Tuesday, August 07, 2007

Provokator

Oleh : MS Iman

''Hai Orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.'' (QS Al-Ahzab [33]: 70-71).

Ayat tersebut di atas memerintahkan manusia untuk mengucapkan kata-kata yang benar dan membawa kemaslahatan. Setelah menjelaskan dampak positif dari petunjuk tersebut baru disusulnya penjelasan itu dengan ayat selanjutnya (QS Al-Ahzab [33]: 72), yaitu tentang kebodohan manusia dan menganiaya diri.

Alquran mengingatkan penerima informasi (komunikan) supaya menimbang bahkan menyelidiki dengan seksama informasi yang disampaikan khususnya oleh orang-orang yang tidak terpercaya (QS Al-Hujurat [49]: 6). Di sisi lain kepada pembawa berita (komunikator), Alquran berpesan, ''Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan sampaikanlah perkataan yang sadid.'' (QS Al-Ahzab [33]: 70). Arti sadid dalam ayat tersebut bukan hanya berarti benar, lebih jauh dari itu sadid berarti perkataan yang menghasilkan sesuatu yang berguna.

Adam AS teperdaya oleh rayuan iblis, 'Hai Adam, maukah aku tunjukkan pohon kekekalan dan kekuasaan abadi?'' (QS Thaha [20]: 120). Informasi iblis itu ternyata bukan hanya salah tetapi sekaligus menyesatkan.

Salah satu contoh kebodohan dan penganiayaan diri, yaitu perbuatan provokasi. Perspektif Islam tentang provokasi, dapat dilihat dalam sebuah hadis, ''Innal ghilla wal hasada ya'kulaanil hasanaati kamaa ta'kulunnaarul hathab'' (Dengki dan hasut keduanya dapat menghapus amal kebaikan seperti api membakar kayu, Muttafaq 'alaih). Sedangkan pandangan Islam tentang provokator dapat dilihat dalam QS Al-Falaq [113] ayat 5. Ayat tersebut mengingatkan kita agar berlindung kepada Allah SWT dari kejahatan provokator apabila ia memprovokasi.

Provokasi termasuk perbuatan dosa dan dilarang dalam Islam. Menurut al-Faqih, ketika dalam hati terselip rasa hasut maka jangan dilahirkan (jangan dinyatakan), sebab Allah hanya akan memaafkan selama hasut itu belum diucapkan dan dilakukan. Terlalu murah jika menjadikan diri kita seorang provokator!

Hikmah Online, 07-08-2007

Monday, August 06, 2007

Ragu-ragu

Oleh : Dudu Badrusalam

''Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.'' (QS Al-Hujurat [49]: 15).

Ayat di atas memberikan penjelasan dan penegasan bahwa dasar keimanan kepada Allah dan rasul-Nya harus disertai keteguhan dan keyakinan dalam hati sepenuhnya. Tidak boleh ada keraguan dalam meyakini wahyu Allah dan ajaran rasul-Nya. Ragu-ragu adalah tiadanya keteguhan dan keyakinan dalam hati.

Segala bentuk ibadah keseharian kita, tentunya akan menghasilkan pahala apabila disertai dengan keyakinan dalam hati dan semata-mata hanya mengharap ridha Allah SWT. Karena percuma jika kita berjihad dan bersedekah, misalnya, tetapi masih disertai keraguan kebenaran janji Allah dalam Alquran tentang pahala yang akan diberikan nanti di hari akhir. Allah memerintahkan kita untuk pe-de dan menjauhkan keragu-raguan. Ragu-ragu atau syak merupakan penyakit hati yang harus dibersihkan oleh setiap Muslim yang beriman. Karena selain bersih jasmani, kebersihan rohani juga harus dijaga.

Firman Allah, ''Sesungguhnya Allah mencintai orang yang senantiasa bertobat dan senantiasa membersihkan dirinya.'' (QS Al-Baqarah [2]: 222). Dan Rasulullah SAW pun bersabda, ''Allah tidak menerima shalat seseorang tanpa bersuci.'' (HR Bukhari dan Muslim). Meyakini dan mengaplikasikan seruan Allah dan ajaran rasul-Nya merupakan salah satu jalan untuk memperteguh hati kita dan menghilangkan rasa ragu dalam diri yang selalu gundah. Bila kebenaran yang kita pegang, maka tak perlu gamang untuk melangkah. Apalagi bila keimanan pada Allah dan Rasul-Nya menjadi dasar langkah kita.

''Sungguh Allah tak akan menzalimi seseorang, walau sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan (sekecil zarrah) niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya.'' (QS Annisa [4]: 50). Untuk itu, mumpung kita masih bisa menghela napas dan menghirup udara segar duniawi, mari sucikan diri kita dari penyakit keragu-raguan agar terhindar dari sikap zalim. Perteballah keyakinan kita kepada Allah SWT beserta wahyu yang disampaikan rasul-Nya, sehingga kita menjadi orang yang beruntung di dunia maupun di akhirat. Insya Allah.

Hikmah Republika Online, 04-08-2007

Friday, August 03, 2007

Lidah

Oleh : Bahron Anshori

''Siapa yang menahan lidahnya, pasti Allah menutupi auratnya, siapa yang dapat menahan amarahnya, pasti Allah akan melindunginya dari siksa-Nya, dan siapa yang memohon ampunan kepada Allah, pasti Allah menerima permohonan ampunannya.'' (HR Ibnu Abu Dunya).

Bahaya lidah sangat besar dan tidak ada orang yang bisa selamat darinya kecuali orang yang diam. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa yang diam, pasti selamat.'' (HR Tirmidzi).

Menjaga lidah memang tidak mudah. Salah satu dampak dari bahaya lidah adalah banyaknya fitnah yang bermunculan di mana-mana, hampir tak ada satu tempat pun di dunia ini yang selamat dari fitnah akibat lidah. Benar apa kata peribahasa bahwa lidah lebih tajam dari pedang.

Orang yang mampu menjaga lidah, berarti dialah orang yang akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Suatu ketika, Sahl bin Sa'ad RA bertanya kepada Rasulullah SAW, ''Wahai Rasululullah, apakah jalan keselamatan?'' Nabi menjawab, ''Tahanlah lidahmu, perluaslah rumahmu dan tangisilah kesalahanmu.'' (HR Tirmidzi).

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua janggutnya (lidah) dan dua kakinya, maka aku menjamin baginya surga.'' (HR Bukhari).

Betapa hebatnya orang yang mampu menjaga lidah. Sampai-sampai dikatakan dalam sebuah hadis bahwa orang yang menjaga lidahnya, mampu mengalahkan setan. ''Simpanlah lidahmu kecuali untuk kebaikan, karena sesungguhnya dengan demikian, kamu dapat mengalahkan setan.'' (HR Thabrani).

Begitulah para sahabat, mereka lebih rela mengunci lidahnya dari berkata yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya. Setiap perkataan pasti ada yang mencatat dan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT. Karena itu, menjaga lidah merupakan salah satu upaya untuk menghindari hisab di akhirat. ''Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.'' (QS Qaaf: 18). Wallahua'lam.

Hikmah Republika Online, 03-08-2007

Thursday, August 02, 2007

Kesejahteraan

Oleh : Luthfi Arif

Secara kodrati, manusia senantiasa memimpikan keadaan sejahtera. Kesejahteraan biasa digambarkan sebagai kebahagiaan, ketenangan, dan kenyamanan yang dirasakan selama menjalani hidup dan kehidupan.

Dalam konsep kehidupan bernegara, manusia juga ingin sejahtera dalam berbagai hal. Kesejahteraan tersebut tentu akan dapat diperoleh jika syarat-syaratnya terpenuhi.

Disebutkan dalam Alquran, ''Maka, sembahlah Tuhan pemilik Ka'bah ini (Allah). Yang telah mengaruniakan makanan ketika kamu lapar. Dan, memberikan keamanan ketika kamu takut.'' (QS Quraisy [106]: 3-5).

Ayat di atas, secara tidak langsung, menggambarkan tiga syarat utama memperoleh kesejahteraan bernegara. Pertama, setiap elemen negara, rakyat, maupun pemerintah, harus selalu melandasi diri dengan keyakinan beribadah. Karena pada dasarnya, tugas utama manusia di dunia adalah beribadah. ''Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.'' (QS Adz-Dzariyat [51]: 56).

Kedua, menjalani kehidupan tentunya tidak lepas dari permasalahan memenuhi kebutuhan. Setiap orang memiliki kadar kebutuhan yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidupnya. ''Sesungguhnya Kami ciptakan segala sesuatu sesuai dengan kadarnya.'' (QS Al-Qamar [54]: 49). Ini artinya, segala hal menyangkut ekonomi rakyat harus diutamakan. Karena masalah kemiskinan akan menimbulkan banyak hal buruk, semisal kriminalitas. Atau yang lebih parah, dapat menyebabkan kekafiran.

Dalam sebuah hadis dari sahabat Abu Sa'id al-Khudri, Rasulullah SAW pernah berdoa memohon dijauhkan dari kekafiran dan kemiskinan. Maka, Abu Sa'id al-Khudri bertanya, ''Ya Rasul, apakah kekafiran dan kemiskinan dapat menjadi setara?'' Rasul menjawab, ''Ya.'' (HR Ibnu Hibban).

Ketiga, terciptanya kondisi yang aman dan situasi yang terkendali. Kebutuhan akan keamanan hidup ini juga merupakan manifestasi dari sabda Rasulullah SAW, di mana setiap orang harus senantiasa saling menjaga diri dan perilakunya dari menyakiti orang lain. ''Muslim yang sempurna adalah orang yang menjaga lisan dan tangannya dari menyakiti Muslim lainnya.'' (HR Bukhari).

Hikmah Republika Online, 02-08-2007

Wednesday, August 01, 2007

Keutamaan Ilmu

Oleh : Guslaeni Hafid

Sepuluh orang Khawarij datang mengunjungi tempat Saidina Ali bin Abi Thalib. Mereka bermaksud menguji sejauh mana kedalaman ilmu yang dikuasai oleh Ali bin Abi Thalib. Mereka penasaran karena Rasulullah dalam sabdanya pernah menggambarkan bahwa bila beliau adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintunya.

"Hai Ali, manakah yang lebih mulia, ilmu atau harta benda, dan terangkan sebab-sebabnya?'' ujar salah seorang dari mereka. Di antara 10 jawaban sayyidina Ali adalah, ''Pengetahuan dan ilmu adalah warisan para nabi. Sedangkan harta kekayaan adalah warisan Fir'aun, Qorun, Syadad, dan sejenisnya. Maka, ilmu lebih mulia daripada harta.''

Lalu Ali menguraikan penjelasannya: ilmu lebih mulia daripada harta benda, karena yang memelihara ilmu adalah empunya. Sedangkan harta, empunya harus menjaga. Ilmu lebih mulia daripada harta, karena orang yang berilmu banyak sahabatnya, sedangkan orang yang banyak hartanya lebih banyak musuhnya. Saidina Ali menjelaskan, ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu bila disebarkan akan bertambah. Tetapi, harta benda jika disebarkan atau dibagikan akan berkurang.

Ilmu juga lebih mulia daripada harta benda, karena ilmu tidak dapat dicuri, sedangkan harta benda dapat dicuri dan dapat hilang. Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu tidak dapat binasa dan tidak dapat habis selamanya, sedangkan harta benda bisa habis atau bisa lenyap karena masa atau usia. Ilmu lebih mulia daripada harta benda, karena ilmu memberi sinar kebaikan, menjernihkan pikiran dan hati serta menenangkan jiwa. Sedangkan harta benda pada umumnya menggelapkan jiwa dan hati.

Ilmu lebih mulia dari harta benda, karena orang yang berilmu lebih mendorong untuk mencintai Allah, merendahkan diri, bersifat berprikemanusiaan. Sedangkan harta benda membangkitkan orang pada sifat-sifat sombong, congkak, takabur, dan angkuh.

''Ali memang orang pandai. Ia pantas dikatakan sebagai pintu gerbangnya ilmu. Sedangkan Nabi Muhammad SAW sebagai kotanya ilmu,'' ujar orang-orang Khawarij setelah puas dengan jawaban yang diberikan Ali.

Hikmah Republika Online, 01-08-2007

Tuesday, July 31, 2007

Mengumpat

Oleh : Jamalullail Mahfudz

''Orang mukmin bukanlah orang yang suka menghina, suka mengutuk, suka melakukan perbuatan keji, dan mengatakan perkataan yang kotor.'' (HR Tirmidzi).

