Tuesday, October 31, 2006

Meraih Predikat Taqwa

Oleh : Suprianto

Ramadhan 1427 Hijriyah sudah berlalu meninggalkan kita. Harapan terbesar setiap muslim adalah diterimanya amal ibadah selama Ramadhan, baik ibadah yang bersifat individu, maupun ibadah yang bersifat sosial.

Target akhir dari ibadah puasa yang diwajibkan Allah SWT kepada umat Islam, adalah mencapai predikat takwa, seperti yang tersurat dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 183: ''...semoga kalian menjadi orang yang bertakwa.'' Keberhasilan seorang Muslim melaksanakan ibadah puasa terlihat di luar Ramadhan. Orang yang sungguh-sungguh menjalankan amaliyah di bulan Ramadhan berupaya mengamalkan nilai-nilai puasanya di luar Ramadhan. Artinya, keberhasilan orang-orang yang berpuasa bukan pada bulan Ramadhan tetapi sebelas bulan setelah Ramadhan.

Kini, kita telah berada di bulan Syawwal yang akar katanya dari syala yasyulu syawwal artinya meningkat. Hal ini sejalan dengan makna Idul Fitri yang diambil dari kata al ied artinya kembali, dan fitrah yang berarti kecenderungan manusia untuk selalu berbuat baik. Seorang muslim yang memperoleh kemenangan memberikan pengaruh yang besar sekali terhadap prilaku sehari-hari. Kalau dia berhasil, ia menjadi seorang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya.

Apa cirinya orang takwa? Allah SWT Berfirman, ''Orang takwa itu pertama beriman kepada yang ghaib, senantiasa mendirikan shalat, serta senantiasa menginfakkan sebagian harta yang diberikan Allah SWT kepadanya.'' (QS. Albaqarah [2]: 3). Dengan menjadi seorang yang takwa, maka orang yang berhasil dalam melaksanakan ibadah puasa, dia akan peduli kepada fakir, miskin, dhuafa. Bahkan ada ayat lain yang menyebutkan, orang takwa itu selalu menginfakkan hartanya di kala sempit maupun keadaan lapang. Artinya, orang yang berpredikat takwa dia mudah untuk berbagi.

Predikat takwa yang dicapai seorang yang berhasil dalam menjalankan ibadah puasa ditandai dengan kepekaan sosialnya yang sangat tinggi. Ia bisa merasakan penderitaan orang lain, khususnya yang fakir miskin bukan hanya pada saat puasa. Tetapi justru setelah dia puasa.

Itu sebabnya, puasa Ramadhan selalu ditutup dengan zakat fitrah. Zakat fitrah artinya peduli kepada orang lain yang tidak punya beras pada hari raya. Orang yang berhasil menjalankan ibadah puasanya kemudian meraih predikat takwa, orang tersebut ibarat seorang bayi yang baru keluar dari perut ibunya. Orang takwa, juga senantiasa memiliki keinginan untuk mengajak orang lain masuk surga, ia tidak ingin sendirian masuk surga. Surga itu tidak hanya di akhirat, tapi juga di dunia. Nah, surga dunia itu adalah bebas dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, penderitaan dan sebagainya.

Sumber : Kolom Hikmah Republika, 30-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=269873&kat_id=14

Saturday, October 21, 2006

Idul Fitri

Oleh : H Rahmat Hidayat SE MT

Fajar 1 Syawal sebentar lagi menyingsing di ufuk timur, pertanda kita berada di suatu hari yang sangat berbahagia. Takbir, tahmid, dan tasbih terdengar ke atas penjuru langit. Baik di kota maupun di desa, di gunung maupun di lembah, di pantai maupun di pedalaman, di perumahan kumuh maupun di komplek perumahan mewah.

Orang berbondong-bondong melaksanakan shalat Id berjamaah. Mereka laksana drama kolosal kemanusiaan, berduyun-duyun pergi menuju masjid, mushala dan lapangan untuk menunaikan salat Id yang menandai berakhirnya puasa Ramadhan dan sekaligus simbol kemenangan umat Islam karena telah berhasil melewati ujian berat: berpuasa selama sebulan penuh di bulan suci Ramadhan. Untuk itu, kita saling bersalaman mengucapkan selamat kepada sesama kaum muslimin, saling memberi maaf, dengan perasaan suka cita dan penuh kegembiraan merayakan hari kemenangan.

Bagi siapa saja yang berhasil melewati ujian maha berat selama Ramadhan, dijanjikan oleh Allah SWT akan diampuni segala dosanya dan dibebaskan dari azab api neraka. Bahkan lebih dari itu, Allah SWT akan mengembalikan manusia kepada kesucian primordial yaitu fitrah kemanusiaan yang bersifat azali. Karena itu, hari kemenangan disebut Idul Fitri, yang berarti kembali kepada kesucian (fitrah).

Kembali ke fitrah merupakan puncak pencapaian spiritualitas yang sangat didambakan dan membahagiakan bagi setiap muslim. Kembali ke fitrah berarti kita memperoleh penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) yang selama 11 bulan terlumuri oleh berbagai kotoran, noda, dan dosa yang telah mereduksi nilai kemanusian kita. Kembali ke fitrah berarti kita memperoleh pembebasan dari segala belenggu nafsu duniawi yang membuat kita terlena, bahkan acapkali membuat kita berpaling dari Allah SWT (QS: Al Muzzamil [73]:9, 15).

