Tuesday, February 27, 2007

Mencegah Kemaksiatan

Oleh : Ihsan M Rusli

Kekuatan hati dalam diri seseorang yang mencegah dan melarangnya untuk berbuat segala bentuk kesalahan dan kemaksiatan disebut 'ismah. Para nabi dan rasul mempunyai keberpihakan kepada kebenaran yang sangat kuat sehingga mereka jarang berbuat maksiat.

Namun, sebagai manusia, mereka tidak terbebas dari kekhilafan. Nabi Adam, misalnya, tergoda bujuk rayu iblis untuk mencicipi buah khuldi atau Nabi Yunus yang tercela karena lari meninggalkan kaumnya seperti diinformasikan oleh Allah SWT dalam surah Assaffaat ayat 142: ''Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela.''

Mencegah kemaksiatan bisa diasah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berusaha sungguh-sungguh untuk selalu melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Manusia dikaruniai oleh Allah akal budi dan hati nurani. Kecenderungan setiap orang atau fitrah seseorang adalah berpihak kepada hati nurani karena hati nurani akan memberikan tanda yang selalu berkiblat pada kebenaran. Ini adalah fitrah yang dimiliki oleh setiap insan ciptaan Allah. Jadi, sejatinya setiap manusia mempunyai kecenderungan kepada kebenaran yang diwakili oleh hati nurani.

Persoalannya sekarang adalah seberapa kuat komitmen seseorang untuk jujur dan berpihak kepada hati nuraninya, sehingga apa yang dilakukannya selalu yang diridhai oleh Allah SWT? Di sinilah perlunya tuntunan agama dalam kehidupan seseorang.

Salah dan khilaf adalah ciri manusia ciptaan Allah. Hanya Allah yang Mahasempurna. Oleh sebab itu, ampunan dan kasih sayang Allah melebihi salah dan khilaf yang diperbuat manusia.

Kecenderungan untuk selalu berjalan di atas rel yang telah Allah tentukan harus secara terus-menerus dipelihara, dikokohkan, dan diimplementasikan dalam segala jenis aktivitas walau tanpa disadari kesalahan-kesalahan kecil sering terjadi.

Sesaat saja manusia tidak ingat akan Allah, itu sudah kekhilafan, apalagi sampai melakukan perbuatan yang bertentangan dengan fitrah dan hati nuraninya. ''Yaitu, orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas Ampunan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang keadaanmu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.'' (QS An-Najm [53]: 32). Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 27-02-2007

Wednesday, February 21, 2007

Menghindari Tajassus

''.... Janganlah kalian mencari kesalahan-kesalahan orang lain ...'' (QS Al-Hujurat [49]: 12).
At-tajassus dikenal dalam bahasa keseharian kita dengan memata-matai atau mencari-cari kekurangan orang lain. Perilaku memata-matai kekurangan orang lain, apalagi untuk disebarluaskan, adalah perilaku yang sangat tidak terpuji. Ia senantiasa sibuk melihat kekurangan dan kesalahan orang lain sedangkan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri terlupakan.

Perbuatan mencari kejelekan dan kekurangan orang lain untuk disebarluaskan adalah perbuatan yang dimurkai Allah SWT. Pelakunya sudah dipastikan hatinya akan lebih jauh dari Allah SWT dibanding dengan hati orang yang dicemarkannya itu.

Larangan Islam terhadap pergunjingan dan perilaku memata-matai kekurangan orang lain, mengandung tujuan menjaga kepribadian setiap Muslim. Saling mengingatkan dan menutupi kekurangan yang ada pada diri orang lain lebih utama, karena akan menciptakan kenyamanan dan ketenteraman dalam bermasyarakat.

Perilaku mengungkapkan rasa tidak senangnya terhadap orang lain, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan atau menceritakan cacat kekurangan orang lain, adalah sikap orang yang rendah pekertinya. Perbuatan ini juga bisa mengarah pada sikap adu domba dan mengoyak ukhuwah di antara umat. Maka, tak berlebihan jika Allah mengganjar si pelaku dengan neraka Jahanam bila dia tidak segera bertobat dan meninggalkan kebiasaannya itu.

Bagaimana jika seseorang bekerja di lembaga yang khusus menyiarkan atau membongkar aib atau memberitakan sesuatu yang tidak benar? Tentu dia sendiri yang bisa menilai dan menentukan sikap terbaik. Rasulullah bersabda, ''Barang siapa yang menjelek-jelekkan seorang Muslim untuk memperoleh makanan, Allah akan memberinya makanan dari neraka Jahanam.'' (HR Abu Dawud)

Ajaran Islam sangat mengatur hal-hal seperti ini. Seseorang yang senang menggunjing orang lain, diibaratkan Alquran sebagai orang yang makan bangkai saudaranya. Seseorang yang menjaga aib saudaranya, kata sebuah hadis, maka aibnya akan dijaga oleh Allah.

Seorang Muslim hendaknya senantiasa menjernihkan hati dan melegakan dada dari rasa kebencian antarsesama, dengan cara mengharapkan kebaikan bagi orang lain. Kendati mengetahui kekurangan yang ada pada diri orang lain, langkah terbaik kita adalah mengingatkan dan tidak menyebarluaskannya. Saling mengingatkan dan saling mengajak kepada kebenaran. Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa mengetahui keburukan saudaranya, kemudian ia menutupinya, pada hari kiamat Allah akan menutupi dosanya.'' (HR Thabrani) Wallahu a'lam.

Sumber : Hikmah Republika Online, 21-02-2007 (3 Syafar 1428 H)

Monday, February 19, 2007

Jangan Salahkan Hujan

Oleh : KH Yusuf Supendi

Allah SWT berfirman, ''Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.'' (QS Al Mu'minun [23]:18) Allah SWT memberikan nikmat kepada hamba-Nya dengan beranekaragam nikmat yang sulit dihitung dan dikalkulasikan.