Rasulullah SAW mengecam orang yang saling mengumpat dan saling mencaci-maki. ''Dua orang yang saling mencaci-maki, dosa cacian yang mereka ucapkan ditimpakan kepada mereka berdua, sampai orang yang teraniaya (orang yang mulai dimaki) melampaui batas.'' (HR Muslim). Apalagi jika yang saling mencaci maki itu sesama kaum Muslim, menurut Rasulullah, ini adalah suatu kefasikan. (HR Bukhari dan Muslim). Juga perhatikan firman Allah SWT, ''Wahai orang-orang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.'' (QS Al Ahzab [33] : 70).

Mengumpat sangat berbahaya jika dilakukan dan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya akan dimasukkan ke neraka kepada orang yang suka mengumpat, dengan mengucapkan kata-kata kotor. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW ditanya, ''Perkara apakah yang paling penting yang memasukkan seseorang ke dalam surga?'' Rasulullah menjawab, ''Takut kepada Allah dan bertabiat baik.'' Beliau ditanya lagi, ''Perkara apakah yang paling telak yang menyebabkan seseorang masuk neraka jahanam?'' Rasulullah SAW menjawab, ''Mulut dan kemaluan.''

Dari Abu Sa'id Al Khudriy RA berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Apabila datang waktu pagi maka semua anggota badan anak Adam (manusia) memperingatkan kepada lidahnya, di mana anggota-anggota badan itu berkata, 'Takutlah kepada Allah dalam memelihara keselamatan kami, karena nasib kami tergantung kamu, bila kamu lurus maka kami pun lurus, dan bila kamu menyeleweng maka kami pun menyeleweng.'' (HR Tirmidzi).

Mengumpat juga akan jauh dari rahmat Allah SWT, ini karena Allah sangat membenci hamba-Nya yang berkebiasaan mengumpat. Ibnu Umar RA berkata, ''Manusia yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah orang yang suka memaki dan mengutuk.'' Islam mengajarkan berhati-hati dalam berucap, bertindak, dan bersikap, apalagi hanya karena hal-hal yang sepele. Terlalu sayang mengeluarkan kata-kata buruk. Bukan semata tak ada manfaatnya, malah mendatangkan kebencian Allah.

Hikmah Republika Online, 27-07-2007

Thursday, July 26, 2007

Hina

Oleh : Sabrur R Soenardi

Suatu hari Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada Ibrahim bin Adham, ''Bagaimana model kehidupan Anda?'' Ibrahim menjawab, ''Jika kami memperoleh rezeki kami bersyukur, jika tidak maka kami bersabar.'' ''Itu sama halnya dengan kebiasaan anjing-anjing di Khurasan,'' timpal Syaqiq. Ibrahim bertanya, ''Memangnya bagaimana model kehidupan Anda?''

Syaqiq menjawab, ''Jika kami mendapat rezeki, maka kami dermakan, jika tidak maka kami bersyukur.'' ''Anda pasti seorang mahaguru (tasawuf),'' kata Ibrahim bin Adham takzim. Kisah dalam kitab Nafahat al-Uns karya Jami di atas itu, menyiratkan asumsi bahwa solidaritas sosial dan sikap tidak mementingkan diri sendiri hampir susah kita jumpai di dunia manapun dan zaman apa pun. Jangankan mendermakan rezeki ketika menerima (model Syaqiq al-Balkhi itu), bersyukur saja ketika mendapatkan rezeki (model Ibrahim bin Adham) mungkin belum tentu.

Yang ada adalah, jika tidak memperoleh rezeki manusia umumnya berkeluh kesah, dan jika sudah mendapatkannya maka ia ingin tambah terus dan terus. Model seperti ini barangkali bisa kita saksikan manifestasinya pada sikap dan perilaku sebagian kaum elite politik kita belakangan ini, yang ingin selalu bergelimang fasilitas. Gaji naik, tunjangan ini dan itu, biaya sana dan sini, meski itu mungkin belum sebanding dengan maksimalitas kinerja yang ditunjukkan.

Jika orang yang hanya bersyukur jika mendapat rezeki dan bersabar ketika tidak mendapat rezeki oleh Syaqiq Balkhi diibaratkan tak ubahnya anjing, maka bagaimana dengan mereka yang tak pernah bersyukur dan tak pernah merasa puas dengan apa yang sudah diterimanya? Tentu berarti mereka lebih hina lagi.

Alasannya, mereka tidak pernah bersyukur. Sebaliknya, mereka berpikiran bahwa segala yang mereka dapatkan adalah hasil jerih payah mereka. Mendermakan sebagian hartanya dianggap sebagai tindakan merugikan diri sendiri.

Apa yang pernah disabdakan oleh Nabi SAW sangatlah cocok untuk mengilustrasikan 'gaya hidup' mereka ini. Kata Nabi Saw, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah, ''Seorang anak Adam jika memiliki segunung emas, maka ia pasti ingin memiliki dua (gunung emas). Ia tak akan pernah puas, hingga tanah memenuhi lubang hidungnya (mati).'' (HR Bukhari dan Muslim). Nauzubillahi min dzalik. Semoga kita terhindar dari sifat yang demikian.

Hikmah Republika Online, 25-0702007

Monday, July 23, 2007

Ilmu yang Bemanfaat

Oleh : Nasrullah Nurdian al-Khayyath

Ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung kebaikan (maslahat), memiliki nilai-nilai positif bagi sesama manusia ataupun alam. Namun, manfaat tersebut menjadi kecil artinya bila faktanya tidak membuat pemiliknya semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Imam Malik bin Anas RA (wafat 179 H) mendiskripsikan tentang ilmu yang bermanfaat itu. Ia berkata, "Yang disebut ilmu bermanfaat itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan sesuatu (hadis), melainkan nur (cahaya) Allah yang Mahasuci yang dimasukkan ke dalam hati manusia, yang selalu menerangi pemiliknya dalam setiap saat, baik dalam keadaan jelas (zhahir) atau tersembunyi (khali).''

Dengan ilmu, derajat seseorang akan terangkat, menyelami hidup ini dengan penuh semangat dan optimistis, terbukanya tabir kegelapan, serta semakin kokoh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman, ''Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kalian dengan beberapa derajat.'' (QS Al-Mujadalah [58]: 11).

Lalu, bagaimana cara memperoleh ilmu yang dapat menerangi hati kita dari kegelapan? Imam Syafi'i RA (wafat 204 H) ketika masih menuntut ilmu pernah mengeluh dan mengadukan suatu problematika kepada gurunya. Kata beliau, ''Wahai Guru, mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah dipahaminya?'' Lalu Imam Waki' RA (Sang Guru) menjawab, ''Ilmu itu ibarat cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.'' (Diwan al-Syafi'i).

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya bagi penuntut ilmu selalu berhati bersih, mempunyai perangai yang mulia, menjauhkan maksiat, serta meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela (al-akhlak al-madzmumah) yang jelas-jelas tidak disukai Allah dan Rasul-Nya. Hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari sifat tamak (rakus) terhadap urusan duniawi dan tidak pernah digunakan menzalimi sesama.

Hikmah Republika Online, 20-07-2007

Friday, July 20, 2007

Itsar

Oleh : Mujiyanto

Al itsar atau mengutamakan orang lain adalah tindakan yang disunahkan oleh Rasulullah SAW. Perilaku ini merupakan wujud persaudaraan sejati sesama Muslim. Itsar memiliki nilai yang mulia di sisi Allah.

Suatu ketika ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW. Ia bermaksud meminta bantuan kepada Nabi karena sedang dalam kesusahan. Rasulullah kemudian menyuruh laki-laki itu untuk menemui salah satu istrinya. Maka istri Rasul berkata, ''Demi Allah yang telah mengutusmu dengan hak, aku tidak mempunyai apapun kecuali air.'' Mendengar itu, Rasul menyuruh laki-laki itu kepada istri beliau yang lain. Ternyata, hasilnya sama. Istri Rasulullah hanya punya air.

Rasul kemudian bersabda di hadapan para sahabat, ''Siapa yang mau menjamu tamu pada malam ini?'' Seorang laki-laki dari kaum Anshar menyanggupinya. ''Aku, ya Rasul.'' Orang Anshar ini lalu membawa laki-laki tersebut ke rumahnya.

Sesampai di rumah ia berkata kepada istrinya, ''Wahai istriku, muliakanlah tamu Rasulullah ini. Apakah engkau punya sesuatu?'' Istrinya menjawab, ''Tidak, kecuali makanan anak-anak kita.''

Mendengar jawaban istrinya, orang Anshar ini tidak lantas mengusir sang tamu. Ia berpesan kepada istrinya, ''Hiburlah mereka (anak-anaknya). Jika mereka mau makan malam maka tidurkanlah. Jika tamu kita sudah masuk, matikanlah lampu dan perlihatkan kepadanya seolah-olah kita sedang makan.''

Tamu itu pun datang. Mereka semua duduk. Tamu itu pun makan dalam keadaan gelap. Orang Anshar dan istrinya menemani sang tamu, seolah-olah sedang makan pula. Akhirnya sahabat Anshar dan istrinya itu tidur dalam keadaan lapar.

Ketika waktu Subuh, sahabat Anshar ini menemui Rasulullah SAW dan menceritakan perbuatannya. Nabi pun berkata, ''Allah sungguh takjub karena perbuatan engkau bersama istrimu tadi malam pada saat menjamu tamu.'' (Mutafaq alaih)

Alangkah indah jika karakter itsar muncul sekarang. Apalagi banyak anggota masyarakat yang mengalami kesusahan hidup. Itsar mendorong kita untuk mau menekan ego dan mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain.

Memang tidak bisa dimungkiri, kini justru karakter mementingkan diri sendiri yang mendominasi kehidupan kita. Namun, bukan berarti itsar tidak bisa kita lakukan. ''... Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya....'' (QS Saba [34]: 39).

Hikmah Republika Online, 16-07-2007

Thursday, July 19, 2007

Kenyang

Oleh : Ganda Pekasih

''Tidak ada bejana yang yang diisi anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam untuk menegakkan tulang punggungnya. Sepertiga perutnya untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya dan sepertiga lagi untuk nafasnya.'' (HR At Tirmidzi) Makan, sesungguhnya jelas tidak hanya sekadar penghalau rasa lapar. Apalagi saat ini. Makan menjadi bagian dari gaya hidup dan tujuan kesenangan serta gengsi. Maka tempat-tempat makan prestisiuspun tak pernah sepi dari pengunjung. Bahkan, ada yang memesan kursi jauh sebelumnya.

Walau jenis makanan yang dimakan halal adanya, tapi berhati-hatilah ketika batas proporsional tidak lagi diindahkan. Allah berfirman, ''Makan dan minumlah, tapi jangan berlebih lebihan. Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang berlebih lebihan.'' (QS Ala'raaf [7]: 31).

Dikisahkan Nabi Yahya AS berjumpa iblis yang sedang membawa alat pancing. Bertanya Yahya AS, ''Untuk apa alat pancing itu?'' ''Inilah syahwat untuk mengail anak Adam.'' ''Adakah padaku yang dapat kau kail?'' Iblis menjawab, ''Tidak ada, hanya pernah terjadi pada suatu malam engkau makan agak kenyang hingga kami dapat menggaet engkau sehingga berat untuk mengerjakan shalat.'' Yahya AS terkejut. ''Kalau begitu aku tak akan mau kekenyangan lagi seumur hidupku.''

Kekenyangan membuat tubuh menjadi malas bergerak. Mengerjakan ibadah jadi berat sehingga mudah bagi iblis membisikkan tipu dayanya. Tanpa kita sadari otak pun menjadi tidur, tubuh jadi gemuk, lemak menumpuk.

Itu sebabnya, Rasulullah berpesan agar kita makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Para sahabat pun mengikuti ajaran itu. Imam Ghazali mengutip ucapan Abu Bakar Shiddiq RA dalam hal ini, ''Sejak aku memeluk Islam, belum pernah aku mengenyangkan perutku karena ingin dapat merasakan manisnya beribadah, dan belum pernah aku kenyang minum karena sangat rindunya aku pada Ilahi.''

Jelaslah mengapa Alquran dengan lantang membenci tindakan berlebih-lebihan, dalam hal ini banyak makan (kekenyangan). Di samping dari sisi kesehatan akibat banyak makan tentu bisa menimbulkan berbagai penyakit, banyak makan memberatkan pula seseorang untuk beribadah dan lebih celaka lagi, akan mematikan hati nurani.