Kembali ke fitrah berarti kita memperoleh kesempatan untuk mendekatkan diri (taqarrub) ke haribaan Allah SWT yang Mahasuci, karena jiwa kita telah disucikan oleh-Nya. Kesempatan untuk bertaqarrub ke haribaan Allah SWT itulah yang amat membahagiakan dan menjadi dambaan bagi setiap Muslim.

Bagi bangsa Indonesia, ujian dirasakan jauh sebelum Ramadhan. Bencana alam seperti susul menyusul, krisis moral, dan bencana kemanusian seperti kerusuhan, kelaparan, serta musibah lainnya. Ramadhan semestinya menjadi bulan perenungan. Bulan intsrospeksi.

Oleh karena itu, mari kita jadikan Idul Fitri sebagai momentuam untuk melakukan koreksi menyeluruh (istisab) terhadap berbagai praktek kehidupan sosial keagamaan dan kemasyarakatan kita. Agar bangsa Indonesia kembali ke fitrah. Agar Indonesia kembali ke cita-cita dasar dan luhur dibentuknya Republik Indonesia oleh para pendiri bangsa.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 21-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=269381&kat_id=14

Friday, October 20, 2006

Membahagiakan Anak Yatim

Oleh : Ummu Fatiha

''Dulu ketika ayah masih ada, baju Lebaranku empat. Aku mendapat banyak uang baru. Sepatuku baru. Sandalku juga. Dulu ketika ayahku ada, banyak kue di meja tamu. Dulu ketika ayahku ada ...'' (Suara Maesarah tercekat. Ia tersenyum, tapi air mata meluncur di pipinya yang sawo matang).

Lebaran sebentar lagi. Mungkin sudah sejak beberapa hari lalu Anda berburu pakaian baru untuk buah hati tercinta. Atau, bahkan sudah dilakukan sejak awal Ramadhan. Tapi, pernahkah terbayang bagaimana Maesarah, penghuni sebuah yayasan yatim piatu di Ciputat, Tangerang, itu merayakan Lebaran? Padahal, Islam menganjurkan umatnya untuk memuliakan anak yatim. Orang yang menghardik anak yatim dinilai sebagai orang yang mendustakan agama (QS Al Maa'un [107]: 1-2). Anak yatim juga tidak boleh diberlakukan sewenang-wenang atau disia-siakan (QS Adh Dhuhaa [93]: 9).

Rasulullah SAW sendiri merupakan sosok yang sangat menyayangi anak yatim. Dalam hadisnya, Rasulullah SAW menyatakan, ''Bahwa saya dan orang yang memelihara anak yatim dengan baik akan berada di surga, bagaikan dekatnya jari telunjuk dengan jari tengah.'' (HR Muslim). Bila kita mengaku cinta Rasulullah, mari kita mencintai anak yatim. Mumpung Idul Fitri masih beberapa hari lagi, mumpung masih ada waktu untuk membuat mereka tersenyum di hari kemenangan nanti. Adalah kewajiban kita untuk berbagi kebahagiaan bersama mereka.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 20-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=269238&kat_id=14

Thursday, October 19, 2006

Terima Kasih Ya Allah!

Oleh : Muhammad Arifin Ilham

Ramadhan dengan masdar Ramadhan bermakna pembakaran. Sesuatu yang dibakar biasanya hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti sampah yang dibakar untuk dibersihkan. Kalaupun yang dibakar baik, untuk lebih baik, seperti besi dibakar untuk jadi pisau, palu, pacul, dan sebagainya. Apabila proses pembakarannya dengan ilmu dan teknologi. Jadilah teknologi canggih seperti motor, mobil, pesawat, dan sebagainya.

Demikian halnya Allah meramadhankan kita untuk mencetak pribadi-pribadi yang canggih, yaitu pribadi-pribadi yang bertakwa. Pertama, Ramadhan membakar dosa-dosa kita kepada Allah (dosa vertikalistik). Tidak satupun di antara kita bersih dari dosa-dosa. Sehingga, orang-orang bertakwa pun diingatkan oleh Allah (QS An-Najm [53]: 32), ''Janganlah kalian merasa paling suci padahal Allah sangat tahu siapa yang paling bertakwa di antara kalian.''

Kedua, Ramadhan membakar dosa-dosa antarkita (dosa horizontal). Dengan keluarga kita disahurkan. Jarang terjadi dan sangat berkesan bersama keluarga menjelang fajar, menumbuhkan cinta dan keakraban, dan inilah di antara makna berkah sahur. Yang disebutkan oleh Rasulullah SAW. Dengan tetangga jarang bertemu, dengan Ramadhan ditarawihkan, dimushallakan, dimasjidkan.

Dengan fakir miskin dibersamakan dengan zakat fitrah dan zakat mal, bahkan serempak umat Islam seluruh dunia berpuasa. Allah ingin kita, kaum beriman, menjadi masyarakat dunia yang bertakwa (Al Baqarah [2]: 183).

