Thursday, August 31, 2006

Guru

Oleh : Wiji Suwarno

Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwasanya Abdullah bin Amru bin 'Ash mengatakan, pada suatu hari Rasulullah SAW keluar kamar menuju masjid. Di masjid beliau mendapati dua kelompok sahabat.

Kelompok pertama adalah golongan yang sedang membaca Alquran dan berdoa kepada Allah SWT. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang sedang sibuk mempelajari dan mengajarkan ilmu pengetahuan.

Nabi Muhammad SAW kemudian bersabda, ''Masing-masing kelompok sama-sama dalam kebaikan. Terhadap kelompok yang sedang membaca Alquran dan berdoa kepada Allah, maka Allah akan mengabulkan doa mereka jika Ia kehendaki. Begitupun sebaliknya, doa mereka tidak akan diterima jika Ia tidak berkenan mengabulkan. Adapun terhadap golongan yang sedang belajar-mengajar, maka (ketahuilah) sesungguhnya aku pun diutus untuk menjadi seorang pengajar (guru). Kemudian Rasul bergabung bersama mereka.'' (HR Ibnu Majah).

Demikian Islam menunjukkan pribadi Rasulullah SAW sebagai seorang guru yang menjadi sumber pengetahuan, kiblatnya keteladanan, dan pembimbing yang bijak. Sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah beliau menjadi bukti kelengkapan menjadi seorang guru.

Guru adalah profesi yang dikenal sebagai pemberi keterangan, penjelas, pendidik, pembimbing, contoh, yang dapat memberi perubahan bagi anak didik ke arah yang lebih baik dari segala dimensi, tak terkecuali sisi kecerdasan maupun akhlaknya.

Guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Jika dipandang dari sudut kebangsaan, maka guru dinilai masyarakat sebagai orang yang berjasa, memiliki peran yang vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya saja guru tidak menyandang bintang di pundak ataupun lencana kehormatan di dadanya. Walau begitu seorang guru tetap bergeming dari tugasnya sebagai pencerdas kehidupan bangsa. Inilah semangat yang pelu dipelihara.

Hal Ini berarti pula menjadi tugas yang amat penting bagi guru untuk senantiasa mengasah ilmu pengetahuannya, menjaga kemurnian akhlaknya, dan meningkatkan nilai keteladanan dalam dirinya. Ini karena guru merupakan figur yang sangat dekat, dan yang setiap saat dapat diteladani anak didiknya.

Allah SWT memberikan jaminan keselamatan bagi para penderma ilmu. Ada tiga golongan yang akan selamat dari panasnya matahari di atas kepala ketika kiamat tiba. Pertama adalah orang yang ringan mendermakan hartanya. Kedua adalah anak saleh yang berbakti kepada orang tuanya. Dan ketiga adalah orang yang senantiasa mengamalkan ilmu yang diperolehnya.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 31-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=262523&kat_id=14

Wednesday, August 30, 2006

Terapi Ghibah

Oleh : Ali Farkhan Tsani

Dalam perjalanan Isra Mi'raj, Rasulullah SAW sempat melihat pemandangan mengerikan. ''Aku diperlihatkan orang yang mencakar-cakar mukanya sendiri dengan kuku-kuku tajam mereka.''

Lantas Rasulullah SAW bertanya kepada Malaikat Jibril. ''Wahai Jibril siapakah mereka itu?'' Malaikat Jibril menjawab, ''Mereka adalah yang menggunjing orang lain dan membuka aib kehormatan dirinya.'' (HR Abu Daud). Menggunjing orang lain (ghibah) menjadi faktor penyebab azab kubur. Seperti juga diceritakan Jabir ketika bersama Rasulullah SAW melewati dua kuburan. ''Mereka berdua sedang disiksa di dalam kubur bukan karena dosa besar yang dilakukannya, tapi yang satu karena gemar ghibah, sedangkan yang lain karena tidak bersuci setelah kencing.''

''Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu berbuat ghibah terhadap yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.'' (QS Al-Hujurat [49]: 12).

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan, ayat ini merupakan gambaran betapa ghibah bagaikan mencabik-cabik orang dari belakang tanpa sempat orang tersebut membelanya. Karena tak dapat membela itulah maka diibaratkan orang mati, yang hanya bisa diam saja sekalipun dirobek-robek. Menikmati ghibah sama seperti makan sekerat daging, enak rasanya hingga susah menghentikannya. Namun, mereka tidak mengetahui bahwa daging itu sudah basi alias telah menjadi bangkai.