Hikmah Republika Online, 17-07-2007

Jiwa Kesatria

Oleh : Muhbib Abdul Wahab

Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa suatu hari Rasul SAW didatangi oleh seseorang yang ingin berkonsultasi. Orang itu bertanya, ''Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika ada orang hendak mengambil hartaku?'' ''Jangan kau berikan hartamu kepadanya!''
''Bagaimana kalau orang itu akan membunuhku?''
''Lawanlah dia!''
''Bagaimana jika ia benar-benar membunuhku?''
''Engkau mati syahid.''
''Bagaimana jika aku yang membunuhnya?''
''Dia akan masuk neraka,'' tegas Rasul.
Dialog konsultatif tersebut mengisyaratkan bahwa setiap Muslim harus berjiwa ksatria demi kemuliaan diri (izzah). Berani karena benar, dan rela berkorban demi membela kebenaran.

Sifat ksatria adalah benteng kemuliaan diri. Menjadi Muslim harus terhormat, bermartabat, tidak menjadi sasaran penghinaan dan penistaan. Karena itu, Muslim dilarang bersikap rendah dan lemah diri. ''Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang paling tinggi (derajatnya), jika kamu beriman.'' (QS Ali Imran [3]: 139).

Jiwa ksatria menempa Muslim untuk tegar dalam menghadapi cobaan iman, tampil dengan etos kerja dan produktivitas yang tinggi, dan semangat bersaing yang kuat. Umar bin Al-Khattab pernah menyatakan, ''Dahulu (sebelum Islam) kami sungguh hina dan tidak bermartabat. Lalu Allah membuat kami mulia dengan berislam. Jika mencari kemuliaan di luar Islam, maka Allah akan membuat kita hina.''

Nabi SAW adalah teladan ksatria dalam banyak hal. Beliau ksatria dalam mengakui kekhilafan dan kekurangannya dengan banyak beristighfar. Beliau ksatria dalam memimpin perang melawan musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya. Beliau ksatria dalam mengambil keputusan dengan cepat dan tepat di saat diperlukan. Beliau ksatria dalam membela kaum miskin dan tertindas.

Beliau ksatria dalam menegakkan keadilan hukum bagi siapa pun yang berperkara. Beliau ksatria dalam melindungi dan membahagiakan rumah tangganya. Beliau juga ksatria dalam berbisnis: bersikap jujur, terbuka, dan tidak curang. Beliau ksatria dalam membedakan antara urusan pribadi dan urusan umat, sehingga beliau selalu bertindak penuh kemuliaan, keadilan, dan kemanfaatan bagi semua. Sudah saatnya kita memperbaiki diri agar memiliki jiwa yang tangguh, sesuai tuntunan Islam.

Hikmah Republika Online, 14-07-2007

Tuesday, July 17, 2007

Kesalahan dan Kebaikan

Oleh : Mahmudi Arif D

''Ingatlah olehmu dua perkara, yaitu kesalahanmu kepada orang lain dan kebaikan orang lain kepadamu. Lupakan dua perkara, yaitu kebaikanmu pada orang lain dan kesalahan orang lain kepadamu.''

Nasihat ahli hikmah ini, perlu kita jadikan bahan renungan dan introspeksi dalam upaya mencapai pribadi yang ber-akhlakul karimah. Nilai seseorang bukanlah berada pada penampilan dirinya, bukan pula dari jabatan dan harta benda yang telah dikumpulkan. Seseorang dinilai bukan dari kursi yang diduduki, bukan pula berapa pangkat yang disandang dan tanda jasa yang melekat pada dadanya, serta bukan karena garis keturunannya. Seorang itu dinilai dari budi pekerti luhur yang menghiasi perilakunya.

Dikatakan dalam pepatah Arab, ''Kemuliaan seseorang itu dengan budi pekerti yang baik, bukan karena keturunan.'' Mengapa kita harus mengingat kesalahan yang telah dikerjakan pada orang lain? Dengan mengingatnya, akan menimbulkan perasaan menyesal dalam diri kita, perasaan yang mendorong untuk bertobat kepada Allah, kemudian berusaha memperbaikinya dengan meminta maaf dan tidak akan mengulanginya.

Mengingat kebaikan orang lain terhadap kita akan mendorong kita selalu berbuat baik kepada orang lain. Kehidupan tidak akan terbina dengan baik tanpa kebaikan orang lain, yang pada hakikatnya kebaikan itu untuk dirinya sendiri. Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak sempurna iman seseorang sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.'' (HR Bukhari-Muslim).

Melupakan kebaikan yang telah diperbuat pada orang lain akan mendorong kita menjadi pribadi yang mukhlis. Setiap kebaikan, hanya diniatkan lillah ta'la, seikhlas-ikhlasnya. Sebagai Muslim, sudah semestinya menjaga agar hati selalu suci dari kemunafikan, perbuatan harus selalu suci dari riya' lidah harus selalu suci dari kebohongan. Sedangkan dengan melupakan kesalahan orang lain, akan mendorong kita menjadi pribadi pemaaf. Kita akan gampang memaafkan, sebesar apa pun kesalahan orang.

Hikmah Republika Online, 13-07-2007

Wednesday, July 11, 2007

Istighfar

Oleh : Wiwik Ariyani

''Setiap manusia pasti pernah berbuat dosa dan sebaik-baiknya orang yang berdosa adalah yang bertaubat.'' (HR Ibnu Majah).

Manusia tidaklah diciptakan seperti malaikat yang selalu taat kepada Allah SWT, dan tidak pula seperti Setan yang selalu berbuat dosa. Hadis di atas menunjukkan manusia pasti pernah berbuat dosa, karenanya istighfar merupakan kewajiban harian yang harus selalu dilakukan setiap manusia.

Semestinya, istighfar tidaklah sekadar ucapan. Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya At-Taubah Ila-llah, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan sehingga Allah SWT benar-benar menerima istighfar kita. Pertama, istighfar harus disertai dengan keikhlasan dan niat yang benar, ''Seluruh amal perbuatan manusia ditentukan oleh niatnya. Dan, balasan amalan seseorang sesuai dengan apa yang diniatkannya.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua, istighfar harus dilakukan dalam keadaan suci, baik dari hadas besar ataupun kecil. Rasulullah SAW bersabda, ''Setiap orang yang berbuat dosa, kemudian ia bangun dan bersuci serta memperbaiki bersucinya, kemudian ia beristighfar kepada Allah SWT, maka Allah SWT pasti mengampuninya.'' (HR Bukhari).

Ketiga, ada keselarasan antara hati dan lisan. Janganlah lisan beristighfar akan tetapi hatinya masih ingin terus berbuat dosa. Ibnu Abbas berkata, ''Orang yang beristighfar kepada Allah SWT dari suatu dosa, sementara ia masih terus menjalankan dosa itu maka ia seperti orang yang sedang mengejek Tuhannya.''

Keempat, hendaknya istighfar dilakukan saat shalat tahajud, karena hal itu akan menambah kekhusyukan, terbebas dari riya dan termasuk waktu mustajab. Firman Allah SWT, ''Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).'' (QS Adz-Dzariaat [51]: 18).

Kelima, lafal istighfar bagusnya sesuai dengan Alquran dan sunah Nabi SAW, karena kita akan mendapat dua pahala sekaligus, pahala mengikuti Alquran dan sunah dan pahala istighfar, Seperti yang dicontohkan Alquran, ''Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.'' [QS Al A'raaf [7]: 23]. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita. Wallahu a`lam bish-shawab.


Hikmah Republika Online, 11-07-2007

Tuesday, July 10, 2007

Nasihat

Oleh : Ilham Maulana

''Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.'' (QS Al 'Ashr [103]: 1-3).

Pada ayat ketiga surat Al 'Ashr di atas ada kata tawashi bil haq artinya saling menasihati dalam kebenaran. Menurut ilmu bahasa Arab, kata tawashi ber-sighah tafa'ul. Jadi, tawashi merupakan hubungan timbal balik dari kedua pihak. Dalam arti kata, kita menasihati orang lain dalam hal kebenaran, tetapi kita juga menerima nasihat orang lain yang serupa.

Tawashi bil haq berarti masing-masing pihak saling menasihati pihak lain soal kebenaran. Adapun orang yang paling dekat untuk saling memberikan nasihat adalah mereka yang berada dalam tanggung jawab dan pengayoman kita, seperti istri atau suami, anak, dan saudara. Rasulullah SAW selalu mendengarkan nasihat dari para sahabat, sebagaimana disebutkan dalam beberapa peristiwa yang dirangkum kitab-kitab sunah dan sirah. Beliau disebutkan senantiasa menerima pendapat orang lain bahkan terkadang mengesampingkan pendapat sendiri. Beliau menerima masukan dari mana saja untuk kebaikan diri dan umat manusia.

Hal yang sama dilakukan oleh para sahabatnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam khutbah pertama kalinya di atas mimbar berkata, ''Wahai sekalian manusia, apabila kalian melihatku dalam kebenaran, maka bantulah aku. Dan, bilamana kalian melihatku dalam kebatilan, maka cegahlah aku. Taatilah aku selama aku menaati Allah. Namun, apabila aku bermaksiat kepada-Nya, maka tiada alasan bagi kalian untuk menaatiku.''

Setiap Muslim adalah penyeru dakwah kepada Allah. Barangsiapa belajar sesuatu, ia berkewajiban mengamalkan dan mengajarkan orang lain. Inilah dakwah. Ada yang berdakwah dengan kata-kata yang baik, ada pula yang berdakwah dengan persahabatan yang baik, dengan uswah hasanah. Sudah saatnya seorang Muslim tidak lagi hidup dengan disibukkan mengurusi urusan sendiri dan menutup mata pada peristiwa yang menimpa saudara-saudara Muslim lainnya. Tawashi bil haq adalah salah satu ciri Muslim sejati. Wallahu'alam bish-shawab.

Hikmah Republika Online, 10-07-2007

Friday, July 06, 2007

Jujur dan Adil

Oleh : Mulyana

Setiap pesta demokrasi atau pemilihan umum di belahan dunia manapun selalu merujuk pada dua pilar utama untuk mengukur kesuksesan pelaksanaannya. Dua pilar utama ini adalah jujur dan adil. Kedua pilar ini menjadi penting karena sangat menentukan legitimasi dan kredibilitas pelaksanaan suatu pesta demokrasi.

Namun, jujur dan adil sejatinya merupakan nilai yang universal yang sejatinya dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan, tidak hanya dalam pesta demokrasi belaka. Dalam bermuamalah, hukum, hidup bermasyarakat, dan bahkan mengelola sebuah negara pun nilai-nilai kejujuran dan keadilan harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

Pada dasarnya setiap manusia memiliki nurani untuk selalu jujur. Tetapi, karena keangkuhan, kebodohan, atau egonya, manusia sering menggadaikan kejujuran dirinya. Coba kita perhatikan firman Allah yang menjelaskan bahwa setiap manusia mengakui Tuhan Yang Maha Pencipta itu adalah Allah, tetapi karena keangkuhan manusia tidak mau beribadah kepada Allah.

Firman-Nya, ''Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Niscaya mereka menjawab, ''Allah.'' Katakanlah, ''Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?'' Katakanlah, ''Cukuplah Allah bagiku.'' Kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri. (QS Az Zumar [39]: 38).

Demikian pula halnya dengan adil. Allah menjelaskan bahwa berbuat adil adalah lebih dekat dengan takwa. Allah berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Al Maidah [5]: 8).

Semoga kita selalu menerapkan prinsip-prinsip yang jujur dan adil dalam segala aspek kehidupan, sehingga kita bisa menjadi orang dan bangsa yang bermartabat. Insya Allah.

Sumber : Hikmah Republika Online, 06-07-2007

Wednesday, July 04, 2007

Amunisi Taqwa

Oleh : Bondan Waluyo

Kaum Muslim belum banyak yang memahami dan mengamalkan esensi takwa. Masih banyak kaum Muslim memahami esensi takwa hanyalah sebatas ajaran agama semata. Padahal, ajaran takwa dalam Islam sungguh suatu muatan nilai moral yang dapat mengantarkan manusia sukses dalam membangun derajat kemulian di hadapan Allah SWT maupun di hadapan manusia.

Allah SWT berfirman, '' .... Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu adalah yang paling bertakwa.'' (QS Alhujurat [49]: 13). Rasulullah pun menegaskan, ''Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat bentuk dan harta kamu sekalian, namun sungguh Allah hanya melihat hati dan perbuatan kalian.'' (HR Muslim).

Dalam dua sumber itu dapat dipetik makna. Pertama, esensi takwa adalah derajat kemulian yang paling mulia di hadapan Allh SWT. Kedua, esensi takwa memiliki ajaran moral yang bisa memuliakan derajat seseorang dalam membangun hubungan sosial antarmanusia, baik dalam hidup berumah tangga, hidup bermasyarakat, maupun hidup bernegara.