Di antara nikmat-Nya adalah menurunkan air hujan sesuai dengan kebutuhan manusia yang cukup dan memadai untuk mengairi pertanian, kebutuhan minum, dan kebutuhan lainnya. Allah SWT menetapkan dan melestarikan air hujan melalui sungai-sungai, mata air, sawah, rawa, setu, gunung, bukit-bukit, dan air diserapkan ke daratan dan perut bumi serta menetap di bumi sebagai cadangan bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya.

Allah SWT menurunkan air hujan sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Tidak terlalu banyak yang berakibat banjir, dan tidak terlalu kurang yang berakibat kekeringan. Namun Allah SWT jualah yang berkuasa untuk menentukan lain -- menghilangkan dan menyetop air hujan sehingga terjadi kemarau panjang atau mencurahkan hujan lebat terus-menerus sehingga terjadi banjir.

Allah SWT sangatlah berkuasa dan punya wewenang penuh menentukan sesuatu sesuai kehendak-Nya, terutama bila manusia kurang bersyukur dan kufur nikmat. ''Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, lalu mengapa kamu tidak bersyukur.'' (QS Al Waaqi'ah [56]: 68-70).

Nah, ketika terjadi banjir, yang jadi pertanyaa, salahkah hujan? Pada dasarnya, banjir dapat diantisipasi bila Pemerintah Pusat dan Pemda punya program jelas serta masyarakat memiliki kesadaran dan peduli lingkungan. Firman Allah menyiratkan, ''Air hujan mestinya diserapkan ke bumi.'' Namun yang terjadi, kantong-kantong penyangga seperti sawah, setu, dan rawa banyak yang hilang serta berubah menjadi perumahan dan perkantoran megah.

Di hulu, pembalakan dan penggundulan hutan merupakan sumber utama datangnya banjir di berbagai wilayah Indonesia. Curah hujan dengan intensitas tinggi, rendahnya kemampuan tanah menyerap air berakibat rentannya terjadi banjir dan longsor. Salahkah hujan?

Petunjuk Allah dalam Alquran sudah ada. Undang-undang sudah dibuat. Saatnya bagi penyelenggara negara dan rakyat tidak berlaku sebagai 'pemadam kebakaran' semata, tapi mengutamakan langkah antisipasi dan prefentif. Belum terlambat untuk memulai.

Sumber : Hikmah Republika Online, 19-02-2007 (1 Syafar 1428 H)

Kompensasi Tobat

Oleh : Afifah Findzi Rohmah

''Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sesungguhnya.'' (QS At-Tahriim [66]: 8). Tiada manusia yang luput dari salah dan dosa. Yang membedakan antara satu dan yang lainnya adalah soal tobat. Ada manusia yang merasa nyaman dengan salah dan dosanya. Sedangkan segolongan manusia yang lain menyadari, mengakui, menyesali, dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahannya itu.

Imam Bukhari dan Muslim menukilkan sebuah riwayat, bahwa Allah lebih senang kepada hamba-Nya saat ia bertobat kepada-Nya daripada orang yang menemukan kembali untanya yang hilang di tengah padang pasir. Apa artinya? Kegembiraan manusia atas nikmat yang diperolehnya tidak lebih berharga dari laku tobat yang dipraktikkan dengan tulus dan ikhlas. Para ulama mengatakan tobat atas segala dosa itu hukumnya wajib. Dosa yang berkaitan dengan Allah mempunyai tiga persyaratan. Satu, meninggalkan maksiat (dosa). Kedua, menyesali perbuatannya. Ketiga, ber-azam (bertekad kuat) untuk tidak melakukan perbuatan maksiat tersebut selama-lamanya.

Sedangkan dosa (maksiat) yang berhubungan dengan sesama manusia mempunyai satu syarat lagi, yakni keharusan memberikan hak kepada pemiliknya. Jika hak tersebut berkaitan dengan harta, ia harus mengembalikan harta tersebut kepada si empunya.

Jika begitu, syarat bertobat dari kesalahan kepada alam harus ditebus dengan mengembalikan hak-hak alam. Bila tidak, jangan salahkan alam bila ia murka dan menimbulkan bencana bagi manusia. Dosa terhadap alam seperti pembalakan liar dan eksplorasi tambang yang tak terkendali harus dihentikan. Sebagai bentuk tobat berikutnya, langkah-langkah tegas dan sistematis perlu segera diambil untuk memenuhi hak-hak alam, yakni hak untuk mendapatkan perawatan dan pemeliharaan dari manusia sebagai khalifah Allah di bumi.

Kesalahan kepada sesama manusia juga harus dikompensasikan dengan membayar hak kepada manusia yang terlanggar haknya tersebut. Kompensasi bagi para penumpang pesawat atau kapal yang mengalami kecelakaan tidak cukup dengan menyantuni keluarganya, tapi juga dengan memperbaiki sistem dan pelayanan yang berorientasi pada keselamatan, bukan pada uang. Jika hak-hak itu telah ditunaikan, niscaya tobat akan berbuah menjadi perbaikan dan amal saleh yang disenangi dan diridhai Allah SWT. Wallahu a'lam bish-shawab

Sumber :Hikmah Republika Online, 17-02-2007 (29 Muharram 1428)

Friday, February 16, 2007

Memaksimalkan Akal

Oleh : Syarif Hade Masyah

Ada dua makna akal. Pertama, akal berarti pemahaman terhadap makna yang dikehendaki. Ia berfungsi menjelaskan semua urusan, baik berkenaan dengan masalah dunia maupun agama. Kedua, akal berarti pandangan mata batin dan pengetahuan terhadap mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan baik di dunia maupun di akhirat.