Agar terhindar dari azab kubur karena ghibah, ada beberapa terapi mengatasinya. Pertama, Rasulullah SAW mengarahkan agar orang Mukmin gemar berbicara yang baik atau lebih baik diam. Kedua, melakukan klarifikasi (tabayyun) bila ditemukan pembicaraan ghibah yang dapat merembet ke fitnah memecah belah umat. (QS Al-Hujurat [49]: 6).

Ketiga, memberi nasihat bila ditemukan kesalahan orang lain, bukan malah membicarakan di belakang. ''Tiga perkara bila dikerjakan niscaya tidak ada kedengkian dalam hati, yaitu ikhlas beramal karena Allah semata, saling menasihati sesama Muslim, dan tetap berada dalam jamaah Muslimin.'' (HR Ad-Darimi). Keempat, memperbanyak dzikrullah. Dzikrullah ibarat obat penyakit, sementara ghibah adalah pantangannya.

Sumber Kolom Hikmah Republika Online, 30-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=262388&kat_id=14

Tuesday, August 29, 2006

Indahnya Memaafkan

Oleh : Abu Naila

Walaupun mudah diucapkan, memaafkan bukanlah perbuatan yang mudah dilakukan. Ketika seseorang telah atau akan dicelakai, maka yang tertanam biasanya perasaan dendam dan ingin membalas. Perasaan seperti itu adalah wajar dalam diri orang biasa. Namun, sikap memaafkan hanya ada pada diri orang yang luar biasa.

Memaafkan butuh kematangan diri dan kecakapan spiritual. Kematangan diri hanya bisa didapatkan melalui keterbukaan hati dan pikiran akan segala pengalaman hidup yang dialami. Sementara kecakapan spiritual hanya bisa diperoleh ketika telah memiliki rasa penghambaan yang tinggi hanya kepada Allah SWT semata.

Bagi yang memaafkan kesalahan orang lain, Allah SWT menyediakan pahala utama sebagai balasan atas kemuliaan sikap mereka. ''Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.'' (QS Asy-Syuura [42]: 43).

Dan bagi yang mempunyai keluhuran akhlak, mereka bukan hanya mampu memaafkan kesalahan orang lain, melainkan sekaligus membalas kesalahan tersebut dengan kebaikan yang tak pernah terbayangkan oleh sang pelaku. Allah SWT berjanji hal tersebut justru dapat mempererat tali silaturahim dan membuat antara yang berselisih saling memikirkan seolah-olah mereka adalah sahabat yang sangat setia.

''Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.'' (QS Fushshilat [41]: 34).

Ada beberapa cara agar kita bisa menjadi pemaaf. Pertama, memperbanyak silaturahim kepada tetangga, sanak kerabat, dan kawan-kawan. Sikap ini akan membuka hati terhadap segala karakter orang, sehingga kita pun tidak mudah marah atau tersinggung atas sikap orang lain.

Kedua, memperbanyak dzikir kepada Allah SWT di waktu pagi dan petang. Berdzikir di waktu pagi akan menjernihkan hati dan pikiran kita sebelum beraktivitas. Berdzikir di waktu petang akan kembali menjernihkan hati dan pikiran setelah kita sibuk seharian beraktivitas.

Ketiga, memperbanyak berdua-duaan (berkhalwat) dengan Allah SWT di waktu orang lain sedang terlelap tidur. Ini akan menumbuhkan kesabaran serta rasa penghambaan dan pengharapan yang tinggi hanya kepada Allah SWT serta menjauhkan dari ketergantungan terhadap manusia. ''Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.'' (QS Fushshilat [41]: 35).

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 29-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=262218&kat_id=14

Monday, August 28, 2006

Keutamaan Bekerja

'Jika selesai mengerjakan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia-Nya, dan perbanyaklah mengingat Allah agar engkau beruntung.'' (QS Al-Jumuah [62]: 10). Islam mengajarkan umatnya bekerja keras untuk mencari nafkah, baik guna mencukupi kebutuhan sendiri maupun keluarga.