Imam Khusairi dalam kitabnya Risalah Al-Khusairiyyah dijelaskan esensi takwa adalah tawaduk (rendah hati). Contoh amalan rendah hati kita jadi orang kaya, orang pandai, orang yang punya jabatan tetap rendah hati karena sadar semua kekayaan, ilmu, dan jabatan hanyalah milik Allah SWT.

Lalu qanaah (mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan-Nya). Contoh amalan qanaah mempergunakan kekayaan, keilmuan, dan jabatan untuk kemaslahatan umat. Jikalau dalam hidup bermasyarakat dan bernegara terbangun umat yang qanaah tidak akan terjadi kemiskinan, kebodohan, dan penyelewengan jabatan karena sadar bahwa kekayaan, ilmu, dan jabatan adalah amanah Allah SWT yang akan dimintai pertanggungjawaban-Nya.

Ketiga adalah wirai (malu berbuat maksiat kepada Allah dan manusia). Jikalau semangat wirai terbangun dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, maka tidak akan terjadi tindakan-tindakan tak terpuji seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan lain sebagainya.

Dan keempat adalah yaqin (optimistis). Kita harus yakin dalam menghadapi segala persoalan hidup, jangan putus asa dalam persoalan hidup karena hidup kita dan mati kita hanyalah milik Allah SWT.

Kesimpulannya, semangat takwa akan mengantarkan kita menuju kemulian di hadapan Allah SWT. Dengan empat 'anumisi' berlandas takwa itu -- tawaduk, qanaah, wirai, dan yaqin maka akan terbangun manusia yang mulia, masyarakat yang maju, dan bangsa yang berperadaban tinggi. Insya Allah.

Sumber : Hikmah Republika Online, 04-07-2007

Tuesday, July 03, 2007

Malu pada Allah

Oleh : Muhbib Abdul Wahab

''Jika engkau tidak merasa malu, perbuatlah sekehendakmu.'' (HR Abu Daud). Hadis ini memberikan petunjuk berharga kepada kita bahwa kendali moral itu terletak pada rasa malu. Jika seseorang sudah tidak lagi memiliki rasa malu, niscaya pelanggaran hukum dan moral menjadi hal biasa, tanpa rasa salah dan dosa.

Malu pada tempatnya adalah kunci keutamaan. Rasa malu membuat Muslim bersikap hati-hati untuk tidak melanggar larangan Allah. Rasa malu mengantarkan kita pada sikap iffah, yaitu memelihara diri dari sifat tidak terpuji dan menjaga martabat sebagai seorang Muslim, sehingga kita selalu menjauhi perbuatan maksiat dan dosa.

Rasulullah SAW pernah memberi nasihat kepada para sahabatnya, ''Hendaklah kalian merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.'' Para sahabat menimpali, ''Alhamdulillah kami sudah merasa malu kepada Allah.'' Rasul SAW lalu menyatakan, ''Tidak, kalian belum merasa malu. Orang yang betul-betul merasa malu di hadapan Allah hendaklah menjaga kepala berikut isinya (pikiran), menjaga perut berikut isinya (makanan), dan hendaklah mengingat mati dan bencana. Siapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat, hendaklah meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang sudah melakukan itu semua, berarti telah betul-betul mempunyai rasa malu kepada Allah.'' (HR Al-Tirmidzi).

Sungguh kesadaran untuk merasa malu kepada Allah itu sangat penting, baik bagi rakyat lebih-lebih bagi pejabat. Sebagai rakyat kita merasa malu kepada Allah karena belum sepenuhnya mampu menaati perintah dan larangan-Nya, dan juga belum mampu berbuat banyak untuk kemajuan bangsa. Para pejabat semestinya juga merasa malu kepada Allah karena banyak amanah rakyat yang belum dapat diwujudkan. Janji-janji sewaktu kampanye belum banyak dilaksanakan. Kebijakan yang diambil masih banyak yang melukai rasa keadilan rakyat.

Malu itu perisai diri. Merasa malu kepada Allah berarti membentengi diri dengan meneladani akhlak Allah sebagaimana tecermin dalam Asmaul Husna. Rasulullah SAW adalah teladan pemimpin yang memiliki rasa malu kepada Allah sangat tinggi, sehingga beliau tidak mau merepotkan rakyatnya.

Jadi, mari kita malu pada tempatnya. Malu jika anak kita rajin shalat, sementara kita tidak. Malu jika banyak anak negeri ini tidak dapat bersekolah, sementara kita yang kebetulan wakil rakyat atau pejabat publik sibuk minta fasilitas.

Sumber : Hikmah Republika Online, 03-07-2007

Wednesday, May 02, 2007

Meminta Jabatan

Oleh : Ian Suherlan

Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Engkau jangan melamar (meminta) jabatan (pimpinan), sebab jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, maka akan diserahkan kepadamu semuanya. Sebaliknya, jika jabatan itu diserahkan kepadamu tanpa perintaanmu, maka akan dibantu untuk mengatasinya.'' (HR Bukhari Muslim, Al-Lu'lu wal Marjan, No 1197).

Hadis tersebut berisi peringatan Rasulullah SAW kepada Abdurrahman bin Samurah agar ia tidak meminta-minta jabatan. Meski hadis tersebut dikatakan di hadapan Abdurrahman bin Samurah, tetapi larangan meminta jabatan berlaku untuk semua umat Nabi Muhammad SAW. Siapa pun dan di manapun mereka berada, Rasulullah melarang meminta-minta jabatan.

Kini terdapat fenomena orang-orang berlomba meraih jabatan. Kenapa meminta jabatan dilarang? Berdasar hadis di atas, paling tidak ada dua dampak negatif dari jabatan yang diraih karena permintaan atau ambisi. Pertama, orang yang berambisi mendapat jabatan akan cenderung menempuh cara-cara yang tidak halal. Ketika seseorang mendapat jabatan dengan cara yang tidak halal, besar kemungkinan jabatan itu akan banyak disalahgunakan. Jabatan tidak lagi dianggap sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Kedua, orang yang mendapat jabatan karena ambisi, ia akan dibebani dengan jabatan itu. Beratnya pekerjaan dan besarnya tanggung jawab harus ia jalani sendiri. Mungkin sedikit sekali orang yang sadar rumitnya persoalan yang harus ia selesaikan dan sedikitnya dukungan dari pihak lain merupakan akibat dari ambisinya. Ambisi itu memudaratkan dirinya. Karena ketidaksadaran itu, orang-orang terus berlomba mencari dan meminta-minta jabatan.

Penyalahgunaan jabatan yang diraih karena permintaan sangat besar peluangnya. Dalam hadis lain Rasulullah bersabda, ''Kalian akan menghadapi sepeninggalku suatu monopoli dan mengutamakan kepentingan diri sendiri atau sistem famili." Salah seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang engkau pesankan kepada kami jika terjadi semua itu? Rasulullah SAW bersabda, "Tunaikanlah kewajibanmu, dan kamu tuntut kepada Allah hakmu." (HR Bukhari Muslim).

Hadis tersebut masih satu rangkaian dengan hadis di atas yang menjelaskan adanya korelasi antara meminta jabatan dan kecenderungan menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Prediksi Rasulullah SAW tersebut tengah kita saksikan saat ini.

Hikmah Republika Online, 27-04-2007

Majikan dan Pekerja

Oleh : Rashid Satari

Hari Buruh seringkali dijadikan momen oleh para pekerja untuk berdemonstrasi, menggugat majikan dan menuntut segala hal yang menjadi hak mereka. Ini tak perlu terjadi seandainya selama ini hubungan antara pekerja dan majikan terjalin harmonis.

Keharmonisan antara pekerja dan majikan akan terjalin bila setiap pihak memandang pekerjaannya sebagai lahan ibadah. Dalam Islam, bekerja adalah ibadah. Bekerja menjadi bukti dan manifestasi keimanan seseorang. Dalam Alquran terdapat ratusan kata ''iman'' yang diikuti dengan kata ''amal''. Allah SWT berfirman, ''Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh (bekerja dengan baik).'' (QS Alkahfi [18]:110). Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak ada satu makanan yang dimakan seseorang, yang lebih baik daripada makanan hasil usahanya sendiri.'' (HR Bukhari).

Motivasi seorang Muslim dalam bekerja, baik itu posisinya sebagai majikan ataupun pekerja, bukanlah sekadar mengejar upah/gaji, namun juga mengejar keridhaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang melakukan pekerjaannya dengan baik dan tekun.'' (HR Baihaqi).

Keharmonisan antara pekerja dan majikan akan terbangun bila setiap pihak menunaikan perannya dengan baik dan profesional. Pekerja bekerja dengan penuh disiplin, amanah, dan tanggung jawab. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah adalah Zat yang terbaik dan sangat mencintai yang baik dan tidak menerima sesuatu kecuali jika dilakukan dengan baik.'' (HR Baihaqi).

Majikan pun demikian, harus menunaikan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab dan rasa kepedulian. Majikan harus mampu memenuhi hak-hak pekerjanya serta berinteraksi dengan penuh empati dan kasih sayang. Rasulullah SAW berkata kepada Ma'rur bin Suwaid, ''Janganlah engkau membebani pekerjaan kepada mereka jika hal tersebut akan memberatkannya. Tapi, jika engkau menyuruhnya juga, maka hendaklah engkau turut membantunya.''

Dalam hadis lain Rasul SAW bersabda, ''Barang siapa mempekerjakan seseorang, hendaklah dia memberitahukan gajinya dan jangan mempekerjakan seseorang sebelum menjelaskan gajinya.'' (HR Baihaqi dan Ibnu Hanbal). Jadi, sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa pantang bagi majikan Muslim menahan atau bahkan mengurangi gaji pekerjanya. Demikianlah hubungan perburuhan dalam Islam. Majikan dan pekerja seharusnya mampu bekerja sama secara harmonis agar laju pekerjaan berlangsung efektif dan bernilai ibadah. Wallahu a'lam bis-hawab.

Hikmah Republika Online, 02-05-2007

Tuesday, May 01, 2007

Khusyuk

Oleh : MHD Natsir

''Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.'' (QS Al-Mu'minun [23]: 1-2). Seorang ahli ibadah yang bernama Isam bin Yusuf dikenal khusyuk dalam shalatnya. Tetapi, dia masih ragu dengan kekhusukan ibadah yang telah dilakukannya.

Sehingga, ia selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih khusuk ibadahnya, agar ia bisa memperbaiki ibadahnya yang dirasakan belum khusuk. Suatu ketika, Isam pergi menghadiri majelis Hatim Al-Isam dan ia bertanya, ''Wahai Aba Abdurrahman, bagaimanakah caranya tuan khusuk dalam shalat?'' Hatim menjawab, ''Apabila masuk waktu shalat aku berwudhu lahir dan batin.'' Isam bertanya lagi, ''Bagaimana yang tuan maksud dengan wudhu' lahir dan batin itu?''

''Wudhu lahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu dengan air. Sedangkan wudhu batin membasuh anggota dengan tujuh perkara, yaitu dengan bertobat, menyesali dosa yang dilakukan, tidak dibutakan oleh dunia, tidak mengharap pujian orang (riya'), meninggalkan sifat sombong dan berbangga diri, membuang sifat khianat dan menipu, serta menjauhkan diri dari sifat dengki.''

Selanjutnya Hatim berkata, ''kemudian aku pergi ke masjid, aku kemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku, dan aku bayangkan pula aku seolah-olah berdiri di atas titian Sirratal Mustaqim dan aku menganggap shalatku kali ini adalah shalat yang terakhir, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik.

Setiap bacaan dan doa dalam shalat kupahami maknanya, kemudian aku ruku' dan sujud dengan tawadhuk, aku ber-tasyahhud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku shalat selama 30 tahun.''

Isam pun menangis. Ia merasa shalatnya belum sempurna. Apabila Isam bisa menangis hanya karena mengingat shalatnya yang belum khusyuk, apakah kita bisa melakukan seperti yang dilakukan Isam? Kita, jangankan menangisi shalat yang belum khusyuk, meninggalkan shalat lima waktu saja mungkin tanpa rasa bersalah.

Padahal, shalat akan mendekatkan kita pada Allah dan merupakan sarana mendapatkan pertolongan dari-Nya. ''Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.'' (QS Albaqarah [2]: 45).

Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba yang taat mendirikan shalat dan selalu khusuk dalam shalatnya. Bukan sekadar ritual takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, sementara hati kita berkelana entah ke mana.