Setiap manusia yang mendapat perintah dan larangan dari Allah melalui para nabi dan kitab suci, berkewajiban menggunakan akalnya. Firman Allah SWT tentang kaum Tsamud berikut juga patut diperhatikan, ''Kaum Tsamud telah Kami beri petunjuk.'' (QS Fushshilat [41]: 17). Maksudnya, Allah telah menjelaskan kepada mereka sesuatu yang dapat mereka pahami dengan akal mereka. ''Tetapi, mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu.''

Orang yang berakal sehat pasti bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan akal itu, ia memikirkan semua urusan dunia, dari yang besar sampai yang kecil. Khalid ibn Shafwan berkata, ''Bila ada seseorang yang tidak bisa menjelaskan apa-apa, ia tidak ada bedanya dengan binatang ternak atau ia hanya berganti rupa.''

Sayangnya, kebanyakan orang kurang menggunakan akalnya untuk memahami urusan akhirat. Urusan dunialah yang menjadi kecenderungan umum dalam memorinya. Allah SWT berfirman, ''Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka pun mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).'' (QS al-A'raf [7]: 179).

Banyak orang tersiksa secara tidak sadar dalam posisi ini, karena mereka sebetulnya berakal kalau saja mereka mau merenungkan semua ayat dan bukti yang menunjukkan bahwa Allah itu satu dan tidak ada sekutu bagi-Nya, yang mereka lihat dan dengar sebagai bukti keberadaan Allah. Tak heran bila kita mendapati Alquran selalu mengajak kita untuk memfungsikan akal.

Allah SWT berfirman, ''Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Langit bagaimana ia ditinggikan? Gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Bumi bagaimana ia dihamparkan?'' (QS Al-Ghasyiyah [88]: 17-20). Unta, langit, gunung, dan bumi disebutkan di ayat ini agar kita mau berpikir tentang ciptaan Allah dan memperhatikan lembaran alam semesta. Untuk kemudian, proses berpikir kita itu mengantarkan kita untuk memikirkan siapa yang telah menciptakan semua itu. Tidak heran bila berpikir kemudian bernilai ibadah. Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 16-02-2007 (28 Muharram 1428 H)

Thursday, February 15, 2007

Khusyuk dalam Sholat

Oleh : Umi Hasanah

Shalat adalah komunikasi seorang hamba dengan Tuhannya. Kadang shalat diartikan sebagai al-munaji yaitu dialog interaktif antara hamba dan Tuhannya. Juga dimaknai doa karena terdiri atas permohonan orang yang shalat (mushali) kepada Tuhannya. Seperti kalimat warzuqni, artinya limpahkanlah rezeki kepadaku.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, bahwa ketika orang yang sedang shalat mengucapkan ''alhamdulillah'', Allah SWT menjawab ''hammadani 'abdi (telah memuji kepada-Ku hamba-Ku).''

Kata khusyuk berasal dari khasya' yakhsyu' khusyu'an yang artinya memusatkan segala ruh hati dan pikiran seorang mushali kepada semua gerakan dan bacaan dalam shalat. Sehingga, pikiran dan hatinya hanya terfokus di dalam shalat semata.

Imam Syafi'i menjelaskan dalam kitab Al-Um, ''Orang yang sedang shalat hendaklah ia seperti seorang prajurit yang berhadapan dengan seorang raja gagah dan kuat. Serius, tegak, konsentrasi, dan fokus terhadap perkataan rajanya itu.'' Firman Allah Azza Wajalla, ''Sungguh bahagia orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang di dalam shalat mereka khusyuk.'' (QS Al-Mu'minun [23]: 1-2).

Rasulullah SAW memberikan kiat-kiat agar shalat khusyuk. Pertama, mengingat kematian ketika dalam shalat. Sabda Rasulullah SAW, ''Ingatlah kalian terhadap mati ketika dalam shalat. Sesungguhnya seseorang yang ingat mati dalam shalat, ia akan memperbaiki shalatnya. Jika tidak mengingat kematian diri kalian, niscaya urusan duniawi akan mengganggu konsentrasi shalat kalian.'' (HR Ad-Dailami)

Kedua, tenang dan seakan-akan melihat Allah SWT. Tahapan kedua jika mushali ingin merasakan khusyuk dalam shalat adalah melakukan ketenangan dalam semua gerakan dan bacaan sehingga merasakan seakan-akan melihat Tuhannya. Ujar Rasul, ''Shalatlah kalian semua dengan tenang seakan-akan kalian melihat Allah di depan kalian. Walaupun kalian tidak melihat-Nya sesungguhnya Allah melihat kalian semua.'' (HR Abu Muhammad Al-Ibrahimi)

Dalam beribadah, seyogianya kita mengingat akan mati di esok hari agar semua ibadah kita terasa khusyuk. Sebaliknya, jika dalam urusan dunia hendaklah kita seakan-akan hidup untuk seribu tahun, agar khusyuk dalam bekerja.

Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kita agar khusyuk dalam shalat. Karena dialog interaktif antara kita dan Sang Khalik dapat menghasilkan pahala yang memuaskan. Beliau bersabda, ''Apabila salah seorang dari kamu sekalian sedang melaksanakan shalat, sebenarnya ia sedang berdialog dengan Tuhannya. Maka, perhatikanlah bagaimana cara berdialog itu?'' (HR Imam Hakim). Wallahu'alam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 15-02-2007 (Muharram 27, 1428 H)

Wednesday, February 14, 2007

Kapal Karunia Allah

Oleh : EH Kartanegara

Kehebatan apa yang bisa dibanggakan oleh sebuah kapal di tengah samudera yang luas dan perkasa? Apa pula kehebatan sebuah pesawat yang terbang di angkasa luas tiada berbatas? Tak lebih dari dua titik debu --amat rapuh, tak berarti apa-apa dibanding kehebatan jagat raya. Tragedi tenggelamnya Titanic --kapal pesiar raksasa yang sangat mewah dan melegenda, juga pesawat ulang-alik milik NASA yang meledak di udara (1985)-- membuka ingatan kita bahwa sesungguhnya tak ada kendaraan yang layak disombongkan untuk tidak bisa celaka.

Beberapa ayat Alquran menjelaskan kapal laut (bahtera) dan beberapa kendaraan lain adalah bagian dari karunia dan tanda-tanda kekuasaan Allah. Dalam surat Yaasin (36) ayat 41-42 Allah berfirman, ''Dan suatu tanda (kekuasaan Kami) bagi mereka bahwa Kami mengangkut keturunan mereka dalam bahtera sarat muatan. Dan kami ciptakan bagi mereka (kendaraan) yang sama yang dapat mereka kendarai.''

Dalam teks aslinya, disebutkan kata fil-fulki (dalam bahtera) yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai kapal laut. Ini merujuk pada sejarah Nabi Nuh dan kaumnya yang diselamatkan Allah dengan menggunakan kapal ketika terjadi badai besar (Qishasul Anbiya' oleh Ibnu Katsir).

Dalam surat Al Jaatsiyah (45) ayat 12, juga ditegaskan, ''Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur.''

Di tengah samudera atau ruang angkasa dengan cuaca dan empasan badai yang tak akan mampu dikuasai manusia, mustahilkah bagi sebuah kapal atau pesawat terbang bisa selamat tanpa campur tangan Allah? Terlebih lagi Allah berfirman, ''Jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan.'' (Yaasin [36] : 43)

Oleh Abdullah Yusuf Ali, ayat itu ditafsirkan bukan hanya kedahsyatan alam itu saja yang merupakan kekuasaan Allah, melainkan juga ilmu yang diberikan kepada manusia untuk menciptakan kapal, pesawat udara, dan berbagai kendaraan lain (Qur'an Terjemahan dan Tafsirnya, Pustaka Firdaus, 1994). Begitu juga kemampuan manusia untuk mengendarai berbagai alat transportasi itu, tak lain dari karunia Allah.

Itulah sebabnya banyak pula hadis yang menuntun kita agar berdoa menyebut asma Allah tiap kali kita naik kendaraan. Kalau kita bisa selamat naik kendaraan, itu bukan karena keahlian kita mengendarainya, melainkan karena ada yang menaklukkan kendaraan itu.

Salah satu doa naik kendaraan, ''Segala puji bagi Allah yang telah menaklukkan ini semua (kendaraan) bagi kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.'' Tak bersyukurkah kita atas karunia itu? Wallahu a'lam.

Sumber : Hikmah Republika Online, 14-02-2007

Tuesday, February 13, 2007

Takut pada Tempatnya

Oleh : M Kamaluddin Al-Maulidy Abdullah

Pada suatu malam Umar bin Khathab membaca surat at-Thur, dan waktu menginjak ayat yang artinya, ''Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar akan terjadi'', tiba-tiba dia menangis. Ia takut, bila azab Allah datang juga padanya.

Detik-detik terakhir menjelang wafatnya, Umar bin Khathab menyuruh putranya menempelkan pipinya agar menyentuh tanah seraya berkata, ''Semoga Allah SWT merahmatiku. Alangkah celakanya diri ini, jika Allah SWT tidak mengampuniku.'' Kata-kata ini diulanginya sampai tiga kali, dan beliau pun meninggal dunia.

Inilah salah satu potret perasaan takut (khauf) yang pada tempatnya, yaitu pada Allah SWT. Khauf merupakan manifestasi dari hati yang sakit dan gundah karena prasangka akan terjadinya sesuatu yang menakutkan pada masa mendatang. Perasaan khauf inilah yang mampu mengendalikan diri dari setiap keinginan berbuat maksiat dan menambatkannya pada perasaan taat.

Perasaan khauf ini muncul karena adanya beberapa faktor, pertama adanya makrifat akan sifat-sifat Allah SWT. Kedua, perasaan bahwa diri ini telah banyak berbuat dosa, dan keyakinan akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka itu kelak di kemudian hari. Rasa khauf akan membakar sisi-sisi syahwat yang haram, sehingga perbuatan maksiat yang disenanginya menjadi sesuatu yang dia benci. Sebagaimana madu menjadi sesuatu yang tidak disukai orang yang semula menyukainya, ketika tahu bahwa madu itu ternyata beracun.

Dengan khauf, nafsu syahwat dapat terkikis, sehingga perilaku menjadi terarah, dan hati akan terisi oleh rasa khusyuk, tawadlu, patuh terhadap perintah Allah SWT. Selain itu juga terhindar dari sikap-sikap takabur, dendam, dan dengki.

Khauf menjadikan hati seseorang terpenuhi rasa kekhawatiran terhadap sesuatu yang dialaminya kelak ketika menghadap Allah SWT. Karena itu, dia tidak menyisakan ruang di dalam batinnya selain rasa khauf dan senantiasa ber-muraqabah (berhati-hati), muhasabah (interospeksi diri), dan mujahadah (bersungguh-sungguh). Orang yang mempunyai rasa khauf tidak akan membiarkan setiap helaan napasnya dan sedetik pun waktunya berlalu sia-sia.