Sebaliknya, Islam mencela umat yang malas, yang hanya menggantungkan hidupnya pada belas kasihan orang lain. ''Sungguh pagi-pagi seorang berangkat, lalu membawa kayu bakar di atas punggungnya, ia bersedekah dengannya dan mendapatkan kecukupan dengannya, sehingga tidak minta-minta kepada orang lain, jauh lebih baik baginya daripada meminta ke orang lain, mereka memberinya atau menolaknya. Ini karena tangan yang di atas jauh lebih baik daripada tangan di bawah, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggungan Anda.'' (HR Muslim dan Turmudzi).

Mencari kayu bakar di hutan lalu menjualnya--dan pekerjaan 'sepele' lainnya--merupakan pekerjaan mulia di mata Allah SWT dan Rasul-Nya. Karena itulah Islam memberi penghargaan kepada mereka yang bekerja keras mencari nafkah. ''Orang yang berusaha keras mengejar kesejahteraan dunia dengan cara-cara yang benar, dengan menjauhkan diri dari meminta-minta kepada orang lain untuk membiayai keluarganya, dan bersikap baik kepada tetangga, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan Allah dengan wajah cemerlang seperti bulan purnama.'' (HR Abu Naim).

Hadis di atas mengajarkan kita untuk mencari nafkah dengan cara halal. Seorang pedagang, misalnya, tidak menipu pembeli atau curang dalam menakar. Karyawan dan direksi sebuah perusahaan tidak korupsi atau melakukan mark-up. Hakim dan jaksa tidak 'menjual' perkara.

Begitupun dengan para pejabat, dari tingkat desa sampai presiden, tidak korupsi atau menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya untuk kepentingan diri dan golongannya. Betapa banyak mereka yang tergelincir karena curang dalam mencari nafkah. Banyak mantan pejabat masuk bui karena terbukti korupsi. Atau pedagang yang kehilangan pelanggan karena curang dalam menakar.

Karena itulah kita harus banyak mengingat Allah SWT saat bekerja. Jangan melanggar larangan Allah SWT dalam berbisnis. Percayalah bahwa Allah Maha Mengetahui. Dia melihat apa yang kita kerjakan.

Jadi tak ada gunanya curang. Sebab perbuatan itu nanti akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. ''Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan kaki mereka memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.'' (QS Yasin [36]: 65).

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 28-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=262087&kat_id=14

Gaji Pejabat

Oleh : Ian Suherlan

Sebelum Umar bin Khathab terpilih menjadi khalifah, ia biasa mencari penghasilan hidupnya dengan berdagang. Setelah dinobatkan menjadi Amirul Mukminin, ia digaji dari kas negara yang bila dikalkulasi, jumlahnya cukup memenuhi kebutuhan hidup Umar dan keluarganya dengan standar kehidupan yang paling rendah.

Selang beberapa waktu, sekelompok sahabat senior seperti Ali, Utsman, dan Thalhah mendiskusikan untuk menaikkan gaji Umar. Tapi, tak seorang pun yang berani mengusulkan itu kepada sang Khalifah. Akhirnya, mereka pergi menemui Hafshah, putri Khalifah dan janda Rasulullah SAW, agar meminta persetujuan Umar atas usulan mereka.

Hafshah lantas pergi menemui Umar. Segera setelah mendengarkan usulan tersebut, ia naik pitam dan membentak. ''Siapakah orang-orang yang telah mengajukan usulan jahat ini?''

Hafshah diam tak menjawab. Khalifah Umar berkata lagi, ''Seandainya aku mengetahui mereka niscaya aku akan memukulnya hingga babak belur. Engkau putriku, engkau bisa melihat di rumahmu sendiri pakaian-pakaian terbaik yang biasa dipakai Rasulullah SAW, makanan terbaik yang biasa dimakan Rasulullah SAW, dan ranjang terbaik yang biasa Beliau gunakan untuk tidur. Apakah milikku lebih buruk dari semua itu?''

''Tidak, ayah, tidak,'' jawab Hafshah terbata. ''Kalau begitu katakan pada orang yang telah mengirimmu.'' Umar diam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, ''Bahwa Rasulullah telah menetapkan standar kehidupan seseorang dan aku tidak akan menyimpang dari standar yang Beliau gariskan.'' (M Ebrahim Khan, Kisah-kisah Teladan Rasulullah, Para Sahabat, dan Orang-orang Saleh, Pustaka Pelajar, 2003).

Sungguh mengagumkan. Kisah itu menunjukkan kesederhanaan hidup dan kehati-hatian seorang pejabat dalam menggunakan uang negara. Jangankan meminta sendiri kenaikan gaji atau bahkan mencari pemasukan uang secara tidak sah (korupsi), diusulkan pun bukannya menerima atau merestui, Umar malah marah, sekalipun terhadap putrinya sendiri.