Hikmah Republika Online, 01-05-2007

Friday, April 20, 2007

Penghalang Hidayah

Oleh : Sholehan Latundo

Menurut Alquran, ada tiga faktor umum penyebab ketergelinciran manusia pada keburukan. Tiga hal inilah yang menghalangi manusia mendapatkan hidayah atau keuntungan spiritual.

Pertama adalah hawa nafsu (nafsu amarah). Menuruti semua keinginan dan memenuhinya tanpa pertimbangan akal dan tidak memperhitungkan dampak serta pengaruhnya terhadap kebahagiaan dan kesengsaraan manusia. Menuruti insting seperti itu berarti menuruti kecenderungan hewani (bahimiyah).

Pertarungan melawan gejolak hawa nafsu adalah perjuangan besar. Pertarungan ini secara terus-menerus berlangsung di dalam diri kita. Dan, seringkali nafsu amarah ini mampu menundukkan dan mengendalikan manusia. Mawlawi dalam sebuah syairnya mengisyaratkan, ''Nafsu tidak ubahnya ular, dia baru diam, tatkala telah penuh kesedihan.''

Kedua, adalah dunia. Sikap dan pandangan keliru manusia terhadap dunia merupakan salah satu faktor penyimpangan manusia. Menjadikan dunia sebagai tujuan akhir, seraya melalaikan kebahagiaan abadi dan kehidupan akhirat.

Dunia menipu dan menyibukkan manusia. Jika manusia tenggelam di dalam dunia, maka dia tidak ubahnya seperti orang yang menyelam di lautan kehinaan dan kelemahan, dia akan terus menyelam waktu demi waktu hingga akhirnya sampai pada kematian. Dia tidak ubahnya seperti ulat sutra yang memintal benang di sekelilingnya hingga akhirnya mati tercekik.

Firman Allah SWT, ''Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah sekali-kali syaitan yang pandai menipu memperdayakan kamu tentang Allah (QS Fathir [35]: 5). Terakhir yang menghalangi manusia dari petunjuk adalah setan. Dari sudut pandang Alquran, para setan (iblis dan pengikutnya) adalah entitas nyata yang selalu berusaha menyesatkan dan mendorong manusia ke jurang keburukan.

Firman Allah SWT, ''Iblis menjawab, karena Engkau telah menghukum saya karena tersesat, saya benar-benar akan (menghalangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan belakang, dari kanan dan dari kiri. Dan Engkau tidak mendapati kebanyakan mereka bersyukur.'' (QS Al-A'raf [7]: 16-17).

Iblis merealisasikan cita-citanya lewat hawa nafsu dan keteperdayaan manusia akan kehidupan dunia semata. Maka, siapa yang terlena dengan kehidupan dunia, kita tahu dengan siapa dia akan berkumpul nantinya di akhirat. Naudzu billahi min zalik.

Hikmah Republika Online, 18-04-2007

Friday, April 13, 2007

Shalat Berjama'ah

Oleh : Rahmaji Asmuri

Shalat berjamaah merupakan miniatur sistem kepemimpinan dalam kehidupan bermasyarakat. Di sana terdapat seorang imam sebagai pemimpin dan para makmum sebagai orang yang dipimpin.

Bagaimana kriteria imam? Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Orang yang menjadi imam bagi suatu kaum ialah orang yang paling baik bacaan Alqurannya. Bila sama-sama baik bacaannya, diambil yang paling alim dalam bidang agama. Bila sama-sama alim, dipilih yang paling dahulu hijrahnya. Bila sama-sama terdahulu dalam berhijrah, maka dipilih yang paling tua umurnya.'' (HR Muslim).

Berdasar hadis di atas, setidaknya ada empat kriteria dasar yang dapat kita jadikan acuan dalam menetapkan seorang pemimpin. Pertama, orang yang paling baik bacaan Alqurannya diibaratkan dengan orang yang qualified dan kredibel terhadap apa yang dipimpinnya. Kepemimpinan tak akan berjalan baik manakala dijalankan oleh orang yang tak ahli dan tak mengerti permasalahan yang dipimpinnya.

Kedua, orang yang alim dalam bidang agama, diasumsikan dengan orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas dan tidak terkungkung dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang berwawasan sempit dan picik akan menimbulkan efek menyengsarakan orang yang dipimpin.

Ketiga, orang yang paling dahulu hijrahnya, dianalogikan sebagai orang yang melakukan reformasi. Karena makna hijrah dan makna reformasi sangat mirip, yaitu perubahan radikal dengan tujuan perbaikan dalam masyarakat.

Keempat, Orang yang paling tua usianya, diilustrasikan dengan orang yang berpengalaman. Kepemimpinan belum akan sempurna manakala dipimpin oleh orang yang belum berpengalaman.

Kriteria ini semakin kaya dengan tambahan syarat, bahwa seorang imam dalam shalat berjamaah, tidak boleh berbuat fasik (melakukan dosa besar). Analoginya dalam kepemimpinan masyarakat, seorang pemimpin tidak boleh melakukan hal-hal yang termasuk dalam kategori merugikan masyarakat, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan maksiat lainnya.

Ketika shalat berlangsung dan imam melakukan kesalahan, makmum harus mengingatkan dengan cara yang sudah diatur dalam ketentuan shalat. Artinya, pemimpin harus bersedia diingatkan. Ketika sang imam mengalami uzur (sakit atau -- maaf -- kentut) maka imam harus digantikan oleh orang yang berada persis di belakangnya. Karena itu, makmum yang berdiri persis di belakang imam haruslah seseorang yang juga memiliki kriteria imam.

Begitu pula dalam kepemimpinan, kita jangan hanya melihat orang nomor satunya saja, orang keduanya pun harus memiliki kualitas yang setara.

Hikmah Republika Online, 12-04-2007 (Rabiul Awal 24, 1428H)

Thursday, April 12, 2007

Harta Haram

Oleh : Idris

Allah SWT berfirman, ''Janganlah kalian memakan harta orang lain dengan jalan batil. Dan, jangan pula membawa urusan harta kepada hakim agar kalian dapat memakan harta benda orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengerti.'' (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda, ''Wahai manusia, sesungguhnya akan ada beberapa orang di antara kalian yang mengambil harta Allah dengan cara yang tidak benar. Waspadalah, pada hari kiamat nanti orang-orang seperti itu akan dimasukkan ke dalam neraka.'' (HR Bukhari).

Setiap manusia telah Allah SWT tentukan kadar rezekinya masing-masing. Bahkan, sejak manusia itu belum lahir, ''Sungguh, kalian berada dalam perut rahim ibu kalian selama 40 hari. Setelah itu, ditiupkanlah ruh ke dalamnya. Lantas, Allah menetapkan empat hal untuknya: rezekinya, ajalnya, amalnya, dan nasibnya di dunia --apakah bahagia ataukah sengsara.'' (HR Bukhari-Muslim).

Sebagai makhluk yang telah Allah SWT tentukan kadar rezekinya itu, manusia dilarang memakan atau mengambil harta atau rezeki orang lain secara tidak dibenarkan. Tindakan mencuri, menipu, korupsi, atau lainnya yang sama dengan mengambil rezeki orang lain secara tidak benar, merupakan perbuatan buruk yang dibenci Allah SWT. Perbuatan itu menggambarkan adanya rasa ketidakbersyukuran terhadap rezeki yang telah Allah SWT berikan.

Rasulullah SAW dalam hal ini sangat tegas menyikapi. Beliau pernah menyuruh memotong tangan seorang anak pejabat suku yang terbukti bersalah karena mengambil harta orang lain (mencuri). Anak pejabat suku itu bernama Fathimah Makhzumiyah yang pada hari Fathu Makkah tertangkap basah mencuri. Setelah melihat bukti-bukti yang kuat, Rasulullah SAW memutuskan memotong tangan anak pejabat itu. Hukuman itu pun terealisasi. Tangan anak pejabat itu benar-benar dipotong. (HR Bukhari-Muslim).

Mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar tidak hanya merugikan orang lain secara material, tetapi hakikatnya juga merugikan diri sendiri. Ia akan mendapat hukuman tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Hukuman di akhirat akan ditimpakan jika yang bersangkutan tidak bertobat.

Pintu tobat terus-menerus Allah SWT buka untuk setiap orang yang bersalah dan berbuat dosa. Bentuk tobat orang-orang yang memakan harta bukan haknya adalah dengan jalan mengembalikan apa yang ia ambil itu kepada pemilik asalnya. Bersamaan dengan itu, berkomitmen kepada Allah SWT untuk tidak mengulanginya. Wallahu a'lam.

Hikmah Republika Online, 11-04-2007

Tuesday, April 10, 2007

Munafiq

Oleh : Ahmad Fathan Aniq

Nifaq merupakan salah satu sifat tercela dalam Islam. Orang yang melakukan nifaq disebut munafik. Ciri-ciri orang munafik bisa kita ketahui dari hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW, ''Jika berbicara selalu berdusta, jika berjanji selalu ingkar, dan jika dipercaya selalu berkhianat.'' (HR Bukhori).

Dalam hadis lain Abdullah bin Umar Ra berkata bahwa Nabi SAW bersabda, ''Ada empat dosa sifat yang jika seseorang memperlihatkan semua cirinya, dia sepenuhnya orang munafik. Jika dia punya salah satu ciri, dia dianggap memiliki unsur-unsur seorang munafik. Ciri-ciri itu adalah berkhianat, berdusta, ingkar janji, dan memaki lawan jika ada perbedaan pendapat.'' (HR Bukhori).

Ada dua jenis orang munafik. Pertama adalah orang munafik yang mengaku Muslim, tetapi tidak memiliki keimanan atas dasar Islam. Orang seperti ini bisa menipu orang lain karena dari luar tampaknya seperti seorang Muslim, seperti mempunyai nama berbau Muslim tetapi tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka ini lebih buruk daripada orang kafir dan layak mendapat siksa yang pedih. Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong bagi mereka.'' (QS An Nisaa [4]: 145).

Tipe kedua adalah orang yang dalam hatinya mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan akhlak-akhlak utama dalam Islam. Orang seperti ini tidak digambarkan seperti orang kafir, tetapi sebagai orang fasik. Orang ini bisa masuk surga setelah menerima siksa pedih di akhirat.

Beberapa Tabi'in pernah membicarakan sifat munafik dan keinginan untuk menjauhinya. Ibrahim Tamini (wafat 92 H) yang bersahabat dengan beberapa sahabat Nabi SAW berkata, ''Setiap aku membandingkan ucapanku dengan perbuatanku, aku takut jika aku digolongkan sebagai seorang munafik, karena ada ucapanku yang berbeda dengan perbuatanku.''

Ibnu Abi Mulaikah (wafat 117 H) berkata, ''Aku bertemu dan berteman dengan 30 sahabat besar Nabi SAW yang selalu merasa ketakutan bila digolongkan sebagai munafik. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menyombongkan keimanan dan kesalehannya ataupun membual.''

Dengan demikian, orang yang betul-betul beriman akan selalu takut menjadi seorang munafik karena berbuat sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dikatakan atau diyakininya. Wallahu a'lam.

Hikmah Republika Online, 10-04-2007 (22 Rabiul Awal 1428)

Thursday, March 29, 2007

Sugesti Positif

Oleh : Yusuf Burhanudin

''Wahai orang-orang beriman, jauhilah sering berprasangka, sungguh sebagian prasangka adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan jangan pula sebagian kamu menggunjing yang lain. Apakah kalian suka memakan daging saudara yang sudah mati. Tentulah kalian merasa jijik kepadanya, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.'' (QS Al-Hujurat [49]: 12).

Prasangka baik (husnuzhan ) dalam bahasa psikologi disebut sugesti positif. Prasangka baik perlu dimiliki seseorang jika ingin meraih kesuksesan dan keberhasilan. Sugesti positif selain mencerminkan kesucian hati, juga menjadi doa, harapan, dan optimisme seseorang untuk selalu bangkit dari berbagai kegagalan dan keterpurukan.

Pepatah Arab mengatakan, ''Jika seseorang takut miskin, ia akan miskin. Jika seseorang takut hina, dirinya telah terhina.'' Sebelum kemiskinan dan kehinaan menimpa, keduanya hadir justru di saat kita terlalu mengkhawatirkan terjadi.

Mengutip Syekh Ibnu Atha'illah dalam Kitab Al-Hikam, berbaik sangka itu tidak hanya pada sesama. Tetapi, juga kepada Allah. Inilah ciri orang beriman, yang selalu meyakini setiap cobaan, musibah, dan derita yang menimpa tiada lain peringatan dan ujian dari-Nya. Agar kita lekas sadar dari kealpaan, senantiasa mengikuti perintah-Nya, menjauhi maksiat, serta dalam rangka mengumpulkan pahala.
Tidak ada manfaat berburuk sangka, apalagi kepada Allah. Buruk sangka selalu menyuburkan kebencian, kedengkian, dan permusuhan sehingga membuat kita abai pada misi hidup sesungguhnya di muka bumi.