Allah SWT menjanjikan sesuatu yang istimewa bagi mereka. Firman Allah dalam Alquran, ''... Allah ridha kepada mereka (penduduk surga) dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.'' (QS Al-Bayyinah [98]: 8). Kitakah satu di antara mereka?

Sumber : Hikmah Republika Online, 13-02-2007 (Muharram 25, 1428 H)

Monday, February 12, 2007

Berpikir Positif

Oleh : Mulyana

"Ambillah dari angin kesegarannya, dari minyak wangi keharumannya. Dan, Ambillah dari gunung ketegarannya." (Dr 'Aidh Al-Qarni) Allah SWT menegaskan manusia terlahir memiliki sifat keluh dan kesah (QS Al Ma'arij [70]: 19-20). Artinya, manusia akan sangat mudah untuk mengeluh, terlebih-lebih jika sedang dilanda kesusahan dan kesulitan.

Keluh kesah pada hakikatnya merupakan hasil dramatisasi manusia terhadap permasalahan yang dihadapinya. Tegasnya, manusialah yang membuat segala permasalahan dan menjadikannya sebagai sumber penderitaan.

Dr 'Aidh Al-Qarni dalam bukunya menyatakan, segala sesuatu peristiwa atau kejadian apapun selalu ada sisi lain yang dapat kita lihat dan pasti memberikan pelajaran berharga. Sisi lain tersebut adalah sisi kebaikan yang bisa diambil atau berpikir positif.

Berpikir positif artinya meminimalisasi pemikiran-pemikiran atau penyikapan negatif terhadap suatu permasalahan atau kejadian. Berpikir positif berarti mengubah energi keluh kesah menjadi energi motivasi dan kekuatan untuk melakukan perbaikan dan perubahan.

Berpikir positif, pada dasarnya telah diajarkan oleh agama kita sejak berabad-abad yang lalu. Hal ini didasari oleh keterbatasan manusia yang tidak bisa langsung mengetahui hikmah dibalik permasalahan atau kejadian yang dialaminya. Perhatikan firman Allah, "...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al Baqarah [2]: 216).

Contoh sederhana bagi kita dalam mengaplikasikan berpikir positif adalah melalui bencana banjir yang merendam ibukota. Banjir, jika disikapi dengan bencana dan kehilangan/kerusakan harta benda, maka ini akan menjadi beban mental dan pikiran yang sangat hebat.

Tetapi, bagi orang-orang yang berpikir positif, banjir paling tidak memberikan tiga nilai kebaikan yang bisa diambil. Pertama, banjir mengajarkan kita untuk lebih peduli terhadap sesama. Jika selama ini kita jarang berkomunikasi dan berkumpul bersama tetangga, banjir menyatukan semuanya dalam pengungsian.

Kedua, banjir mengajarkan kita untuk lebih peduli dengan lingkungan kita. Ketiga, banjir tidak hanya menggenangi rumah-rumah kumuh dan kecil, tetapi menggenangi pula rumah-rumah mewah dan besar. Ini mengajarkan kita semua harus dapat berlaku adil. Adil tidak hanya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Tetapi, yang lebih utama adalah adil dalam menegakkan hukum. Janganlah pedagang kecil dan rakyat dikejar-kejar dengan pentungan, sedangkan pengusaha besar dan koruptor disambut dengan 'karpet merah'.

Mari, kita berusaha untuk selalu berpikir positif agar hidup ini tidak menjadi beban, melainkan menjadi kebahagiaan.

Friday, February 09, 2007

Maksiat pada Alam

Oleh : Muhammad Arifin Ilham

''Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).'' (QS Ar-Ruum [30]: 41)

Hari-hari belakangan ini sebagian dari kita, khususnya yang tinggal di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), bahkan juga di Karawang (Jabar) merasakan ujian yang sangat berat berupa banjir. Bahkan, mereka yang rumahnya tidak dilanda banjir pun turut terkena dampak banjir tersebut. Jaringan telekomunikasi terputus, aliran listrik padam, aliran air bersih terhenti, dan lalu lintas ke kantor maupun tempat usaha terhalang.

Sebelumnya, rakyat Indonesia di berbagai belahan bumi nusantara lainnya juga merasakan pedihnya bencana alam, baik berupa gempa bumi dan tsunami, banjir, longsor, hujan debu, hingga lumpur panas. Mengapa alam menjadi tidak ramah lagi kepada kita? Ayat Alquran di atas dengan sangat gamblang menjelaskan bahwa semua itu terjadi karena ulah kita sendiri. Kita telah berbuat maksiat pada alam.

Janganlah berpikir bahwa maksiat itu hanya kepada Allah. Maksiat pun bisa dilakukan terhadap manusia dan alam. Orang yang membuang sampah sembarangan yang merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir berarti berbuat maksiat pada alam.

Ayat di atas pun memberikan solusinya, yakni kita dianjurkan bertobat kembali ke jalan yang benar. Tobat itu ada syaratnya. Tobat kepada Allah, syaratnya mohon ampun. Tobat kepada manusia, syaratnya minta maaf. Tobat kepada alam, syaratnya memperbaiki alam. Kalau alam tidak kita perbaiki, nasib kita akan begini terus (dilanda berbagai musibah, termasuk banjir).

Dari mana upaya ini harus dimulai? Dari diri sendiri. Setiap kesalehan (kebaikan) yang kita lakukan, sekecil apa pun, berarti turut memberi andil untuk menurunkan keberkahan buat negeri ini. Sebaliknya kemaksiatan yang kita kerjakan, sekecil apa pun, ikut andil menciptakan bala bencana. Ketaatan kepada Allah dan kebaikan kepada alam mendatangkan kebaikan berikutnya. Kalau alam kita jaga dengan tertib, sampah dibuang pada tempatnya, hutan tidak digunduli, alam pun bersahabat dengan kita.