Ketiga, dibakar dosa-dosa yang telah mendarah daging. Mungkin selama sebelas bulan ada makanan dan minuman yang tidak halal termakan, sehingga menyusup menjadi darah dan daging. Imam Ghozali menyebutnya zakatul jasad. ''Tidak akan masuk surga darah-daging yang tumbuh dari yang haram,'' demikian peringatan Rasulullah SAW.

Keempat, Ramadhan membakar berbagai macam penyakit sehingga tidak satu pun pakar dari semua disiplin ilmu menemukan dampak buruk dari puasa kecuali hikmah dan hikmah (Al Baqarah [2]:184). Sungguh benar sabda Rasulullah SAW, ''Dengan berpuasa kalian akan sehat.''

Kelima, Ramadhan membakar sifat-sifat tercela, gampang marah, serakah, dengki, bakhil, dan sebagainya. Saat berpuasa orang beriman tidak melakukan apa yang dilakukan hewan seperti makan, minum, dan seks. Allah, pencipta alam semesta ini, ingin menghadirkan sifat-sifat malaikat pada diri hamba-hamba-Nya. Taat tanpa reserve dan tanpa putus berdzikir. Subhanallah! Terima kasih Ya Allah, Engkau meramadhankan kami, dan menjadikan kami hamba-Mu yang mulia.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 19-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=269075&kat_id=14

Wednesday, October 18, 2006

Bulan Tarbiyah Anak

Oleh : Hj Yoyoh Yusroh

Rasulullah SAW dan para shahabat mengenalkan puasa sejak dini pada anak. Diriwayatkan bahwa bila waktu Ashar tiba, para sahabat sibuk membujuk anak-anak yang mulai merengek meminta berbuka dengan membuatkan mereka permainan dari bulu. Tentu upaya mengenalkan puasa pada anak ini menimbang kemaslahatan kondisi anak, misalnya, kondisi kesehatan dan pentahapan dalam pengenalannya.

Secara syar'i anak-anak memang belum wajib berpuasa. Pengenalan sejak dini ini dimaksudkan agar tumbuh rasa cinta mereka pada ibadah puasa, sebagai sebuah ibadah istimewa yang Allah sebutkan dalam hadis Qudsi sebagai ibadah yang khusus untuk-Nya. Maka, cara pengenalannya pun seyogianya dengan penuh cinta.

Cinta pada Ramadhan adalah hal pertama yang harus ditumbuhkan. Berbagai keutamaan Ramadhan sebagai sayyidul syahri -- penghulu bulan --merupakan informasi yang dapat membuat anak jatuh hati. Tentu informasi ini perlu dilengkapi dengan gambaran keindahan serta kenikmatan surga yang kekal. Secara ruhiy, insya Allah, keimanan anak akan tumbuh secara kokoh di hati, bersambung dengan beningnya fitrah mereka.

Kisah-kisah peri kehidupan Rasulullah dan para sahabat di bulan Ramadhan juga akan menambah khasanah wawasan dan kecintaan mereka pada ibadah puasa dan berbagai amalan utama lainnya. Misalnya, bahwa Rasulullah dan para sahabat makin tampak berbahagia di bulan Ramadhan. Senyum mereka kian mekar bertebaran, serta tegur sapa dan salam yang kian hangat di masyarakat. Mereka sadar betul bahwa Ramadhan adalah bulan cinta, bulan istimewa yang Allah jadikan sebagai tanda kasih-Nya bagi umat Islam.

Kedermawanan Rasulullah dan para sahabat di bulan Ramadhan juga melebihi hari-hari lainnya. Diriwayatkan bahwa pemurahnya Rasulullah bagaikan angin bertiup. Maka, tak ada salahnya kita menyepakati bersama anak-anak bagaimana program infak Ramadhan keluarga dilakukan dan ke mana hendak disalurkan. Kegiatan ini bisa menjadi salah satu peristiwa yang mengasyikkan bagi anak-anak serta mengasah kepekaan sosial mereka.

Demikianlah indahnya Ramadhan dapat kita tanamkan di hati anak, menjadi kesan mendalam yang tak tergantikan sepanjang hidupnya, insya Allah. Di akhir Ramadhan, silaturahim Idul Fitri pada para sesepuh, mendidik anak untuk menghargai para orang tua, membuat mereka menjadi pemuda yang rendah hati dan santun. Semoga Ramadhan ini Allah jadikan indah bagi kita sekeluarga, dan Ramadhan yang akan datang adalah saat yang lebih indah dari saat ini. Amin.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 18-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268962&kat_id=14

Tuesday, October 17, 2006

Hakikat Menahan Lapar

Sebagai pemimpin, Rasulullah SAW selalu hidup sederhana, dan jauh dari sikap boros dan berlebihan, termasuk dalam soal makan dan minum. Dikatakan, Rasulullah SAW tidak pernah makan kenyang sepanjang hidupnya sampai beliau wafat (HR Muslim). Kalaulah kita harus makan, maka disarankan agar sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk udara atau bernapas (HR Thirmidzi).

Seperti Nabi, Umar bin al-Khaththab, meski tergolong kaya, beliau sangat sederhana dan asketis. Beliau sering mengingatkan kaum Muslim agar tidak menjadi budak perut ('bd al-buthun). Begitu pula sahabat-sahabat Nabi yang lain. Mereka hidup sederhana. Di kalangan mereka, ada ungkapan yang sangat masyhur, yaitu: Nahnu qaumun la na'kulu hatta naju' wa idza akalna la nasyba' (Kami adalah segolongan manusia yang tidak makan hingga lapar, dan kalau makan pun tidak sampai kenyang).