Su'uzhan (prasangka buruk) adalah gambaran hati yang iri, dengki, dan penuh hasut. Saat berprasangka, seseorang menilai dengan kacamata kekurangan pada orang lain dan penuh keistimewaan memandang dirinya (egoisme). Rasulullah SAW bersabda, ''Jauhilah prasangka, prasangka itu omongan paling dusta.'' (HR Muttafaq Alaih).

Tidak ada yang paling dusta selain prasangka. Praduga didasarkan pada khayalan, ucapan didasarkan imajinasi berlebihan yang dikarang sesuai fantasinya sendiri. Inilah omongan paling dusta, tidak saja tanpa fakta tapi juga kebohongan tingkat tinggi.

Usamah, sahabat Nabi SAW, ditegur karena membunuh musuh yang mengucapkan la ilaha ilallah. Pada pengadilan militer, Usamah membela diri, musuhnya mengucapkan itu karena takut pedang. Rasulullah SAW bersabda, ''Apakah kamu membelah dadanya hingga tahu ia mengucapkan tahlil itu sungguh-sungguh atau tidak?'' (HR Muslim). Demikian Islam menjaga akhlak umatnya.

Sumber : Hikmah Republika Online, 29-03-2007

Berutang

Oleh : Nasher Akbar

''Hati-hati dengan utang, sesungguhnya berutang itu suatu kesedihan pada malam hari dan kerendahan diri (kehinaan) di siang hari.'' (HR Ahmad). Orang yang dibebani utang akan merasa hilang kebebasan yang dimilikinya. Dia akan selalu dibelenggu sebuah tuntutan untuk melunasi utang tersebut, pendapatan hasil kerja akan termakan olehnya, sehingga kita tidak lagi bebas membelanjakannya.

Rasulullah SAW bersabda, ''Janganlah kalian membuat takut jiwa selepas ketenangannya.'' Sahabat bertanya, ''Apa itu wahai Rasulullah?'' Beliau menjawab, ''Utang."

Utang ini pula yang telah membelenggu negeri ini, sehingga kita tidak memiliki kebebasan bertindak. Kebijakan-kebijakan pemerintah seringkali mendapat intervensi dari asing yang tiada lain adalah para pendonor kita. Karena itu, Rasulullah menganjurkan kepada umatnya untuk selalu berdoa meminta perlindungan Allah dari bahaya utang.

Namun dalam segi lain, Islam menganjurkan orang kaya untuk ringan tangan dalam memberikan utang kepada saudaranya yang sangat membutuhkan. Bahkan, Rasulullah mengungkapkan memberikan utang memiliki pahala lebih baik daripada bersedekah. Sebuah hadis Hasan menjelaskan, ''Utang itu pahalanya dua kali lipat daripada pahala sedekah.''

Dalam kisah perjalanan Rasulullah bersama malaikat Jibril pada malam Isra Mi'raj, tertulis di salah satu pintu surga kata-kata, ''Sedekah bersamaan 10 kali ganda dan utang bersamaan 18 kali ganda.''

Lalu baginda Nabi bertanya kepada Jibril, mengapa demikian? Jawab Jibril, ''Sedekah diberikan kepada seseorang, semua atau sebahagiannya. Sementara utang, orang tidak akan meminta berutang kalau tidak karena sebab yang mendesak.'' Hal ini sejalan dengan kehendak Allah seperti yang tercatat di dalam surah al-Maidah ayat 2, ''Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.''

Rasulullah SAW senantiasa mengingatkan kita akan bahaya berutang, karena ia akan mengikat kebebasan para pelakunya. Di samping itu, mereka yang meninggal dengan meninggalkan utang, arwahnya akan terkatung-katung di antara langit dan bumi hingga lunas utangnya.

Di sisi lain, kita dituntut selalu membantu saudara kita yang sangat memerlukan, baik bantuan secara materi maupun moril. wallahu a'lam.

Sumber : Hikmah Republika Online, 28-03-2007

Obat Keluh Kesah

Oleh : KH Yusuf Supendi

Rasulullah SAW bersabda, ''Manusia yang paling jelek adalah yang bersifat amat kikir dan pengecut.'' (HR Ahmad dan Abu Daud). Allah SWT memaparkan dalam QS Al Ma'aarij (70) ayat 19-20 tentang tiga sifat tercela yang sering melekat pada manusia yaitu keluh kesah, frustrasi, dan kikir. Sifat manusia juga cenderung angin-anginan. Allah menyebutnya sebagai orang-orang yang ''berada di tepi''.

''Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (tidak dengan penuh keyakinan), maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang (kembali kafir lagi). Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.'' (QS Al Hajj [22]: 11) Manusia memiliki sifat keluh kesah, risau, dan gundah gulana. Apabila mendapatkan ujian dalam bentuk kejelekan seperti musibah, kesulitan, atau problematika hidup lainnya ia berkeluh kesah dan frustrasi.

Sebaliknya, apabila mendapatkan ujian dalam bentuk kebaikan seperti nikmat kesehatan, harta kekayaan, atau posisi dan kedudukan ia menjadi kikir, lupa daratan, dan tidak mensyukuri nikmat Allah SWT, serta ingkar dengan kekuasaan Allah.

Sifat keluh kesah dan frustrasi ini banyak melekat pada manusia, mulai dari yang miskin papa sampai yang kaya raya, mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua. Seorang ibu yang frustrasi dan gamang akan masa depannya mengakhiri hidupnya sendiri dan anak-anaknya.

Para pegawai dan pejabat banyak yang frustrasi menghadapi akhir masa jabatannya. Mereka khawatir menghadapi kehidupan dengan penuh kesulitan dan tidak mendapatkan penghargaan, serta merasa kurang bermanfaat di masyarakat.

Islam telah memberikan solusi dan antisipasi untuk mengobati penyakit keluh kesah dan frustrasi. Dalam surat Al Ma'aarij (QS 70: 22-34) Allah SWT memberikan tujuh kiat menanggulangi sifat ini. Allah berpesan pada kita untuk tetap mengerjakan shalat (ayat 24-25), mengeluarkan zakat dan mendermakan harta kekayaannya (ayat 24-25), memercayai hari pembalasan (ayat 26), takut terhadap azab Allah SWT (ayat 27-28), memelihara kemaluannya (ayat 29-30), memelihara amanah dan janjinya (ayat 32), serta memberikan kesaksian secara tepat dan benar (ayat 33).

Insya Allah apabila umat Islam dapat melaksanakan konsep dari Allah yang dituangkan dalam Alquran secara baik sesuai dengan aturan syariah dan dilandasi tulus ikhlas akan mendapatkan ketenangan hidup di dunia. Dan di akhirat, ia akan mendapatkan balasan berupa surga dan dimuliakan Allah SWT.

Sumber : Hikmah Republika Online, 27-03-2007

Penangkal Azab

Oleh : Hj Aminah Mochtar

Salah satu penangkal azab adalah istighfar. Dalam Alquran Surah Al-Anfaal ayat 33 Allah berfirman, ''Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka (hamba-Nya), sedang kamu (Nabi Muhammad SAW) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka (hamba-Nya) sedang mereka meminta ampun.''

Pertama Allah menjamin bahwa selama Nabi masih berada di tengah umatnya, tidak akan ada azab. Jaminan kedua adalah azab tidak akan ada kalau hamba-Nya beristighfar.

Untuk jaminan kedua ini Nabi sendiri memberi teladan dengan beristighfar tidak kurang dari seratus kali sehari. Abu Hurairah menyebutkan bahwa Nabi mengumpulkan orang dan bersabda, ''Hai manusia! Bertobatlah kamu kepada Allah karena aku sendiri bertobat dalam satu hari seratus kali.'' Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, ''Sesungguhnya aku sendiri beristighfar kepada Allah seratus kali dalam sehari semalam.''

Istighfar artinya memohon ampun kepada Allah atas segala perbuatan buruk yang salah menurut pandangan agama Allah. Istighfar diucapkan dengan penuh penyesalan yang mendalam dan tidak akan mengulang lagi kesalahan itu. Beristighfar diperintahkan Allah dalam Alquran dan Alhadits karena manusia tidak sunyi dari kesalahan besar ataupun kecil. Allah berfirman dalam Surah Almuzammil ujung ayat 20, ''Dan mohonlah ampunan Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.''

Dalam firman Allah Surah Ali 'Imran ayat 135 disebutkan, ''Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat/sadar lalu mohon ampun kepada Allah atas kesalahan dan dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.''

Nabi Yunus AS memberikan contoh yang nyata dalam kehidupan ini, bahwa istighfar berupa penyesalan dan tidak mengulangi kesalahan itu ternyata dapat mengatasi cobaan dan menangkal azab. Cobaan pada Nabi Yunus itu terjadi tatkala beliau ditelan paus lantaran berbuat salah dengan meninggalkan tugasnya. Beliau dibebaskan Allah setelah berdoa dan beristighfar dalam gelapnya perut ikan, gelapnya laut, dan gelapnya malam hari.

Nabi Yunus mengatasi cobaan dan menangkal azab dengan berdoa dan beristighfar yang disertai penyesalan yang mendalam, yang segera dikabulkan Allah, sebagaimana tertera dalam surat Al-Anbiya. ''Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang orang yang beriman.'' (QS Al-Anbiya [21]: 88). Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.

Sumber : Hikmah Republika Online, 26-03-2007

Manusia Bangkrut

Oleh : Gemilang MH

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bertanya, ''Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?'' Mereka (para sahabat) menjawab, ''Orang yang tidak mempunyai uang dan harta.''

Rasulullah SAW menerangkan, ''Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa, dan zakatnya, namun dia dahulu di dunianya telah mencela si ini, menuduh (berzina) si itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah si itu, dan telah memukul orang lain (dengan tidak hak), maka si ini diberikan kepadanya kebaikan orang yang membawa banyak pahala ini, dan si itu diberikan sedemikian juga, maka apabila kebaikannya sudah habis sebelum dia melunasi segala dosanya (kepada orang lain), maka kesalahan orang yang dizalimi di dunia itu dibebankan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke api neraka.'' (HR Muslim).

Di dunia ini, mungkin banyak orang yang merasa kuat dapat membebaskan diri mereka dari jeratan hukum akibat perbuatan zalim mereka terhadap orang lain. Mungkin dia pernah berutang dan tidak pernah membayar, atau membunuh tanpa alasan yang dibenarkan Allah, atau bahkan mencaci maki orang lain, baik secara disengaja atau tidak.

Saat itu, dia tidak menyadari bahwa hukum dan keadilan Allah akan ditegakkan di hari kiamat kelak. Pada saat itu tidak seorang pun yang dapat membebaskan diri dari kesalahannya selama di dunia, yang dia tak pernah bertobat dan menyesalinya.

Dalam mahkamah Allah, hukum akan ditegakkan seadil-adilnya. Kesalahan dan kebaikan sebesar biji bayam pun, tak akan luput dari perhitungan-Nya. Orang yang menzalimi saudaranya di dunia, sedangkan dia belum bertaubat dari kezaliman tersebut dengan meminta maaf atau mengembalikan haknya, maka dia harus membayarnya dengan kebaikannya.

Karenanya, Rasulullah SAW berwasiat kepada umatnya dengan sabdanya, ''Barangsiapa yang melakukan perbuatan zalim terhadap saudaranya, maka hendaklah ia meminta dimaafkan sekarang sebelum datang hari yang tidak berlaku pada saat itu emas atau perak. Sebelum diambil darinya kebaikannya untuk membayar kezalimannya terhadap saudaranya, dan jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka dibebankan kepadanya keburukan saudaranya itu kepadanya.'' (HR Bukhari).

Karena itu, mari kita membebaskan diri dari menzalimi orang lain, penuhilah setiap yang mempunyai hak akan haknya, dan jangan menunggu hari esok karena tidak seorang pun yang mengetahui akan keberadaannya di esok hari.

Sumber : Hikmah Republika Online, 24-03-2007

Wednesday, March 14, 2007

Lima Wasiat Abu Bakar

Oleh : Nur Iskandar

Sahabat Rasul SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, berkata, ''Kegelapan itu ada lima dan pelitanya pun ada lima. Jika tidak waspada, lima kegelapan itu akan menyesatkan dan memerosokkan kita ke dalam panasnya api neraka. Tetapi, barangsiapa teguh memegang lima pelita itu maka ia akan selamat di dunia dan akhirat.''