Sesungguhnya tanda kesempurnaan iman seseorang itu banyak. Salah satunya, bermanfaat bagi orang lain. Makanya dikatakan, Al-Iman al-ihtimam. ''Orang beriman itu dicirikan oleh perhatiannya kepada orang lain maupun alam.'' Semoga musibah kali ini betul-betul membuat kita kembali (bertobat). Wallaahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 09-02-2007

Thursday, February 08, 2007

Menggapai Cinta Allah

Oleh : Imron Soleh

Mencintai Allah dan rasul-Nya berarti melaksanakan seluruh amanat dan ajaran Alquran dan sunah Rasul, disertai luapan kalbu yang dipenuhi rasa cinta. Dalam amal ubudiyah, cinta (mahabbah) menempati derajat yang paling tinggi. Siapa yang mencintai Allah dan mendekatkan diri pada-Nya, maka Allah pun akan mencintainya dan dekat padanya.

Dalam buku Mahabbatullah (mencintai Allah), Imam Ibnu Qayyim menuturkan tahapan-tahapan menuju wahana cinta Allah. Cinta senantiasa berkaitan dengan amal. Dan, amal sangat tergantung pada keikhlasan kalbu. ''Di sanalah cinta Allah berlabuh.'' Cinta Allah merupakan refleksi dari disiplin keimanan dan kecintaan yang terpuji. Langkah-langkah berikut bisa mendekatkan kita pada-Nya, dan menjadi bagian dari orang-orang yang dikasihi-Nya.

Pertama, membaca Alquran dengan merenung dan memahami kandungan maknanya sesuai dengan maksudnya yang benar. Firman Allah, ''Dan Apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.'' (Al A'raaf [7]: 204).

Kedua, ber-taqarub kepada Allah SWT melalui ibadah sunah setalah melakukan ibadah fardlu. Orang yang menunaikan ibadah fardlu dengan sempurna, mereka itu adalah yang mencintai Allah. Dan, hamba yang menambahnya dengan ibadah sunah, mereka itulah orang-orang yang dicintai Allah.

Ketiga, melanggengkan zikir kepada Allah dalam segala tingkah laku melalui lisan, kalbu, amal, dan perilaku. Kadar kecintaan seseorang terhadap Allah tergantung kepada kadar zikirnya kepada-Nya. Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Sesungguhnya Allah Azza Wajalla berfirman. ''Aku bersama hamba-Ku, selama ia mengingat-Ku dan kedua bibirnya bergerak (untuk berzikir) kepada-Ku.''

Keempat, mengutamakan cinta kepada Allah di atas cinta kepada diri sendiri, meski dibayangi hawa nafsu yang selalu mengajak lebih mencintai yang lain. Inilah derajat para Nabi, di atas itu derajat para Rasul dan di atasnya lagi derajat para Rasul Ulul Azmi. Rasulullah Muhammad SAW mampu melawan kehendak dunia seisinya demi cintanya kepada Allah. Kelima, menyendiri di sepertiga malam terakhir, karena di saat itulah Allah SWT turun ke dunia. Itulah saat paling berharga bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan shalat malam agar mendapatkan cinta Allah. Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber Hikmah Republika Online, 08-02-2007

Wednesday, February 07, 2007

Berkata Baik atau DIam

Oleh : Ummu Hasna Syahidah

Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang Muslim memiliki keistimewaan yang menjadi ciri khasnya, yaitu adanya sifat kasih sayang dan persaudaraan. Kasih sayang harus senantiasa menghiasi diri mereka. Persaudaraan ini jelas seperti yang difirmankan Allah SWT, ''Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.'' (Qs Al Hujurat [49]: 10).

Allah SWT telah mengharamkan atas kaum mukminin untuk melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Jangankan bertikai, mendekati perbuatan yang menyebabkan pertikaian dan kebencian pun dilarang (lihat QS Al-Maidah [5]: 91). Salah satu langkah menghindari permusuhan adalah dengan menjaga perkataannya. Kadangkala, perbincangan yang halal dapat berubah menjadi perbincangan yang makruh dan bahkan menjadi perbincangan yang haram, karena lidahnya tidak dijaga.

Dalam hadis yang telah disepakati keshahihannya ini disebutkan tidak layak seseorang berbicara kecuali jika kata-katanya itu mengandung kebaikan. Jika seseorang ragu tentang ada atau tidaknya kebaikan pada apa yang akan diucapkannya, maka hendaklah ia tidak berbicara. ''Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata-kata yang baik atau diam.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Bahaya lisan itu sangat banyak. Lidah yang tidak terjaga, memang sangat berbahaya. Suatu perkataan yang semula dimaksudkan bercanda, bisa jadi menyakiti perasaan lawan bicara kita. Apalagi, bila terang-terangan bermaksud menyinggung dan menyakitinya. Rasulullah SAW dalam hadisnya mengingatkan, ''Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya.'' (HR Timridzi).

Pemikir besar Islam di masa lampau, Imam Syafi'i, mempunyai kiat agar lidah selalu terjaga. ''Jika seseorang akan berbicara hendaklah ia berpikir sebelum berbicara. Bila yang akan diucapkannya itu mengandung kebaikan maka ucapkanlah, namun jika ia ragu (tentang ada atau tidaknya kebaikan pada apa yang akan ia ucapkan) hendaklah tidak berbicara hingga yakin bahwa apa yang akan diucapkan itu mengandung kebaikan.''

