berinteraksi dengan penuh empati dan kasih sayang. Rasulullah SAW berkata kepada Ma'rur bin Suwaid, ''Janganlah engkau membebani pekerjaan kepada mereka jika hal tersebut akan memberatkannya. Tapi, jika engkau menyuruhnya juga, maka hendaklah engkau turut membantunya.''

Dalam hadis lain Rasul SAW bersabda, ''Barang siapa mempekerjakan seseorang, hendaklah dia memberitahukan gajinya dan jangan mempekerjakan seseorang sebelum menjelaskan gajinya.'' (HR Baihaqi dan Ibnu Hanbal). Jadi, sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa pantang bagi majikan Muslim menahan atau bahkan mengurangi gaji pekerjanya. Demikianlah hubungan perburuhan dalam Islam. Majikan dan pekerja seharusnya mampu bekerja sama secara harmonis agar laju pekerjaan berlangsung efektif dan bernilai ibadah. Wallahu a'lam bis-hawab.

Hikmah Republika Online, 02-05-2007

Tuesday, May 01, 2007

Khusyuk

Oleh : MHD Natsir

''Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.'' (QS Al-Mu'minun [23]: 1-2). Seorang ahli ibadah yang bernama Isam bin Yusuf dikenal khusyuk dalam shalatnya. Tetapi, dia masih ragu dengan kekhusukan ibadah yang telah dilakukannya.

Sehingga, ia selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih khusuk ibadahnya, agar ia bisa memperbaiki ibadahnya yang dirasakan belum khusuk. Suatu ketika, Isam pergi menghadiri majelis Hatim Al-Isam dan ia bertanya, ''Wahai Aba Abdurrahman, bagaimanakah caranya tuan khusuk dalam shalat?'' Hatim menjawab, ''Apabila masuk waktu shalat aku berwudhu lahir dan batin.'' Isam bertanya lagi, ''Bagaimana yang tuan maksud dengan wudhu' lahir dan batin itu?''

''Wudhu lahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu dengan air. Sedangkan wudhu batin membasuh anggota dengan tujuh perkara, yaitu dengan bertobat, menyesali dosa yang dilakukan, tidak dibutakan oleh dunia, tidak mengharap pujian orang (riya'), meninggalkan sifat sombong dan berbangga diri, membuang sifat khianat dan menipu, serta menjauhkan diri dari sifat dengki.''

Selanjutnya Hatim berkata, ''kemudian aku pergi ke masjid, aku kemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku, dan aku bayangkan pula aku seolah-olah berdiri di atas titian Sirratal Mustaqim dan aku menganggap shalatku kali ini adalah shalat yang terakhir, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik.

Setiap bacaan dan doa dalam shalat kupahami maknanya, kemudian aku ruku' dan sujud dengan tawadhuk, aku ber-tasyahhud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku shalat selama 30 tahun.''

Isam pun menangis. Ia merasa shalatnya belum sempurna. Apabila Isam bisa menangis hanya karena mengingat shalatnya yang belum khusyuk, apakah kita bisa melakukan seperti yang dilakukan Isam? Kita, jangankan menangisi shalat yang belum khusyuk, meninggalkan shalat lima waktu saja mungkin tanpa rasa bersalah.

Padahal, shalat akan mendekatkan kita pada Allah dan merupakan sarana mendapatkan pertolongan dari-Nya. ''Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.'' (QS Albaqarah [2]: 45).

Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba yang taat mendirikan shalat dan selalu khusuk dalam shalatnya. Bukan sekadar ritual takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, sementara hati kita berkelana entah ke mana.

Hikmah Republika Online, 01-05-2007