Kegelapan pertama adalah cinta dunia (hubb al-dunya). Rasulullah bersabda, ''Cinta dunia adalah biang segala kesalahan.'' (HR Baihaqi). Manusia yang berorientasi duniawi, ia akan melegalkan segala cara untuk meraih keinginannya. Untuk memeranginya, Abu Bakar memberikan pelita berupa takwa. Dengan takwa, manusia lebih terarah secara positif menuju jalan Allah, yakni jalan kebenaran.

Kedua, berbuat dosa. Kegelapan ini akan tercerahkan oleh taubat nashuha (tobat yang sungguh-sungguh). Rasulullah bersabda, ''Sesungguhnya bila seorang hamba melakukan dosa satu kali, di dalam hatinya timbul satu titik noda. Apabila ia berhenti dari berbuat dosa dan memohon ampun serta bertobat, maka bersihlah hatinya. Jika ia kembali berbuat dosa, bertambah hitamlah titik nodanya itu sampai memenuhi hatinya.'' (HR Ahmad). Inilah al-roon (penutup hati) sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Muthaffifin (83) ayat 14.

Ketiga, kegelapan kubur akan benderang dengan adanya siraj (lampu penerang) berupa bacaan laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah. Sabda Nabi SAW, ''Barangsiapa membaca dengan ikhlas kalimat laa ilaaha illallah, ia akan masuk surga.'' Para sahabat bertanya, ''Wahai Rasulallah, apa wujud keikhlasannya?'' Beliau menjawab, ''Kalimat tersebut dapat mencegah dari segala sesuatu yang diharamkan Allah kepada kalian.''

Keempat, alam akhirat sangatlah gelap. Untuk meneranginya, manusia harus memperbanyak amal shaleh. QS Al-Bayyinah (98) ayat 7-8 menyebutkan, orang yang beramal shaleh adalah sebaik-baik makhluk, dan balasan bagi mereka adalah surga 'Adn. Mereka kekal di dalamnya.

Kegelapan kelima adalah shirath (jembatan penyeberangan di atas neraka) dan yaqin adalah penerangnya. Yaitu, meyakini dan membenarkan dengan sepenuh hati segala hal yang gaib, termasuk kehidupan setelah mati (eskatologis). Dengan keyakinan itu, kita akan lebih aktif mempersiapkan bekal sebanyak mungkin menuju alam abadi (akhirat). Demikian lima wasiat Abu Bakar. Semoga kita termasuk pemegang kuat lima pelita itu, sehingga menyibak kegelapan dan mengantarkan kita ke kebahagiaan abadi di surga. Amin.

Sumber : Hikmah Republika Online, 13-03-2007 (Safar 23, 1428 H)

Wednesday, March 07, 2007

Toleransi Shalahudin

Oleh : Muhammad Zaidun Khadliri

Pada suatu hari, Shalahudin al-Ayubi sedang duduk di dalam perkemahan. Di saat dia sedang serius memberikan wejangan, tiba-tiba ada seorang perempuan kafir berdiri di depan perkemahannya. Perempuan berwajah muram ini berteriak dengan suara yang memekakkan telinga, sehingga suasana menjadi gaduh.

Melihat kejadian tersebut, para prajurit segera bertindak menjauhkan perempuan itu dari perkemahan. Namun, Shalahudin mencegah dan memerintahkan para prajurit agar membawa masuk perempuan itu. Begitu perempuan itu menghadap, pimpinan umat yang berhasil merebut kembali Jerusalem dari penguasaan Tentara Salib ini segera menanyakan hal yang menyebabkan perempuan itu bersedih. Ia menjawab, ''Anakku diculik dan suamiku disandera sebagai tawanan perang. Padahal, suamikulah yang memberikan nafkah buatku.''

Pernyataan perempuan tersebut membuat Shalahudin terharu. Seketika itu juga dia memerintahkan para prajurit agar segera melepaskan suami perempuan itu. Dia juga memerintahkan para prajurit, agar mencari anak yang hilang diculik.

Mendapatkan perintah tersebut, secepat kilat para prajurit melaksanakannya. Sampai akhirnya berhasil mendapatkan anak yang diculik itu. Dan dengan segera pula, si anak diserahkan kepada ibunya. Betapa bahagianya perempuan itu mendapatkan suami dan anaknya kembali ke pangkuannya.

Perempuan tersebut sangat berterima kasih serta memuji Shalahudin. Mendengar pernyataan dari perempuan itu, Shalahudin berkata, ''Kami tidak melakukan sesuatu apa pun, kecuali apa yang telah diperitahkan oleh agama kami.''

Mendengar ungkapan Shalahudin, perempuan itu lantas bertanya, ''Apakah agama tuan memerintahkan kasih sayang terhadap para musuh, serta membantu orang-orang yang lemah?'' ''Benar bunda,'' jawab Shalahudin. ''Islam adalah agama Allah di dunia ini. Agama-Nyalah yang senantiasa memberikan rahmat serta menjadi penyelamat bagi seluruh umat.''

Mendapat jawaban ini, perempuan itu tergugah benaknya. Ia pun bersyahadat bersama suaminya. ''Saya mencintai agama yang senantiasa bertoleransi dan mulia itu, seperti yang tecermin dari sifat-sifat dan akhlak tuan.''

Begitulah dakwah yang diajarkan Shalahudin. Ia menunjukkan dua hal sekaligus, Islam adalah agama yang santun dan mengajarkan toleransi. Dialah pemimpin Islam yang disebut dengan nada hormat, bahkan di kalangan pembesar Tentara Salib. Shalahudin menunjukkan, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Islam membawa perasaan nyaman terhadap pemeluknya, juga membuat orang lain simpati.

Sumber : Hikmah Republika Online, 07-03-2007 [Safar 17, 1428]

Tuesday, March 06, 2007

Doa Pembuka Jalan

Oleh : Sholehan Latundo

Jika kita renungkan lebih mendalam, tujuan paling penting amalan keagamaan adalah untuk mendidik agar kita memiliki penghayatan dan menanamkan kesadaran Ketuhanan (rabbaniyah) yang sedalam-dalamnya. Salah satu usaha dalam proses menumbuhkan semua itu adalah berdoa.

Makna doa secara bahasa (etimologis) adalah menyeru atau mengajak. Karena itu, doa sesungguhnya lebih daripada sekedar memohon atau meminta sesuatu. Tetapi berdoa adalah untuk menyeru Allah, membuka komunikasi dengan Sang Maha Pencipta, dan memelihara kebersamaan dengan Tuhan. Berdoa adalah untuk totalitas menyerahkan diri kepada Allah, asal serta tujuan hidup manusia dan seluruh alam.

Jadi berdoa sangat berhubungan dengan keinsyafan, penghayatan menyeluruh akan makna dan tujuan hidup. Doa adalah otak ibadah dan merupakan senjata orang mukmin. Karena doa merupakan titik sentral pertumbuhan kesadaran Ketuhanan.

Setiap agama mempunyai ritual doanya sendiri-sendiri dan ungkapan-ungkapan doa dalam semua agama adalah mirip, yakni memuji Tuhan, memohon rahmat dan ampunan, menyatakan kesetiaan dan ketundukan, meminta kedamaian, serta memohon perlindungan dan kasih sayang Tuhan. Dalam berdoa, kita bukan mencari keuntungan praktis tetapi keuntungan spiritual; penemuan pengalaman dan kesadaran Ketuhanan diri kita.

Doa merupakan salah satu ibadah terbaik yang bila dilalui, seorang dapat mencapai kesempurnaan diri dan kedekatan kepada Tuhan. Doa hendaknya memiliki dua 'sayap' yang harus dipelihara. Dua sayap tersebut adalah raja' (harap) dan khauf (cemas).

Dengan penuh harap, artinya seseorang senantiasa optimistis dalam menjalani kehidupan ini dan selalu berserah diri kepada Tuhan. Dengan perasaan cemas, dia akan berusaha sekuat tenaga memperbaiki serta menyempurnakan totalitas ketaatan dan ketundukan kita pada Tuhan. Kita harus bertafakur dan mengetahui harus menjadi seperti apakah agar meraih keuntungan spiritual.

Selain itu, doa sebaiknya hanya ditujukan pada Allah secara langsung, tanpa perantara. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, ''Siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan serta yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingatnya.'' (QS An Naml [27]: 62).

Mengapa kita terlalu sombong untuk tidak berdoa dan memohon pada Sang Khalik? Padahal Dia sangat menyukai orang-orang yang berdoa dan akan mengabulkan setiap doa yang dipanjatkan hamba-hambanya yang bertakwa. Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 06-03-2007 [Safar 16, 1428]

Manfaat Wudhu

Oleh : M Mahbubi Ali

''Sungguh ummat-Ku akan diseru pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya karena bekas wudhunya.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Selain memiliki banyak keutamaan, wudhu ternyata sangat bermanfaat terhadap kesehatan. Dr Ahmad Syauqy Ibrahim, peneliti bidang penderita penyakit dalam dan penyakit jantung di London mengatakan, ''Para Pakar sampai pada kesimpulan mencelupkan anggota tubuh ke dalam air akan mengembalikan tubuh yang lemah menjadi kuat, mengurangi kekejangan pada syaraf dan otot, menormalkan detak jantung, kecemasan, dan insomnia (susah tidur).''

Dalam buku Al-I'jaaz Al-Ilmiy fii Al-Islam wa Al-Sunnah Al-Nabawiyah dijelaskan, ilmu kontemporer menetapkan setelah melalui eksperimen panjang, ternyata orang yang selalu berwudhu mayoritas hidung mereka lebih bersih, tidak terdapat berbagai mikroba.

Rongga hidung bisa mengantarkan berbagai penyakit. Dari hidung, kuman masuk ke tenggorokan dan terjadilah berbagai radang dan penyakit. Apalagi jika sampai masuk ke dalam aliran darah. Barangkali inilah hikmah dianjurkannya istinsyaaq (memasukkan air ke dalam hidung) sebanyak tiga kali kemudian menyemburkannya setiap kali wudhu.

Ada pun berkumur-kumur dimaksudkan untuk menjaga kebersihan mulut dan kerongkongan dari peradangan dan pembusukan pada gusi. Berkumur menjaga gigi dari sisa-sisa makanan yang menempel. Sementara membasuh wajah dan kedua tangan sampai siku, serta kedua kaki memberi manfaat menghilangkan debu-debu dan berbagai bakteri. Apalagi dengan membersihkan badan dari keringat dan kotoran lainnya yang keluar melalui kulit. Dan juga, sudah terbukti secara ilmiah penyakit tidak akan menyerang kulit manusia kecuali apabila kadar kebersihan kulitnya rendah.

Dari segi rohani, wudhu menggugurkan 'daki-daki' yang menutupi pahala. Bersama air wudhu, dosa-dosa kita dibersihkan, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ''Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, tatkala ia membasuh wajahnya keluarlah dari wajahnya seluruh dosa yang dilakukan matanya bersamaan dengan air itu atau dengan tetesan terakhirnya.

Apabila dia membasuh dua tangannya maka akan keluar seluruh dosa yang dilakukan tangannya bersamaan dengan air itu atau tetesan air yang terakhir. Apabila dia membasuh dua kakinya maka keluarlah seluruh dosa yang telah dilangkahkan oleh kakinya bersama air atau tetesannya yang terakhir sehingga dia selesai wudhu dalam keadaan bersih dari dosa-dosa.'' (HR Muslim) Maka, berbahagialah orang-orang yang selalu menjaga wudhunya dan menjaga hatinya tetap suci.

Sumber : Hikmah Republika Online, 05-03-2007 [Safar 15, 1428]

Tuesday, February 27, 2007

Mencegah Kemaksiatan

Oleh : Ihsan M Rusli

Kekuatan hati dalam diri seseorang yang mencegah dan melarangnya untuk berbuat segala bentuk kesalahan dan kemaksiatan disebut 'ismah. Para nabi dan rasul mempunyai keberpihakan kepada kebenaran yang sangat kuat sehingga mereka jarang berbuat maksiat.

Namun, sebagai manusia, mereka tidak terbebas dari kekhilafan. Nabi Adam, misalnya, tergoda bujuk rayu iblis untuk mencicipi buah khuldi atau Nabi Yunus yang tercela karena lari meninggalkan kaumnya seperti diinformasikan oleh Allah SWT dalam surah Assaffaat ayat 142: ''Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela.''