Yang terpenting dari semua itu adalah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab. ''Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya.'' (QS Al Isra' [17]: 36). Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 07-02-2007

Tuesday, February 06, 2007

Ridho

Oleh : M Kamaluddin Al-Maulidy Abdullah

Suatu hari, Ali bin Abi Thalib RA melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya, ''Mengapa engkau tampak bersedih hati?'' Ady menjawab, ''Bagaimana aku tidak bersedih hati, dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran.

'' Ali terdiam haru, kemudian berkata, ''Wahai Ady, barangsiapa ridha terhadap takdir Allah SWT, maka takdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahala-Nya, dan barang siapa tidak ridha terhadap takdir-Nya, maka hal itu pun tetap berlaku atasnya dan terhapus amalnya.'' Ada dua sikap utama bagi seorang hamba ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak dia inginkan -- ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian mutlak yang perlu dilakukan oleh sorang Muslim.

Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian -- sekalipun menyakitkan -- dan mengharap akan segera berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima takdir Allah SWT dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab, di dalam hatinya selalu tertanam sangkaan baik (khusnudzan) kepada Sang Khalik.

Orang-orang yang ridha ketika ditimpa musibah, dia akan mencari hikmah yang terkandung di balik ujian tersebut. Ia yakin, Allah SWT telah memilihnya (untuk menerima ujian itu), dan Dia sekali-kali tidak menghendaki keburukan dari ketentuan cobaan bagi makhluk-Nya. Apabila ridha ini sudah mengakar dalam sanubari manusia, maka hilanglah semua rasa sakit yang diakibatkan oleh berbagai musibah yang menimpanya.

Dari Anas bin Malik RA bahwa Nabi SAW bersabda, ''Sesungguhnya apabila Allah SWT mencintai suatu kaum, maka Dia mengujinya. Barangsiapa ridha terhadap ujian-Nya, maka dia memperoleh ridha-Nya dan barangsiapa tidak suka, maka mendapat murka-Nya.'' (HR Tirmidzi). Bagi orang yang ridha, ujian merupakan pembangkit semangat untuk semakin dekat pada Allah, semakin menenggelamkan dirinya dalam bermusyahadah dengan-Nya.

Dalam satu kisah, Abu Darda' pernah melayat pada sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah SWT. Maka Abu Darda' berkata kepada mereka, ''Engkau benar, sesungguhnya Allah SWT apabila memutuskan suatu perkara, maka Dia senang jika takdir-Nya itu diterima dengan rela atau ridha.''

Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah SWT dalam situasi apa pun. Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 05-02-2007

Kesederhanaan

Oleh : Irman Sulaiman Fauzi

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah berkata tentang hal yang dapat menyelamatkan diri dari siksa Allah SWT, di antaranya adalah sederhana dalam kehidupan dunia baik dalam keadaan fakir maupun di saat kaya raya. Ditegaskan pula oleh Allah SWT dalam surah Al-Naazi'aat [79] ayat 40-41: ''Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal-(nya).''

Kesederhaan dapat diartikan sebagai sikap tidak berlebih-lebihan dalam berlaku dan berpikir, termasuk dalam hal kepemilikan harta benda. Kesederhanaan hendaknya diartikan sebagai sikap yang tenggang terhadap kondisi umat yang sekarang sedang dilanda krisis. Kesederhanaan merupakan manifestasi dari tingginya kepekaan sosial seorang hamba Allah SWT yang takut akan kebesaran-Nya.

Kesederhanaan dalam berpikir dapat menjaga akal dari pikiran-pikiran yang merusak diri dan orang lain. Sederhana dalam berpikir berarti pula tidak memikirkan sesuatu yang bukan hak atau wilayahnya. Sedangkan kesederhanaan dalam berlaku adalah kesederhanaan yang secara kasat mata terlihat oleh orang lain.

Ajaran Islam memberikan cara-cara yang baik dalam berpakaian, baik perhiasan, baju, maupun wangi-wangian, berkata sampai pada cara berjalan. Semua itu adalah agar tidak mengundang penilaian negatif. Firman Allah SWT dalam surah Lukman [31] ayat 19, ''... sederhanalah kamu dalam berjalan. Dan lunakkanlah suaramu sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.''

Ayat ini menuntun kita untuk berlaku sederhana. Keledai adalah perumpamaan bagi mereka yang isyrof (berlebih-lebihan). Kesederhanaan dapat menjadi bingkai kehidupan yang akan membawanya pada kondisi hidup yang teratur dan dapat membuat pelakunya memiliki kekuatan sosial.

Kesederhanaan dapat mengubah suasana sosial semakin harmonis dan terhidar dari kesenjangan yang dapat mengusik ketenteraman hidup umat. Bukankah menjaga ketenteraman hati seseorang merupakan bentuk keimanan dan ketakwaan?

Seharusnya sikap sederhana ada dalam jiwa seorang pemimpin yang bijak, terlebih keadaan negara kita tidak memungkinkan warganya untuk bermewah-mewah. Berpenampilan secara berlebihan dan berkomentar kontroversial yang bukan pada tempatnya, dan justru akan menambah 'kebisingan' hidup bernegara dan berbangsa. Selayaknya kita sama-sama menjaga kebersamaan dengan sikap sederhana demi tercapainya masyarakat yang madani. Wallahu a'alam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 06-02-2007

Friday, February 02, 2007

Mensikapi Keadaan

Oleh : Sabrur R Soenardi

Dalam tayangan televisi, seorang penumpang tragedi kapal tenggelam yang selamat berkisah tentang pengalamannya ketika terapung di laut. Meski lima hari, lima malam, berada di antara hidup dan mati, serta hanya meminum air hujan sebagai pengisi perutnya, ia memiliki satu modal yang mengantarkannya bisa tetap hidup: keyakinan bahwa Allah akan menolongnya. Ia tidak putus asa. Ia berpikir positif, bahwa Allah masih akan memberinya kesempatan untuk hidup dan bertemu keluarganya lagi. Dan keyakinan tersebut terbukti. Sebuah kapal nelayan menemukan dirinya, lalu membawanya ke daratan.