Kondisi ini mungkin kontras dengan saat ini. Bukan hanya menerima usulan kenaikan gaji dari orang lain, tapi juga berinisatif agar gaji mereka dinaikkan. Belum cukup dengan sejumlah pemasukan tersebut, ada pula yang lompat pagar menjadi calo untuk berbagai urusan proyek negara dan pemerintahan. Kolusi dengan para pengusaha dalam pengelolaan sumber daya alam, lain lagi ceritanya. Rasanya sulit atau bahkan tidak ada sosok pejabat saat ini yang seperti Umar. Mental dan moralnya jauh berbeda. Sungguh kita merindukan pejabat seperti Umar.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 26-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=261903&kat_id=14

Friday, August 25, 2006

Yahudi

Oleh : Yakhsyallah Mansur

Bangsa Yahudi adalah keturunan Yahuza (asal kata Yahudi), salah seorang anak Nabi Ya'kub yang dikenal sebagai Israil. Nabi Ya'kub adalah putra Nabi Ishak. Nabi Ishak adalah putra Nabi Ibrahim dari istri pertama, Sarah. Dari istri kedua, Hajar, Nabi Ibrahim dikarunai anak bernama Nabi Ismail yang menurunkan bangsa Arab.

Jadi, bangsa Arab dan Yahudi sebenarnya masih satu keturunan dari Nabi Ibrahim. Namun, Alquran menyebutkan bahwa bangsa Yahudi adalah yang paling keras memusuhi umat Islam. ''Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.'' (QS Al-Maidah [5]: 82).

Mereka berusaha menyengsarakan umat Islam. ''Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.'' (QS Ali Imran [3]: 118).

''Tidaklah sekali-kali orang Yahudi bertemu dengan orang Islam di tempat yang sunyi, kecuali pasti ingin membunuhnya.'' (HR Ibnu Mardawaih). Hal ini bisa disaksikan, bagaimana mereka membombardir Palestina dan Lebanon setiap hari tanpa memerhatikan hati nurani dan kecaman masyarakat dunia. Bangsa Yahudi sebenarnya bukan hanya memusuhi umat Islam, tapi memusuhi seluruh umat manusia. Bahkan, malaikat dan Tuhan pun mereka musuhi. ''Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.'' (QS Al-Baqarah [2]: 98).

Kekejaman bangsa Yahudi terkadang mereka lakukan terhadap bangsanya sendiri demi tujuan tertentu. Emanuel Robinovich, pendeta tertinggi Yahudi dalam sidang darurat pendeta Yahudi Eropa tanggal 12 Juni 1952 berkata, ''Untuk mencapai tujuan akhir kita bisa saja memerlukan cara yang menyedihkan seperti kita lakukan pada masa Hitler, yaitu kita sendiri mengatur terjadinya peristiwa penindasan terhadap sebagian bangsa kita sendiri. Dengan kata lain, kita akan menumbalkan sebagian putra bangsa sendiri pada suatu peristiwa yang akan kita atur dari belakang layar.''

Untuk menghadapi bangsa Yahudi, umat Islam sebagai satu-satunya kekuatan yang belum terkalahkan, harus bersatu. ''Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.'' (QS Al-Anfal [8]: 73).

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 25-06-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=261788&kat_id=14

Thursday, August 24, 2006

Kebersamaan Hamba

Oleh : Muhbib Abdul Wahab

''Aku adalah seperti yang disangkakan oleh hamba-Ku, dan Aku bersama hamba-Ku ketika ia berdoa kepada-Ku.'' (HR Abu Ya'la). Kebersamaan hamba dengan Allah SWT melalui doa merupakan kebersamaan yang sangat indah dan pasti membawa anugerah dan berkah bagi kehidupan manusia yang tak luput dari salah dan dosa.

''Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang diri-Ku, (katakanlah) bahwa Aku ini sangat dekat, dan akan menjawab panggilan hamba-Ku apabila ia memang berdoa kepada-Ku.'' (QS Al-Baqarah [2]: 186). Doa merupakan akses komunikasi vertikal setiap hamba untuk meningkatkan kebersamaan dan keakraban dengan Allah SWT. ''Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan doamu, sesungguhnya orang-orang yang sombong untuk tidak mau beribadah (berdoa) kepada-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina-dina.'' (QS Al-Mukmin [40]: 60).