Mencegah kemaksiatan bisa diasah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berusaha sungguh-sungguh untuk selalu melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Manusia dikaruniai oleh Allah akal budi dan hati nurani. Kecenderungan setiap orang atau fitrah seseorang adalah berpihak kepada hati nurani karena hati nurani akan memberikan tanda yang selalu berkiblat pada kebenaran. Ini adalah fitrah yang dimiliki oleh setiap insan ciptaan Allah. Jadi, sejatinya setiap manusia mempunyai kecenderungan kepada kebenaran yang diwakili oleh hati nurani.

Persoalannya sekarang adalah seberapa kuat komitmen seseorang untuk jujur dan berpihak kepada hati nuraninya, sehingga apa yang dilakukannya selalu yang diridhai oleh Allah SWT? Di sinilah perlunya tuntunan agama dalam kehidupan seseorang.

Salah dan khilaf adalah ciri manusia ciptaan Allah. Hanya Allah yang Mahasempurna. Oleh sebab itu, ampunan dan kasih sayang Allah melebihi salah dan khilaf yang diperbuat manusia.

Kecenderungan untuk selalu berjalan di atas rel yang telah Allah tentukan harus secara terus-menerus dipelihara, dikokohkan, dan diimplementasikan dalam segala jenis aktivitas walau tanpa disadari kesalahan-kesalahan kecil sering terjadi.

Sesaat saja manusia tidak ingat akan Allah, itu sudah kekhilafan, apalagi sampai melakukan perbuatan yang bertentangan dengan fitrah dan hati nuraninya. ''Yaitu, orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas Ampunan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang keadaanmu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.'' (QS An-Najm [53]: 32). Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 27-02-2007

Wednesday, February 21, 2007

Menghindari Tajassus

''.... Janganlah kalian mencari kesalahan-kesalahan orang lain ...'' (QS Al-Hujurat [49]: 12).
At-tajassus dikenal dalam bahasa keseharian kita dengan memata-matai atau mencari-cari kekurangan orang lain. Perilaku memata-matai kekurangan orang lain, apalagi untuk disebarluaskan, adalah perilaku yang sangat tidak terpuji. Ia senantiasa sibuk melihat kekurangan dan kesalahan orang lain sedangkan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri terlupakan.

Perbuatan mencari kejelekan dan kekurangan orang lain untuk disebarluaskan adalah perbuatan yang dimurkai Allah SWT. Pelakunya sudah dipastikan hatinya akan lebih jauh dari Allah SWT dibanding dengan hati orang yang dicemarkannya itu.

Larangan Islam terhadap pergunjingan dan perilaku memata-matai kekurangan orang lain, mengandung tujuan menjaga kepribadian setiap Muslim. Saling mengingatkan dan menutupi kekurangan yang ada pada diri orang lain lebih utama, karena akan menciptakan kenyamanan dan ketenteraman dalam bermasyarakat.

Perilaku mengungkapkan rasa tidak senangnya terhadap orang lain, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan atau menceritakan cacat kekurangan orang lain, adalah sikap orang yang rendah pekertinya. Perbuatan ini juga bisa mengarah pada sikap adu domba dan mengoyak ukhuwah di antara umat. Maka, tak berlebihan jika Allah mengganjar si pelaku dengan neraka Jahanam bila dia tidak segera bertobat dan meninggalkan kebiasaannya itu.

Bagaimana jika seseorang bekerja di lembaga yang khusus menyiarkan atau membongkar aib atau memberitakan sesuatu yang tidak benar? Tentu dia sendiri yang bisa menilai dan menentukan sikap terbaik. Rasulullah bersabda, ''Barang siapa yang menjelek-jelekkan seorang Muslim untuk memperoleh makanan, Allah akan memberinya makanan dari neraka Jahanam.'' (HR Abu Dawud)

Ajaran Islam sangat mengatur hal-hal seperti ini. Seseorang yang senang menggunjing orang lain, diibaratkan Alquran sebagai orang yang makan bangkai saudaranya. Seseorang yang menjaga aib saudaranya, kata sebuah hadis, maka aibnya akan dijaga oleh Allah.

Seorang Muslim hendaknya senantiasa menjernihkan hati dan melegakan dada dari rasa kebencian antarsesama, dengan cara mengharapkan kebaikan bagi orang lain. Kendati mengetahui kekurangan yang ada pada diri orang lain, langkah terbaik kita adalah mengingatkan dan tidak menyebarluaskannya. Saling mengingatkan dan saling mengajak kepada kebenaran. Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa mengetahui keburukan saudaranya, kemudian ia menutupinya, pada hari kiamat Allah akan menutupi dosanya.'' (HR Thabrani) Wallahu a'lam.

Sumber : Hikmah Republika Online, 21-02-2007 (3 Syafar 1428 H)

Monday, February 19, 2007

Jangan Salahkan Hujan

Oleh : KH Yusuf Supendi

Allah SWT berfirman, ''Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.'' (QS Al Mu'minun [23]:18) Allah SWT memberikan nikmat kepada hamba-Nya dengan beranekaragam nikmat yang sulit dihitung dan dikalkulasikan.

Di antara nikmat-Nya adalah menurunkan air hujan sesuai dengan kebutuhan manusia yang cukup dan memadai untuk mengairi pertanian, kebutuhan minum, dan kebutuhan lainnya. Allah SWT menetapkan dan melestarikan air hujan melalui sungai-sungai, mata air, sawah, rawa, setu, gunung, bukit-bukit, dan air diserapkan ke daratan dan perut bumi serta menetap di bumi sebagai cadangan bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya.

Allah SWT menurunkan air hujan sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Tidak terlalu banyak yang berakibat banjir, dan tidak terlalu kurang yang berakibat kekeringan. Namun Allah SWT jualah yang berkuasa untuk menentukan lain -- menghilangkan dan menyetop air hujan sehingga terjadi kemarau panjang atau mencurahkan hujan lebat terus-menerus sehingga terjadi banjir.

Allah SWT sangatlah berkuasa dan punya wewenang penuh menentukan sesuatu sesuai kehendak-Nya, terutama bila manusia kurang bersyukur dan kufur nikmat. ''Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, lalu mengapa kamu tidak bersyukur.'' (QS Al Waaqi'ah [56]: 68-70).

Nah, ketika terjadi banjir, yang jadi pertanyaa, salahkah hujan? Pada dasarnya, banjir dapat diantisipasi bila Pemerintah Pusat dan Pemda punya program jelas serta masyarakat memiliki kesadaran dan peduli lingkungan. Firman Allah menyiratkan, ''Air hujan mestinya diserapkan ke bumi.'' Namun yang terjadi, kantong-kantong penyangga seperti sawah, setu, dan rawa banyak yang hilang serta berubah menjadi perumahan dan perkantoran megah.

Di hulu, pembalakan dan penggundulan hutan merupakan sumber utama datangnya banjir di berbagai wilayah Indonesia. Curah hujan dengan intensitas tinggi, rendahnya kemampuan tanah menyerap air berakibat rentannya terjadi banjir dan longsor. Salahkah hujan?

Petunjuk Allah dalam Alquran sudah ada. Undang-undang sudah dibuat. Saatnya bagi penyelenggara negara dan rakyat tidak berlaku sebagai 'pemadam kebakaran' semata, tapi mengutamakan langkah antisipasi dan prefentif. Belum terlambat untuk memulai.

Sumber : Hikmah Republika Online, 19-02-2007 (1 Syafar 1428 H)

Kompensasi Tobat

Oleh : Afifah Findzi Rohmah

''Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sesungguhnya.'' (QS At-Tahriim [66]: 8). Tiada manusia yang luput dari salah dan dosa. Yang membedakan antara satu dan yang lainnya adalah soal tobat. Ada manusia yang merasa nyaman dengan salah dan dosanya. Sedangkan segolongan manusia yang lain menyadari, mengakui, menyesali, dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahannya itu.

Imam Bukhari dan Muslim menukilkan sebuah riwayat, bahwa Allah lebih senang kepada hamba-Nya saat ia bertobat kepada-Nya daripada orang yang menemukan kembali untanya yang hilang di tengah padang pasir. Apa artinya? Kegembiraan manusia atas nikmat yang diperolehnya tidak lebih berharga dari laku tobat yang dipraktikkan dengan tulus dan ikhlas. Para ulama mengatakan tobat atas segala dosa itu hukumnya wajib. Dosa yang berkaitan dengan Allah mempunyai tiga persyaratan. Satu, meninggalkan maksiat (dosa). Kedua, menyesali perbuatannya. Ketiga, ber-azam (bertekad kuat) untuk tidak melakukan perbuatan maksiat tersebut selama-lamanya.

Sedangkan dosa (maksiat) yang berhubungan dengan sesama manusia mempunyai satu syarat lagi, yakni keharusan memberikan hak kepada pemiliknya. Jika hak tersebut berkaitan dengan harta, ia harus mengembalikan harta tersebut kepada si empunya.

Jika begitu, syarat bertobat dari kesalahan kepada alam harus ditebus dengan mengembalikan hak-hak alam. Bila tidak, jangan salahkan alam bila ia murka dan menimbulkan bencana bagi manusia. Dosa terhadap alam seperti pembalakan liar dan eksplorasi tambang yang tak terkendali harus dihentikan. Sebagai bentuk tobat berikutnya, langkah-langkah tegas dan sistematis perlu segera diambil untuk memenuhi hak-hak alam, yakni hak untuk mendapatkan perawatan dan pemeliharaan dari manusia sebagai khalifah Allah di bumi.

Kesalahan kepada sesama manusia juga harus dikompensasikan dengan membayar hak kepada manusia yang terlanggar haknya tersebut. Kompensasi bagi para penumpang pesawat atau kapal yang mengalami kecelakaan tidak cukup dengan menyantuni keluarganya, tapi juga dengan memperbaiki sistem dan pelayanan yang berorientasi pada keselamatan, bukan pada uang. Jika hak-hak itu telah ditunaikan, niscaya tobat akan berbuah menjadi perbaikan dan amal saleh yang disenangi dan diridhai Allah SWT. Wallahu a'lam bish-shawab

Sumber :Hikmah Republika Online, 17-02-2007 (29 Muharram 1428)

Friday, February 16, 2007

Memaksimalkan Akal

Oleh : Syarif Hade Masyah

Ada dua makna akal. Pertama, akal berarti pemahaman terhadap makna yang dikehendaki. Ia berfungsi menjelaskan semua urusan, baik berkenaan dengan masalah dunia maupun agama. Kedua, akal berarti pandangan mata batin dan pengetahuan terhadap mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan baik di dunia maupun di akhirat.

Setiap manusia yang mendapat perintah dan larangan dari Allah melalui para nabi dan kitab suci, berkewajiban menggunakan akalnya. Firman Allah SWT tentang kaum Tsamud berikut juga patut diperhatikan, ''Kaum Tsamud telah Kami beri petunjuk.'' (QS Fushshilat [41]: 17). Maksudnya, Allah telah menjelaskan kepada mereka sesuatu yang dapat mereka pahami dengan akal mereka. ''Tetapi, mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu.''

Orang yang berakal sehat pasti bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan akal itu, ia memikirkan semua urusan dunia, dari yang besar sampai yang kecil. Khalid ibn Shafwan berkata, ''Bila ada seseorang yang tidak bisa menjelaskan apa-apa, ia tidak ada bedanya dengan binatang ternak atau ia hanya berganti rupa.''

Sayangnya, kebanyakan orang kurang menggunakan akalnya untuk memahami urusan akhirat. Urusan dunialah yang menjadi kecenderungan umum dalam memorinya. Allah SWT berfirman, ''Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka pun mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).'' (QS al-A'raf [7]: 179).

Banyak orang tersiksa secara tidak sadar dalam posisi ini, karena mereka sebetulnya berakal kalau saja mereka mau merenungkan semua ayat dan bukti yang menunjukkan bahwa Allah itu satu dan tidak ada sekutu bagi-Nya, yang mereka lihat dan dengar sebagai bukti keberadaan Allah. Tak heran bila kita mendapati Alquran selalu mengajak kita untuk memfungsikan akal.

Allah SWT berfirman, ''Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Langit bagaimana ia ditinggikan? Gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Bumi bagaimana ia dihamparkan?'' (QS Al-Ghasyiyah [88]: 17-20). Unta, langit, gunung, dan bumi disebutkan di ayat ini agar kita mau berpikir tentang ciptaan Allah dan memperhatikan lembaran alam semesta. Untuk kemudian, proses berpikir kita itu mengantarkan kita untuk memikirkan siapa yang telah menciptakan semua itu. Tidak heran bila berpikir kemudian bernilai ibadah. Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 16-02-2007 (28 Muharram 1428 H)