Kisah nyata di atas membuktikan betapa dahsyatnya kekuatan 'berbaik sangka kepada Allah'. Dia tidak berputus asa pada rakhmat Allah. Dia yakin sekali bahwa Allah pasti akan menyelamatkan dirinya, akan memberinya kesempatan untuk survive. Allah menolongnya.

Islam memang mengajarkan kita untuk tidak gampang berputus asa. Dari Waki' Ibn Adas dari pamannya, Abu Razin, katanya, Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Allah heran jika ada hamba-Nya yang berputus asa, padahal dia sangat dekat pada (nasib kehidupan) kamu-Nya.'' (HR Ahmad). Syekh Taufiq Ali Zabadi, dalam kitabnya Hatta Yadlhak Allah Lana (2003, hlm 27) menjelaskan, bahwa Allah heran, bagaimana mungkin kita berputus asa, padahal Allah sangat mungkin mengubah segalanya (qarib al-taghyir), mengubah dari satu keadaan (buruk) pada keadaan yang lain (baik) hanya dengan satu kalimat saja, ''Jadilah, maka terjadilah!'' (kun fayakun).

Ada hadis menarik lainnya yang bisa dikaitkan di sini. ''Aku bersama sangkaan (zhann) hamba-Ku kepada-Ku,'' kata Allah dalam sebuah hadis qudsi seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Pesan moral hadis ini adalah bahwa sangkaan (zhann), atau dalam konteks ini keyakinan hati sang hamba pada Allah, pada dasarnya adalah sebuah doa, yang akan memengaruhi bagaimana ijabah Allah kepada dirinya. Jika sangkaannya baik, maka kebaikan pula yang Allah anugerahkan padanya. Sebaliknya jika sangkaannya buruk, maka keburukan pula yang Allah berikan kepadanya.

Dalam wacana psikologi, misalnya, dikenal istilah see-do-get. Bahwa apa pun keadaan yang kita hadapi, semuanya bergantung kepada cara kita 'melihat' (see). Lalu cara kita melihat itu akan menentukan cara kita 'bertindak' (do). Dan akhirnya, cara kita bertindak akan menentukan apa yang kita 'dapat' (get). Wallahu a'laum bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 01-02-2007

Thursday, February 01, 2007

Umar dan Perempuan Tua

Oleh : Kholil Misbach Lc

Suatu siang, seperti biasanya Umar bin Khathab berjalan mengelilingi Kota Madinah. Kali ini Umar ditemani salah seorang sahabatnya, Ma'la bin Al Jarud. Mereka berpapasan dengan seorang perempuan tua. ''Wahai Umar,'' ujar wanita itu, ''Dahulu kami mengenalmu di pasar 'Ukadz sebagai Umair (Umar kecil), lalu menjadi Umar (pemuda yang perkasa) dan kemudian menjadi Amirul Mukminin. Perhatikanlah keadaan manusia di sekelilingmu. Barang siapa takut kepada Allah, perjalanan hidup yang jauh akan terasa dekat olehnya dan orang yang takut pada kematian ia akan khawatir bila hidupnya berakhir sia-sia.''

Umar sosok sahabat yang masyhur dengan kegagahan dan keberaniannya itu mendadak menagis. Air matanya berurai, seolah ia dihadapkan pada sebuah peristiwa memilukan. Ibnu al Jarud terkejut. Belum pernah ia melihat Umar takluk pada seseorang, seberingas apa pun dia. Kali ini ia tunduk mendengar perkataan seorang wanita tua.

Ibnu Al Jarud meminta wanita tua itu berhenti berbicara keras pada Amirul Mukminin. Tapi, Umar menyergahnya, ''Tahukah engkau siapa dia? Dia adalah Khaulah binti Tsa'labah, perempuan yang didengar pengaduannya oleh Allah SWT. Demi Allah jika ia berdiri hingga malam, akan aku dengarkan perkataannya kecuali waktu shalat.''

Kisah di atas menunjukkan kerendahhatian seorang pemimpin. Bukan karena dia tidak berkompeten. Umar, sang penakluk Syam dan Persia, bahkan sudah dijamin masuk surga, masih mendengarkan nasihat dari seorang perempuan tua dari golongan rakyat kecil tanpa bersikap sombong maupun membanggakan diri. Kemiskinan dan kelemahan dirinya tidak membuat Umar menolak nasihat dan keluhannya.

Rakyat kecil yang hina di mata manusia sejatinya adalah kunci kemenangan dan kesuksesan sebuah negara. Doa-doa mereka akan lebih mustajab dan pada diri mereka terbuka kunci amal sedekah yang tak ternilai harganya. Baginda Rasul SAW bersabda, ''Sesungguhnya engkau sekalian diberi kemenangan karena berkat orang-orang lemah (di antara) kamu.'' Beliau bila hendak berperang, selalu mengumpulkan orang-orang yang lemah untuk berdoa kepada Allah demi kemenangan pasukan Islam.

Menurut Islam semua lapisan masyarakat adalah pemain dalam kehidupan beragama. Islam tidak pernah memilah antara anggota masyarakat. Semuanya dituntut ikut andil atas kemajuan Islam semampu yang ia miliki dan menurut posisinya masing-masing. Kemuliaan hanyalah bagi orang-orang yang paling bertakwa kepada Allah, tanpa melihat tahta dan harta mereka.

Sumber : Hikmah Republika Online, 31-01-2007