Secara spiritual, lapar atau menahan lapar menjadi syarat utama bagi al-Salik, yaitu orang yang menempuh perjalanan menuju Allah. Dalam kitab Ihya' `Ulum al-Din, Imam Ghazali menulis satu pasal khusus tentang keutamaan lapar ini. Menurut Ghazali, lapar itu mendatangkan banyak keutamaan. Di antaranya yang terpenting adalah beberapa hal ini.

Pertama, mencerahkan hati dan pikiran kita. Menurut Ghazali, orang yang lapar (bukan kelaparan) tidak hanya sehat secara fisik, tetapi terlebih lagi sehat secara ruhani. Baginya, hati manusia itu ibarat tanaman. Ia menjadi mati kalau terlalu banyak air atau terendam banjir.

Kedua, meningkatkan sense of crisis dan kepekaan sosial. Orang yang lapar lebih peka terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain. Ini berarti, lapar itu dapat menumbuhkan jiwa penolong dan solidaritas sosial. Bahkan, menurut Ghazali, lapar itu mengingatkan kita pada siksa dan azab akhirat, sehingga kita lebih tergugah untuk memperbanyak ibadah dan amal shaleh.

Ketiga, mencegah dorongan syahwat dan nafsu amarah. Menurut al-Ghazali, sumber dan energi syahwat itu adalah makan dan minum. Oleh sebab itu, orang yang mengurangi makan dan minum, ia akan mampu mengendalikan nafsu syhawatnya. Lalu, seperti umum diketahui, orang yang mampu mengendalikan nafsunya, ia akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan, dan sebaliknya orang yang dikendalikan oleh nafsunya, ia akan binasa dan celaka. Inilah menurut Ghazali, keutamaan terbesar dari lapar.

Di samping itu, terdapat keutamaan lapar yang lain lagi, yaitu terbukanya peluang dan kekuatan ibadah di malam hari. Dikatakan, orang yang kenyang atau kekenyangan, akan mudah terserang oleh rasa kantuk dan tidur, sedangkan orang yang lapar atau sedikit makan dan minum, ia pasti tahan bangun dan melek malam.

Inilah sesungguhnya makna firman Allah, ''Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah).'' (QS Adz-Dzariyat [51]: 17-18). Wallahu A'lam!

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 17-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268823&kat_id=14

Budaya Konsumtif

Oleh : Rokhmin Dahuri

''Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.'' (QS Al-Isra' [17]: 26).

Firman Allah SWT ini sangat penting untuk dihayati dan diamalkan oleh kita yang menjalankan ibadah puasa. Karena, meski di bulan Ramadhan kita dapat menahan lapar dan dahaga, namun acapkali tak mampu untuk menahan diri dari sifat boros. Padahal salah satu hikmah ibadah puasa adalah momentum untuk membuang sifat konsumtif dan secara simultan menumbuh-kembangkan kepedulian muslim yang mampu terhadap kaum dhuafa.

Begitu mudah kita terjangkit penyakit gila belanja (shopaholic). Budaya boros ini menjangkiti hampir semua lapisan usia di Tanah Air. Anak-anak lebih mementingkan pulsa telepon selular ketimbang menabung untuk keperluan sekolah. Ibu rumah tangga terlalu banyak belanja untuk make up, perhiasan, perabotan, dan makanan. Sementara kaum bapak bergaya hidup mewah demi gengsi.

Puasa sejatinya menanamkan etos penyadaran bagi manusia untuk mengukur dan mengendalikan diri, agar kehidupannya dapat lebih terarah, produktif dan bermakna bagi dirinya serta sesama umat manusia.

Perenungan ini mutlak diperlukan, agar puasa tidak hanya menjadi rutinitas ibadah tahunan tanpa makna. Jangan sampai di bulan Ramadhan kita justru bertambah boros daripada bulan-bulan yang lain. Sementara pesan puasa yang menuntut kita untuk bersedekah dan berbagi kelebihan kepada sesama malah terlupakan.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 16-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268697&kat_id=14

Monday, October 16, 2006

Mengoptimalkan Iktikaf

Oleh : KH Athian Ali M Da'i MA

Secara syara', iktikaf mengandung pengertian, ''tinggal untuk waktu tertentu di dalam masjid dengan niat beribadah kepada Allah SWT.'' Dasar hukumnya, di samping firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 125 dan 187, juga hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan iktikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, sejak beliau tiba di Madinah sampai dengan wafatnya. (HR Bukhari dan Muslim)

Iktikaf dapat dilaksanakan selama bulan Ramadhan dan juga di luar Ramadhan. Saat yang terbaik adalah 10 hari terakhir dalam bulan Ramadhan. Jumhur (mayoritas) ulama sepakat, iktikaf sunah hukumnya, kecuali iktikaf nazar. Mazhab Hanafi membaginya kepada yang wajib yakni, iktikaf nazar sunnah mu'akkadah pada 10 hari terakhir Ramadhan dan yang sunnah mustahab pada waktu-waktu selain 10 hari terakhir Ramadhan.

