Friday, April 20, 2007

Penghalang Hidayah

Oleh : Sholehan Latundo

Menurut Alquran, ada tiga faktor umum penyebab ketergelinciran manusia pada keburukan. Tiga hal inilah yang menghalangi manusia mendapatkan hidayah atau keuntungan spiritual.

Pertama adalah hawa nafsu (nafsu amarah). Menuruti semua keinginan dan memenuhinya tanpa pertimbangan akal dan tidak memperhitungkan dampak serta pengaruhnya terhadap kebahagiaan dan kesengsaraan manusia. Menuruti insting seperti itu berarti menuruti kecenderungan hewani (bahimiyah).

Pertarungan melawan gejolak hawa nafsu adalah perjuangan besar. Pertarungan ini secara terus-menerus berlangsung di dalam diri kita. Dan, seringkali nafsu amarah ini mampu menundukkan dan mengendalikan manusia. Mawlawi dalam sebuah syairnya mengisyaratkan, ''Nafsu tidak ubahnya ular, dia baru diam, tatkala telah penuh kesedihan.''

Kedua, adalah dunia. Sikap dan pandangan keliru manusia terhadap dunia merupakan salah satu faktor penyimpangan manusia. Menjadikan dunia sebagai tujuan akhir, seraya melalaikan kebahagiaan abadi dan kehidupan akhirat.

Dunia menipu dan menyibukkan manusia. Jika manusia tenggelam di dalam dunia, maka dia tidak ubahnya seperti orang yang menyelam di lautan kehinaan dan kelemahan, dia akan terus menyelam waktu demi waktu hingga akhirnya sampai pada kematian. Dia tidak ubahnya seperti ulat sutra yang memintal benang di sekelilingnya hingga akhirnya mati tercekik.

Firman Allah SWT, ''Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah sekali-kali syaitan yang pandai menipu memperdayakan kamu tentang Allah (QS Fathir [35]: 5). Terakhir yang menghalangi manusia dari petunjuk adalah setan. Dari sudut pandang Alquran, para setan (iblis dan pengikutnya) adalah entitas nyata yang selalu berusaha menyesatkan dan mendorong manusia ke jurang keburukan.

Firman Allah SWT, ''Iblis menjawab, karena Engkau telah menghukum saya karena tersesat, saya benar-benar akan (menghalangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan belakang, dari kanan dan dari kiri. Dan Engkau tidak mendapati kebanyakan mereka bersyukur.'' (QS Al-A'raf [7]: 16-17).

Iblis merealisasikan cita-citanya lewat hawa nafsu dan keteperdayaan manusia akan kehidupan dunia semata. Maka, siapa yang terlena dengan kehidupan dunia, kita tahu dengan siapa dia akan berkumpul nantinya di akhirat. Naudzu billahi min zalik.

Hikmah Republika Online, 18-04-2007

Friday, April 13, 2007

Shalat Berjama'ah

Oleh : Rahmaji Asmuri

Shalat berjamaah merupakan miniatur sistem kepemimpinan dalam kehidupan bermasyarakat. Di sana terdapat seorang imam sebagai pemimpin dan para makmum sebagai orang yang dipimpin.

Bagaimana kriteria imam? Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Orang yang menjadi imam bagi suatu kaum ialah orang yang paling baik bacaan Alqurannya. Bila sama-sama baik bacaannya, diambil yang paling alim dalam bidang agama. Bila sama-sama alim, dipilih yang paling dahulu hijrahnya. Bila sama-sama terdahulu dalam berhijrah, maka dipilih yang paling tua umurnya.'' (HR Muslim).

Berdasar hadis di atas, setidaknya ada empat kriteria dasar yang dapat kita jadikan acuan dalam menetapkan seorang pemimpin. Pertama, orang yang paling baik bacaan Alqurannya diibaratkan dengan orang yang qualified dan kredibel terhadap apa yang dipimpinnya. Kepemimpinan tak akan berjalan baik manakala dijalankan oleh orang yang tak ahli dan tak mengerti permasalahan yang dipimpinnya.

Kedua, orang yang alim dalam bidang agama, diasumsikan dengan orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas dan tidak terkungkung dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang berwawasan sempit dan picik akan menimbulkan efek menyengsarakan orang yang dipimpin.

Ketiga, orang yang paling dahulu hijrahnya, dianalogikan sebagai orang yang melakukan reformasi. Karena makna hijrah dan makna reformasi sangat mirip, yaitu perubahan radikal dengan tujuan perbaikan dalam masyarakat.

Keempat, Orang yang paling tua usianya, diilustrasikan dengan orang yang berpengalaman. Kepemimpinan belum akan sempurna manakala dipimpin oleh orang yang belum berpengalaman.

Kriteria ini semakin kaya dengan tambahan syarat, bahwa seorang imam dalam shalat berjamaah, tidak boleh berbuat fasik (melakukan dosa besar). Analoginya dalam kepemimpinan masyarakat, seorang pemimpin tidak boleh melakukan hal-hal yang termasuk dalam kategori merugikan masyarakat, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan maksiat lainnya.

Ketika shalat berlangsung dan imam melakukan kesalahan, makmum harus mengingatkan dengan cara yang sudah diatur dalam ketentuan shalat. Artinya, pemimpin harus bersedia diingatkan. Ketika sang imam mengalami uzur (sakit atau -- maaf -- kentut) maka imam harus digantikan oleh orang yang berada persis di belakangnya. Karena itu, makmum yang berdiri persis di belakang imam haruslah seseorang yang juga memiliki kriteria imam.

Begitu pula dalam kepemimpinan, kita jangan hanya melihat orang nomor satunya saja, orang keduanya pun harus memiliki kualitas yang setara.