Hanya saja, jalan kebersamaan hamba dengan Allah SWT melalui doa tak selalu mulus, sehingga seringkali seseorang merasa doanya tidak didengar dan diterima Allah SWT. Suatu ketika Rasulullah menyebutkan seseorang yang datang dari suatu perjalanan jauh dengan rambut acak-acakan dan wajah kusut penuh debu mengangkat tangannya ke langit.
'

'Ya Tuhanku, ya Tuhanku ....'' Rasulullah kemudian menyatakan kepada para sahabat. ''Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan Allah, sementara makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram.'' (HR Abu Daud).

Kebersamaan hamba dengan Allah SWT menuntut kesucian hati, husnuzhan dengan-Nya, dan kebersihan lahir batin. Dikisahkan bahwa ada seorang yang bertanya kepada sufi terkenal, Ibrahim bin Adham, mengapa doanya seolah tidak pernah didengar dan dikabulkan. Sang sufi itu menjawab dengan sepuluh alasan berikut.

''Karena kamu mengenal Allah, tapi tidak menaati-Nya. Karena kamu mengenal Rasulullah, tapi kamu tidak mengikuti sunahnya. Karena kamu mengenal Alquran, tapi kamu tidak mengamalkannya. Karena kamu memakan pemberian-Nya, tapi tidak mensyukurinya. Karena kamu mengenal surga, tapi tidak berusaha mengejarnya. Karena kamu mengenal neraka, tapi tidak berusaha lari menghindarinya. Karena kamu mengenal setan, tapi tidak memusuhinya malah menemaninya. Karena kamu mengenal kematian, tapi tidak bersiap-siap menghadapinya. Karena kamu menguburkan jenazah, tapi tidak mengambil pelajaran darinya. Karena kamu mengabaikan aibmu, sementara kamu sibuk mengurusi aib orang lain.''

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 24-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=261643&kat_id=14

Wednesday, August 23, 2006

Makna Kisah Nabi

Oleh : HM Syamlan

Gempa bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Di dalam Alquran disebutkan, ribuan tahun lalu gempa juga pernah menimpa suatu umat. Paling tidak ada tiga peristiwa gempa yang disebutkan secara berurutan di Alquran. Gempa pernah terjadi di zaman Nabi Shalih. Kaum Nabi Shalih adalah pengganti kaum 'Aad yang membangun kembali negeri 'Aad yang sudah hancur. Mereka memiliki istana-istana indah di samping bangunan-bangunan tinggi laksana gunung.

Sayangnya mereka menyombongkan diri, tidak mau mengikuti ajaran keimanan yang disampaikan Nabi Shalih. ''Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan, seraya mereka berkata, 'Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah).'' (QS Al-A'raf [7]: 77). ''Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka.'' (QS Al-A'Raf [7]: 78).

Gempa juga pernah terjadi pada zaman Nabi Luth. Kaum Nabi Luth ini keterlaluan, melakukan perbuatan yang sangat keji dan kotor. Nabi Luth mengingatkan mereka agar tidak melampaui batas. Mendapatkan nasihat itu, mereka justru mengatakan, ''Usirlah Luth dan pengikut-pengikutnya dari kota ini. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sok suci.'' (QS Al-A'raf [7]: 82-83).

Karena itulah gempa dahsyat terjadi. ''Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.'' (QS Hud [11]: 82). Pada zaman Nabi Syu'aib, gempa juga melanda kaumnya. Nabi Syu'aib meminta agar mereka tidak berbuat curang dengan mengurangi takaran dan timbangan dalam berniaga. Namun, ajakan itu ditolak oleh kaum Nabi Syu'aib dan bahkan mereka mengancam beliau. (QS Al-A'raf [7]: 85).

''Maka mereka ditimpa gempa, sehingga jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, seolah-olah mereka belum pernah berdiam di kota itu.'' (QS Al-A'raf [7]: 91-92). Akhirnya, gempa di zaman Nabi Shalih karena pembunuhan terhadap seekor unta betina. Gempa di zaman Nabi Luth karena perilaku homoseks. Sedangkan gempa di zaman Nabi Syu'aib karena melakukan kecurangan dalam persoalan takaran dan timbangan.