Iktikaf dimaksudkan untuk menyucikan ruh dan mengembalikannya kepada fitrah iman (QS Al A'raaf [7]: 172) dan fitrah Islam (QS Ar Rum [30]: 30) dengan berupaya mematikan kecenderungannya fujur (kefasikan) dan menghidupkan kecenderungan takwa (QS Asy syams [91]: 7-8). Membebaskan diri sementara dari kesibukan dunia agar terbebas dari penyakit al wahn, yakni hubbu al dunia wa qorohiyah al maut (cinta kepada dunia dan takut akan kematian).

Berupaya mengusir nafsu setani dari dalam diri lewat upaya taqarrub(mendekatkan) diri kepada Allah SWT dengan tidak puas hanya melaksanakan yang diwajibkan, tapi berusaha memperkaya diri dengan ibadah-ibadah yang disunahkan. Merasa belum cukup dengan tidak melakukan yang diharamkan, tapi juga berupaya menjauhi yang dimakruhkan.

Melakukan latihan ruhaniyah (tahziib an nafs) seperti yang dimaksudkan Imam Al Ghazali dengan thariqaat. Beliau mendefinisikannya sebagai, ''Berusaha dengan sungguh-sungguh hidup di jalan Allah, dengan menghapus segala sifat yang tercela, serta memutuskan hubungan dengan segala bentuk kehidupan yang tidak diridhai Allah SWT.'' Sasaran utamanya adalah menggapai posisi sebagai `ibad ar rahmaan (hamba yang baik dari Allah Yang Maha Pengasih) dengan sekian kriterianya yang terdapat dalam surah Al Furqaan (25) ayat 63-77.

Di antaranya menjauhkan diri dari sifat takabur, memanfaatkan sebagian malam dengan shalat tahajud. Menghindarkan diri dari perbuatan ahli neraka. Membaca dan menghayati Alquran serta berupaya mengamalkannya. Memperbanyak zikrullah dan istighfar. Bertafakur tentang Allah SWT dengan segala sifat 'Maha'-Nya.

Di samping itu, memanfaatkan saat-saat kedekatan diri dengan Al Khalik saat beriktikaf, untuk bermuhasabah dengan mempertanyakan kepada diri. Misalnya, andai kata kehidupan di alam dunia ini berahir esok hari sudah siapkah mempertanggungjawabkan amanah kehidupan ini di hadapan Allah SWT? Sudah cukupkah bekal iman dan amal saleh untuk dapat meraih rahmat dan maghfirah-Nya? Allahu Akbar! Wallahu a'lam bish-shawab

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 14-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268541&kat_id=14

Friday, October 13, 2006

Iktikaf di Masjid

Oleh : Prof Dr Azyumardi Azra MA

Iktikaf di masjid. Inilah anjuran mulia dari agama Islam bagi orang-orang yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Iktikaf di masjid berarti berdiam diri atau mengasingkan diri di dalam masjid dengan tujuan ibadah; merenung, berintrospeksi (muhasabah), dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah..

Dalam sejarah (sirah) Nabi Muhammad SAW disebutkan, kebiasaan pengasingan diri di tempat sunyi dan sepi telah dilakukan sejak masa awal Rasulullah di Mekkah. Nabi SAW sendiri menjauhkan diri dari kebisingan duniawi dengan mengasingkan diri di Gua Hira, sampai kemudian menerima wahyu pertama, sebagai tanda kenabian dan kerasulannya. Pengasingan diri semacam ini biasanya disebut dengan tahannuts atau tahanuf -- bukan iktikaf.

Tidak seperti pada masa-masa awal kenabiannya, Rasulullah kembali melakukan pengasingan diri pada masa akhir kehidupannya; tidak lagi di gua, tetapi di dalam masjid. Bentuk pengasingan semacam inilah yang kemudian disebut dengan iktikaf. Nabi SAW melakukan iktikaf di masjid setelah beliau menerima perintah puasa di dalam bulan Ramadan.

Perintah iktikaf sebagai salah satu bagian dari ibadah di dalam Islam didasarkan pada teks ayat Alquran, ''Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.'' (QS Al-Baqarah [2]: 125), dan ''Janganlah kamu mencampuri istrimu ketika kamu sedang beriktikaf di masjid.'' (QS al-Baqarah [2]: 187).

Kedua ayat Alquran ini memberi tuntunan, tempat pelaksanaan iktikaf atau tempat untuk menyendiri adalah di dalam masjid. Dengan begitu jelas, umat Islam tidak boleh melakukan pengasingan diri selain di masjid, seperti di kuburan atau di tempat-tempat lain yang dapat menyekutukan Allah, karena iktikaf hanya ditujukan untuk bersama Allah.

Dalam konteks ini jelas, Islam menjadikan masjid sebagai tempat suci yang sentral. Selain sebagai salah satu simbol terjelas dari eksistensi Islam, masjid juga sebagai tempat kegiatan ritual-sosial.