Hikmah Republika Online, 12-04-2007 (Rabiul Awal 24, 1428H)

Thursday, April 12, 2007

Harta Haram

Oleh : Idris

Allah SWT berfirman, ''Janganlah kalian memakan harta orang lain dengan jalan batil. Dan, jangan pula membawa urusan harta kepada hakim agar kalian dapat memakan harta benda orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengerti.'' (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda, ''Wahai manusia, sesungguhnya akan ada beberapa orang di antara kalian yang mengambil harta Allah dengan cara yang tidak benar. Waspadalah, pada hari kiamat nanti orang-orang seperti itu akan dimasukkan ke dalam neraka.'' (HR Bukhari).

Setiap manusia telah Allah SWT tentukan kadar rezekinya masing-masing. Bahkan, sejak manusia itu belum lahir, ''Sungguh, kalian berada dalam perut rahim ibu kalian selama 40 hari. Setelah itu, ditiupkanlah ruh ke dalamnya. Lantas, Allah menetapkan empat hal untuknya: rezekinya, ajalnya, amalnya, dan nasibnya di dunia --apakah bahagia ataukah sengsara.'' (HR Bukhari-Muslim).

Sebagai makhluk yang telah Allah SWT tentukan kadar rezekinya itu, manusia dilarang memakan atau mengambil harta atau rezeki orang lain secara tidak dibenarkan. Tindakan mencuri, menipu, korupsi, atau lainnya yang sama dengan mengambil rezeki orang lain secara tidak benar, merupakan perbuatan buruk yang dibenci Allah SWT. Perbuatan itu menggambarkan adanya rasa ketidakbersyukuran terhadap rezeki yang telah Allah SWT berikan.

Rasulullah SAW dalam hal ini sangat tegas menyikapi. Beliau pernah menyuruh memotong tangan seorang anak pejabat suku yang terbukti bersalah karena mengambil harta orang lain (mencuri). Anak pejabat suku itu bernama Fathimah Makhzumiyah yang pada hari Fathu Makkah tertangkap basah mencuri. Setelah melihat bukti-bukti yang kuat, Rasulullah SAW memutuskan memotong tangan anak pejabat itu. Hukuman itu pun terealisasi. Tangan anak pejabat itu benar-benar dipotong. (HR Bukhari-Muslim).

Mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar tidak hanya merugikan orang lain secara material, tetapi hakikatnya juga merugikan diri sendiri. Ia akan mendapat hukuman tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Hukuman di akhirat akan ditimpakan jika yang bersangkutan tidak bertobat.

Pintu tobat terus-menerus Allah SWT buka untuk setiap orang yang bersalah dan berbuat dosa. Bentuk tobat orang-orang yang memakan harta bukan haknya adalah dengan jalan mengembalikan apa yang ia ambil itu kepada pemilik asalnya. Bersamaan dengan itu, berkomitmen kepada Allah SWT untuk tidak mengulanginya. Wallahu a'lam.

Hikmah Republika Online, 11-04-2007

Tuesday, April 10, 2007

Munafiq

Oleh : Ahmad Fathan Aniq

Nifaq merupakan salah satu sifat tercela dalam Islam. Orang yang melakukan nifaq disebut munafik. Ciri-ciri orang munafik bisa kita ketahui dari hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW, ''Jika berbicara selalu berdusta, jika berjanji selalu ingkar, dan jika dipercaya selalu berkhianat.'' (HR Bukhori).

Dalam hadis lain Abdullah bin Umar Ra berkata bahwa Nabi SAW bersabda, ''Ada empat dosa sifat yang jika seseorang memperlihatkan semua cirinya, dia sepenuhnya orang munafik. Jika dia punya salah satu ciri, dia dianggap memiliki unsur-unsur seorang munafik. Ciri-ciri itu adalah berkhianat, berdusta, ingkar janji, dan memaki lawan jika ada perbedaan pendapat.'' (HR Bukhori).

Ada dua jenis orang munafik. Pertama adalah orang munafik yang mengaku Muslim, tetapi tidak memiliki keimanan atas dasar Islam. Orang seperti ini bisa menipu orang lain karena dari luar tampaknya seperti seorang Muslim, seperti mempunyai nama berbau Muslim tetapi tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka ini lebih buruk daripada orang kafir dan layak mendapat siksa yang pedih. Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong bagi mereka.'' (QS An Nisaa [4]: 145).

Tipe kedua adalah orang yang dalam hatinya mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan akhlak-akhlak utama dalam Islam. Orang seperti ini tidak digambarkan seperti orang kafir, tetapi sebagai orang fasik. Orang ini bisa masuk surga setelah menerima siksa pedih di akhirat.

Beberapa Tabi'in pernah membicarakan sifat munafik dan keinginan untuk menjauhinya. Ibrahim Tamini (wafat 92 H) yang bersahabat dengan beberapa sahabat Nabi SAW berkata, ''Setiap aku membandingkan ucapanku dengan perbuatanku, aku takut jika aku digolongkan sebagai seorang munafik, karena ada ucapanku yang berbeda dengan perbuatanku.''

Ibnu Abi Mulaikah (wafat 117 H) berkata, ''Aku bertemu dan berteman dengan 30 sahabat besar Nabi SAW yang selalu merasa ketakutan bila digolongkan sebagai munafik. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menyombongkan keimanan dan kesalehannya ataupun membual.''

Dengan demikian, orang yang betul-betul beriman akan selalu takut menjadi seorang munafik karena berbuat sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dikatakan atau diyakininya. Wallahu a'lam.

Hikmah Republika Online, 10-04-2007 (22 Rabiul Awal 1428)