Gambaran kisah di Alquran ini hendaknya menjadikan kita saat ini melakukan introspeksi, apakah kejadian serupa juga terjadi di lingkungan sekitar kita? Karena sesungguhnya Allah SWT telah memberikan pelajaran melalui Alquran.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 23-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=261591&kat_id=14

Tuesday, August 22, 2006

Isra Mi'raj

Oleh : Yusuf Burhanudin

''Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.'' (QS Al-Isra [17]: 1).

Demikian Alquran menggambarkan perjalanan rohani Nabi SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha dan puncaknya beraudiensi dengan Allah SWT. Saat itulah beliau menerima kewajiban shalat lima waktu.

Pada awalnya, peristiwa ini merupakan hiburan dari Allah SWT atas kedukaan mendalam ('amul khuzni) Rasulullah SAW saat ditinggal wafat dua kekasih karib; Abu Thalib sang paman, dan istri tercinta Siti Khadijah. Pengorbanan keduanya dalam mendukung dakwah sudah tidak diragukan. Rasa kehilangan kian menjadi seiring perlawanan orang kafir yang semakin keras.

Dalam situasi tertekan itulah, Allah SWT menghibur beliau dengan Isra Mi'raj. Peristiwa dahsyat Isra Mi'raj tentu bukan sekadar mukjizat khusus Nabi SAW saja. Hikmahnya tersemai bagi seluruh umat beliau sepanjang masa.

Karena Isra Mi'raj adalah cermin wisata spiritual dua dimensi yang membentuk segitiga dinamis; memanjang garis lurus horizontal (dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa) untuk bergerak menuju garis tegak vertikal (Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha). Isra tak lain tamsil wisata horizontal dan Mi'raj perumpamaan ziarah vertikal.

Isra memberi hikmah bagaimana hubungan manusia secara horizontal dilakukan seoptimal mungkin. Sementara Mi'raj, menekankan keharusan untuk berproses naik guna bertemu dengan-Nya. Shalat lima waktu, selain deklarasi resmi ibadah umat Islam, juga menjadikan shalat sarana ziarah vertikal yang bisa mengantarkan seseorang bertemu Allah SWT.

Shalat adalah mi'rajnya orang-orang mukmin (mi'rajul mukminin), detik-detik pertemuan dengan-Nya. ''Maka, sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.'' (QS Thaha [20]: 14). Isra Mi'raj mengajarkan pertahanan diri dalam hidup secara vertikal dan horizontal.

Memohon pertolongan Allah SWT dengan shalat dan menghadapi gangguan sesama dalam dakwah dengan kesabaran. Inilah garis merah Isra Mi'raj yang biasa diperingati umat Islam setiap 27 Rajab. ''Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang khusyuk. (Yaitu) Orang-orang yang meyakini akan menemui Tuhannya dan akan kembali kepada-Nya.'' (QS Al-Baqarah [2]: 45-46).

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 22-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=261439&kat_id=14

Ulat Sutra

Oleh : Muhammad Zaenuri

Sebagian orang merasa jijik melihat ulat. Dari segi bentuk, ulat memang tampak menjijikkan. Padahal, ulat pada waktunya akan berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Sadarkah kita, kain sutra yang dipakai para pembesar, raja-raja, dan kaum bangsawan sebenarnya berasal dari tubuh makhluk yang dianggap menjijikkan itu: ulat sutra.

Jika merenungkan ciptaan Allah SWT ini, setidaknya ada lima pelajaran dapat diambil. Pertama, jangan cepat menilai seseorang dari lahiriahnya. Boleh jadi, orang yang tampak tidak beharta, tak memiliki jabatan justru menjadi kekasih Allah SWT. Sebab, Allah SWT tidaklah memandang seseorang dari banyaknya harta dan penampilan, tapi dari amalan dan hatinya.

Kedua, setiap manusia hendaknya menghargai yang membantunya, sekecil apa pun peranannya. Pemimpin perusahaan harus memperhatikan kesejahteraan pegawainya, meski hanya tukang sapu. Tidak semena-mena dan bersikap angkuh. Tanpa mereka, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Seorang majikan, bersikap baik pada pembantu, tanpanya kita tentu merasa kerepotan.

Ketiga, tidak menvonis manusia yang pernah berbuat salah. Kita harus berlapang hati. Sebab manusia yang bersalah, seiring pergantian waktu dapat berubah menjadi baik. Seperti seekor ulat yang dapat berubah menjadi kupu-kupu yang indah.