Dengan demikian, masjid dapat fungsional untuk menjadi salah satu pusat terpenting pembangunan kembali peradaban Islam. Dan, beriktikaf di dalam masjid pada hari-hari puasa di bulan Ramadan ini merupakan salah usaha untuk melakukan instrospeksi demi mengembalikan kejayaan dan peradaban Islam dengan landasan tauhid kepada Allah, di masa kini dan mendatang. Wallahu a'lam.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 13-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268362&kat_id=14

Thursday, October 12, 2006

Nuzul Al Quran

Kembali kita memperingati turunnya Alquran kepada Nabi Muhammad SAW yang lazim disebut Nuzul Alquran. Peringatan ini dinilai penting karena dimaksudkan untuk menggugah dan meningkatkan kembali kedudukan Alquran sebagai pedoman hidup manusia dan petunjuk dalam kehidupan individu, berbangsa, dan bernegara.

Alquran telah meletakkan dasar-dasar pedoman hidup bagi umat manusia yang kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi. Maka, sebagai khalifah kita harus taat kepada aturan main yang sudah digariskan Allah SWT. Tanpa itu manusia akan kehilangan arah dan akan bertindak sewenang-wenang yang pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan di muka bumi.

Alquran di samping mengajarkan keseimbangan hidup, juga menjadikan kebaikan, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan yang selalu dicita-citakan seperti yang kita inginkan. Begitu pula Alquran tidak mengajarkan kezaliman, kekerasan, apalagi terorisme. Karenanya, sangat disayangkan apabila perilaku umat Islam tidak mencerminkan ajaran Alquran yang memerintahkan kepada kita agar mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Masalahnya adalah sudahkah kita sebagai umat Islam mampu memahami isi kandungan Alquran dan kita implementasikan dalam kehidupan. Kita akui secara jujur bahwa umat Islam di Indonesia masih banyak yang belum mampu membaca Alquran dengan baik dan benar, apalagi memahami isi kandungannya, maka tugas kita sebagai Muslim adalah meningkatkan kualitas diri kita sehingga kita mampu membaca Alquran dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Memerhatikan kondisi tersebut kiranya tepat kalau peringatan Nuzul Alquran pada malam hari ini dijadikan sebagai momentum untuk melakukan koreksi dan introspeksi seraya membulatkan tekad untuk melakukan perubahan dan perbaikan dengan semangat kandungan Alquran.

Marilah kita bangun kerukunan dan persatuan serta kita jaga stabilitas nasional sehingga tercipta suasana yang kondusif untuk mewujudkan cita-cita menjadi bangsa dan negara Indonesia yang kuat dan bermartabat, adil dan sejahtera. Dengan demikian, kehidupan bangsa kita dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Maka, dalam membangun bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera, harus kita bakukan secara bersama saling menghormati tidak saling mencurigai, terutama antara ulama dan umara. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, ''Dua golongan manusia apabila keduanya saling damai dan rukun maka selamatlah kehidupan umatnya tetapi apabila hubungan keduanya rusak, maka akan rusaklah kehidupan umatnya yaitu ulama dan umara.'' (Al Hadits)

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 12-10-2006
http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268186&kat_id=14

Wednesday, October 11, 2006

Memberdayakan Dhuafa

Oleh : Ust Aslih Ridwan SAg

Apakah pengikut Muhammad yang kali pertama menyambut seruan agama ini terdiri atas orang-orang elite atau orang-orang dhuafa? Begitu satu dari 10 pertanyaan Heraclius, raja Romawi kepada Abu Sofyan bin Harb. Jawab Abu Sofyan, ''Mereka kebanyakan dhuafa.'' Kemudian kaisar mengatakan begitulah pengikut para rasul utusan Tuhan sebelumnya. ''Bila yang Anda katakan itu benar, maka Muhammad akan menguasai tempat pijakan kedua telapak kakiku ini. Aku semula mengira bahwa rasul yang diutus itu bukan dari kalangan kaum kalian.

Seandainya aku tahu bahwa aku bisa bertemu dengannya, aku akan datangi dia dan mencuci kedua talapak kakinya.'' (HR Imam Bukhari dari Abu Sofyan) Ironisnya, umat Muhammad pada hari ini kurang dekat dengan kaum dhuafa bahkan cenderung mengabaikannya. Sehingga, mereka kaum yang terpinggirkan dijadikan objek pemurtadan dan dieksploitasi.

Padahal, menolong dan membela kaum yang lemah mustadh'afien adalah tanda-tanda orang yang bertakwa (QS Al Ma'arij [70]:24-25). Mengabaikan fakir miskin, tiada rasa empati serta kurangnya kepedulian terhadap problem mereka, maka dianggap mendustakan agama (QS Al Maa'un [107]:1-3). Mari kita berkaca lagi.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 11-10-2006
http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=268011&kat_id=14

Tuesday, October 10, 2006

Akhlaq dan Kedermawanan

Oleh : H Saifullah Yusuf

Sedahsyat apa pun badai persoalan, seberat apa pun himpitan beban, seorang mukmin senantiasa percaya akan pertolongan Allah. Bahwa, Allah memberikan pertolongan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Masalahnya, apakah kita ini pantas ditolong? Bahkan, pantaskah kita mengharapkan pertolongan-Nya? Maling tak pantas mengharap pertolongan polisi. Ia harus insaf dan bertobat dulu. Demikian pula adab kita di hadapan Allah. Kita boleh mengharap pertologan Allah kalau kita pantas. Kapan? Setelah kita insaf, bertobat, dan membaguskan agama-Nya.

Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Asaakir, dari Jabir bin Abdillah RA, dari Rasulullah SAW, Allah berfirman, ''Inna hadza diinun irtadloituhu linafsi, lan yushlihahu illaa as-sakhoo-u wa husnul khuluq, fa akrimuuhu bihima maa shohibtumuuhumaa, inilah agama yang Aku ridhai untuk diri-Ku. Tidak ada yang mampu membuatnya bagus, kecuali kedermawanan dan akhlak yang bagus. Karena itu, muliakanlah agama ini dengan yang dua itu selama kamu melestarikannya.''

Mengapa kedermawanan? Sebab harta adalah titipan Allah. Titipan itu bisa benar-benar menjadi anugerah kalau manfaatnya mampu menetes kepada lingkungan. Bagi seorang mukmin, segala isi dunia ini, termasuk harta, harus berfungsi ibadah.

Ibadah berarti infak. ''Wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquun, dan sebagian dari yang Kami anugerahkan, mereka infakkan: derma.'' Sungguh merugi, hartawan yang tidak demawan. Rugi diri sendiri, rugi pula masyarakatnya.

Dalam sebuah hadisnya Rasulullah SAW bersabda, bahwa di antara empat hal yang menentukan tegaknya dunia (masyarakat) adalah dermawannya kaum berpunya, di samping ilmunya para ulama, hadirnya pemimpin yang adil, dan doanya orang miskin.

Lebih lanjut, tujuan kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. Sedangkan akhlak itu sendiri 'melayani' dua matra: hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minan naas (hubungan dengan sesama manusia). Tidak dapat disebut berakhlak mulia kalau kedua matra itu tak terlayani dengan sebaik-baiknya. Bukan akhlak mulia bila keshalihan ritual tanpa dibarengi keshalihan sosial atau sebaliknya. Sama halnya dengan khusyuk (merendahkan diri di hadapan Allah), tak dapat dipisah dari tawadhu (berendah hati di hadapan makhluk).

Marilah kita jadikan diri kita pantas memperoleh pertolongan Allah dengan membaguskan agama-Nya. Marilah membaguskan agama Allah dengan kedermawanan dan akhlak mulia. Momentum Ramadhan adalah saat yang pas bagi kita untuk berubah menjadi lebih baik. Menjadi hamba yang khusyuk sekaligus tawadhu. Wallahul Muwaffiq.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 10-10-2006
http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=267857&kat_id=14

Monday, October 09, 2006

Hari Raya untuk Semua

Oleh : Yusuf Mansur

Suatu hari di bulan Ramadhan beberapa tahun lalu, saya pulang dengan tentengan isi belanjaan untuk persiapan hari raya. Sampai rumah, saya menemukan Basri, adik ipar saya yang berusia tujuh tahunan, sedang bermain bersama Anil, kawan sebayanya.

''Nil,'' panggil saya kepada Anil. ''Sudah dibeliin apa saja oleh ayahmu?'' Anak itu diam sejenak, sebelum kemudian menyahut, ''Basri sudah Om beliin kelereng....'' Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Matanya memerah. Anil tiba-tiba bangun meninggalkan kelerengnya dan pulang dalam keadaan menangis.

Saya baru sadar, ayah Anil sejak beberapa bulan sebelumnya menganggur. Saya sedih, karena sebenarnya Anil baru saja terdiam dari menangis, ia merengek meminta dibelikan sesuatu untuk Lebaran. Dan, saya menyesal karena lupa membelikan sesuatu untuknya.

Tak sedikit anil-anil kecil yang nasibnya nestapa ketika akan menghadapi hari raya. Amal ibadah di bulan suci Ramadhan ini mestinya mendidik kita untuk lebih mencintai anak yatim dan orang miskin.

Ibadah puasa dengan menahan rasa lapar dan haus di siang hari, adalah bentuk manifestasi dari kecintaan kita kepada anak yatim dan orang miskin yang selalu kekurangan. Begitu pula ibadah sedekah dan infak yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW di bulan suci Ramadhan, mestinya mengikis sikap kikir kita kepada saudara kita yang tak berpunya.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 09-10-2006
http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=267684&kat_id=14

Friday, October 06, 2006

Ramadhan dan Pendidikan Diri

Oleh : Dr Masyitoh Chusnan MAg

Di antara ciri khas Ramadhan adalah meningkatnya kesadaran setiap Muslim untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Suasana religius terlihat di mana-mana, dibarengi dengan tumbuh suburnya perilaku keagamaan yang terjadi di bulan suci ini. Umat Islam mempersiapkan dirinya untuk dapat lebih banyak beribadah, meningkatkan prestasi sosialnya, mengendalikan dirinya dari hawa nafsu, serta meningkatkan ketakwaannya.

Puasa merupakan sarana yang sangat efektif untuk menahan segala kecenderungan negatif. Sebaliknya, puasa memotivasi diri untuk melakukan semua bentuk kebaikan dan amaliyah positif. Di sinilah proses pendidikan kualitas diri sedang terjadi. Dalam proses ini, sesungguhnyalah kaum Muslimin sedang meneladani Allah, karena setiap saat Allah ada dalam `kesibukan' (kullu yaumin Huwa fi sya'n).

Jika menengok sejarah Rasul, justru prestasi besar yang diraih oleh Rasul terjadi pada bulan Ramadhan. Misalnya kemenangan Perang Badar, serta keberhasilan menguasai Kota Makkah.