Kempat, penciptaan ulat adalah wujud Keagungan dan Kemahakuasaan Allah SWT. Dari tubuh ulat yang hina itu, manusia bisa membuat pakaian yang indah, sehingga status sosialnya naik. Dari makhluk yang menjijikkan itu, taman-taman bunga mejadi makin indah karena berhiaskan kupu-kupu yang beterbangan dengan aneka warna, bentuk, dan ukuran.

Kelima, sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia lain. Setiap manusia dilengkapi Allah SWT kelebihan yang dapat mengangkat derajatnya. Seperti ulat sutra, meski dia hanyalah seekor ulat, tapi karena mampu menghasilkan sesuatu yang beharga, manusia memelihara dan memuliakannya.

''Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'' (QS Ali Imran [3]: 190-191). Lalu, masih patutkah kita menyombongkan diri, padahal kita diciptakan dari bahan yang sama.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 19-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=261318&kat_id=14

Muru'ah

Oleh : Purnomo Wahyu Widayat

Manusia memiliki kepribadian yang beragam. Kepribadian yang bermacam-macam itu memengaruhi pola interaksi manusia. Dalam kancah pergaulan antarmanusia itulah, umat Islam harus menunjukkan kepribadian yang muru'ah, yakni harga diri sebagai manusia yang beriman kepada Allah SWT.

Dan sebagai orang beriman, harus terhindar dari segala perbuatan yang dapat merendahkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Harga diri yang tinggi akan melekat pada diri kita, jika perbuatan yang rendah, hina, dan nista itu kita tinggalkan jauh-jauh.

''Dan janganlah kamu merasa rendah diri dan bersedih hati, jika kamu orang yang beriman.'' (QS Ali 'Imran [3]: 139).

Di hadapan mereka yang berusaha menghancurkan kebenaran hakiki di muka bumi, kita dilarang keras oleh-Nya menunjukkan kelemahan dan duka cita. Karena umat Islam memunyai derajat yang lebih tinggi daripada mereka, selain juga pada hakikatnya adalah sebaik-baik makhluk yang diciptakan Allah SWT.

Untuk itu, umat Islam harus terus memperkuat akidah dan memperbanyak amal kerja nyata. Sebab, dengan akidah yang kuat, kita akan memiliki pribadi muru'ah yang kuat pula. ''Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, merekalah makhluk yang terbaik.'' (QS Al-Bayyinah [98]: 7).

Sikap yang gagah kepada para penolak kebenaran menunjukkan bahwa kita memunyai pribadi muru'ah yang kuat, dan inilah bukti bahwa kita adalah sebaik-baik umat di antara umat-umat yang lain. ''Kamulah umat terbaik yang muncul (di tengah-tengah manusia). (Sifatmu) menyuruh kepada yang makruf, melarang dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, niscaya hal itu baik bagi mereka. Sebagian (kecil) dari mereka beriman dan kebanyakan fasik. (QS Ali 'Imran [3]: 110).

Islam akan membawa umatnya hidup harmonis karena menuntun ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat. Fitnah bahwa Islam hanyalah ajaran tentang keakhiratan, harus kita jawab dengan amalan yang konkret.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 18-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=261157&kat_id=14

Wednesday, August 16, 2006

Amalan Menjelang Tidur

Oleh : Nurjannah Suharjo

''Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allahlah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.'' (QS Al-An'am [6]: 60).

Al-Maraghi dalam tafsirnya mengemukakan arti ayat di atas bahwa Allah SWT berkuasa mematikan nyawa manusia ketika tidur. Lewat tidur Allah SWT menghilangkan kekuatan indra manusia serta menghalanginya berbuat terhadap diri sendiri. Hanya Dialah yang mengetahui seluruh perbuatan tiap manusia di siang hari, apakah amal sepanjang harinya itu baik ataukah buruk.

Ini dengan harapan agar manusia mengintrospeksi diri (muhasabah) sebelum tidur, dan menyadari akan kembali kepada Allah SWT guna mempertanggungjawabkan segala perbuatannya semasa hidup. Boleh jadi, itulah tidur sekaligus hidup terakhir kalinya, sebagai pengingat timbangan neraca rugi laba selama seharian meniti hidup.

Kalau diperkirakan memperoleh laba kebajikan yang banyak, maka patutlah ia memuji-Nya. Sebaliknya, kalau defisit akibat banyak dosa, maksiat, dan kemungkaran, maka saatnya memohon maaf, ampunan, dan taubat kepada Sang Khalik.

Rasulullah SAW saat menjenguk Fathimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib, memberi nasihat agar memperbanyak kalimat thayyibah sebagai penutup sebelum tidur. Beliau mengajarkan agar putri dan menantunya membaca tahlil (laa ilaaha illallaah), tasbih (subhaanallaah), tahmid (alhamdulillaah), takbir (Allaahu akbar), ayat kursi, dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas.

Lafadz-lafadz zikir di atas mengandung makna pemurnian kembali akan tauhid kepada Allah SWT, disertai menyucikan nama-Nya, memuji atas nikmat-Nya, mengagungkan kebesaran-Nya, dan memohon perlindungan-Nya atas segala kejahatan jin dan manusia.

Juga sebagai tanda pengakuan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan apa pun selain yang telah diberikan-Nya. Dilanjutkan dengan membaca doa Bismika allaahumma ahyaa wa amuut (Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku hidup dan aku mati). Menunjukkan bahwa hidup dan mati menjadi milik dan kekuasaan Allah SWT.

Rasulullah SAW tidak menyukai begadang terlalu malam tanpa alasan ibadah yang dibenarkan. Padahal esok hari selepas tidur, Mukminin sepantasnya mengawali hari baru dengan mendirikan shalat malam (tahajud) sebagai tambahan amal diikuti shalat Subuh berjamaah. (QS Al-Isra [17]: 78-79).

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 16-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=260988&kat_id=14

Keutamaan Zikir

Oleh : Samsul Bahri Djari

Makna zikir menurut bahasa sebagaimana disebutkan oleh Ibn Manzhur adalah menjaga sesuatu dengan cara mengingat atau menyebutnya. Ini sesuai dengan makna zikir yang digambarkan Alquran. (QS Al-Baqarah [2]: 152) dan (QS Al-Anfaal [8]: 45).

Kita diperintahkan banyak berzikir dalam setiap keadaan agar memperoleh keberuntungan (QS Al-Anfaal [8]: 45), ketenangan (QS Al-Ra'd [13]: 28), bahkan Allah SWT menjanjikan ampunan dan pahala yang besar bagi yang suka berzikir (QS Al-Ahzab [33]: 35).

Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah menyaksikan ketika Rasulullah SAW berkata kepada para sahabat, ''Tidaklah satu kaum yang duduk mengingat Allah kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, memperoleh kucuran rahmat juga merasakan ketenangan yang teramat sangat dan yang lebih utama dari itu semua adalah Allah akan menyebut mereka di hadapan makhluk-makhluk-Nya.'' (HR Muslim).

Sebagaimana zikir merupakan perbuatan yang disukai Allah SWT, pun demikian halnya dengan menghadiri majelis-majelis zikir. Dalam hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik disebutkan, ''Apabila kalian melewati taman-taman surga maka hadirilah. Lalu para sahabat pun bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan taman-taman surga itu?' Rasulullah SAW menjawab, 'Majelis-majelis zikir.' Allah memiliki sepasukan malaikat yang selalu berkeliling mencari majelis-majelis zikir yang jikalau mereka menemukannya, maka majelis tersebut akan dipenuhi malaikat-malaikat itu.'' (HR At-Tirmidzi).

Zikir merupakan perbuatan yang teramat ringan untuk dikerjakan, namun teramat besar ganjaran yang bakal diperoleh mereka yang suka berzikir. ''Dua buah kalimat yang ringan untuk diucapkan namun berat timbangannya di Mizan, dua buah kalimat yang disukai Allah, Subhanallah wa bihamdih Subhanallah al-'Azhim.'' (HR Bukhari).

Namun Allah SWT juga memperingatkan mereka yang meninggalkan zikir. ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.'' (QS Al-Munafiqun [63]: 9).

Keberuntungan, ketenangan, ampunan, dan pahala yang besar dari Allah SWT merupakan balasan yang dijanjikan bagi siapa saja yang suka berzikir. Bila zikir merupakan sesuatu yang ringan untuk dilakukan dan memiliki pahala yang besar, maka sudah selayaknya bagi kita semua untuk banyak-banyak berzikir kepada Allah SWT. Jangan sampai kita termasuk ke dalam orang-orang yang merugi karena meninggalkan zikir demi urusan dunia lainnya.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 12-08-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=260479&kat_id=14