Sepeninggal beliau, prestasi umat Islam juga telah ditorehkan dalam sejarah di bulan suci ini. Kemenangan umat Islam menaklukkan Spanyol dapat diraih di bulan Ramadhan. Kemenangan menghadapi Perang Salib, demikian pula melawan bangsa Tartar terjadi pada bulan Ramadhan. Proklamasi kemerdekaan RI pun terjadi pada bulan Ramadhan.

Ramadhan adalah bulan penuh berkah dari semua sisi kebaikan. Kaum Muslimin harus mengambil keberkahan Ramadhan dari semua aktivitas positif dari berbagai aspek kehidupan, termasuk juga aspek ekonomi, sosial, budaya, dan pemberdayaan umat.

Rasulullah SAW menjadikan Ramadhan sebagai bulan penuh amaliah dan aktivitas positif. Selain yang disebutkan di atas dan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, beliau juga mengintensifkan kegiatan pendidikan di bula suci ini. Semoga dengan meneladani Allah dan Rasulullah, kualitas diri kita pada Ramadhan ini semakin meningkat.

Jika seorang Muslim tetap istiqamah mengisi kehidupannya dengan meniti jalur yang diridhai Allah yaitu jalur yang dipandu oleh iman, insya Allah janji Allah akan dapat diraih. Meniti jalur ini, memang tidak mudah, penuh perjuangan dan pengorbanan. Salah satu perjuangannya adalah melalui ibadah Ramadhan, khususnya puasa, yang merupakan 'jihad akbar' melawan hawa nafsu. Semoga kita selalu memenangi perang melawan hawa nafsu, sampai Ramadhan tahun mendatang. Wallahu'alam bi al shawab.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 06-10-2006
http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=267403&kat_id=14

Thursday, October 05, 2006

Kriteria Tobat

Oleh : Dr A Ilyas Ismail MA

Bulan Ramadhan dapat dijadikan sebagai syahr al-taubah, yaitu bulan tobat. Di bulan ini, kaum Muslim diperintahkan agar banyak melakukan taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, juga memperbanyak kebaikan dan amal shaleh, serta membersihkan diri dari berbagai dosa dan maksiat kepada Allah SWT.

Dalam terminologi agama, upaya kita untuk membersihkan diri dari dosa-dosa itu, dinamakan tobat. Pada intinya tobat mengandung makna meninggalkan dosa-dosa, baik kecil (al-Shaghair) apalagi besar (al-kabair) disertai penyesalan yang mendalam. Secara sufistik, tobat dipandang sebagai pangkal tolak (tangga pertama) dalam perjalanan menuju Allah (al-tawbah ashl kulli maqam). Tanpa tobat, manusia tidak bisa mendapatkan akses menuju ke jalan atau orbit Tuhan.

Menurut Ghazali, tobat melibatkan tiga aspek sekaligus, yaitu aspek pengetahuan manusia (kognisi), aspek sikap mental (afeksi), dan aspek perbuatan (behavioral). Aspek pengetahuan dalam arti kesadaran manusia tentang bahaya dan akibat-akibat buruk dari perbuatan dosa, akan memengaruhi sikap, dan selanjutnya memengaruhi prilaku dan perbuatannya. Bagi Ghazali, tobat yang baik adalah tobat yang memenuhi tiga kriteria. Pertama, meninggalkan dosa-dosa (al-iqla' `an al-dzunub). Kedua, berjanji tidak mengulangi (al-`azm an la ya'uda). Ketiga, menyesali diri atas dosa-dosa yang diperbuat dan atas hilangnya kesempatan dan peluang baik secara sia-sia (al-nadam `ala ma fata).

Kriteria yang ketiga di atas, yaitu penyesalan, dipandang oleh Ghazali sebagai kunci sukses tobat. Hal ini, karena tanpa penyesalan yang mendalam, sukar dibayangkan seseorang akan benar-benar bertobat. Itu sebabnya, Nabi SAW memandang bahwa penyesalan itu identik dengan tobat itu sendiri, sebagaimana sabda beliau, ''al-Nadamu Taubatun, penyesalan adalah tobat itu sendiri.''

Orang yang benar-benar menyesal, menurut Ghazali, ditandai oleh tiga hal. Pertama, hatinya lentur dan sensitif serta tidak membeku dan membatu seperti batu cadas (riqqat al-qalb). Kedua, air matanya mudah meleleh tanpa sadar (ghazarat al-dumu'). Ketiga, ia kapok dan benci pada dosa-dosa yang dahulu pernah dinikmatinya. Orang yang bertobat dengan tingkat penyesalan seperti di atas layak mendapat pengampunan dari Allah SWT.

Inilah sesungguhnya makna firman Allah: ''Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.'' (QS Ali Imran [3]: 135-136). Wallahu A'lam

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 04-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=267108&kat_id=14

Tuesday, October 03, 2006

Shaum yang Diterima

Oleh : KH Ma'ruf Amin

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ''Telah bersabda Rasulullah SAW, setiap amal anak bani Adam adalah untuknya kecuali puasa, ia adalah untukku dan ada pahala dengannya. Dan sesungguhnya puasa itu adalah benteng pertahanan, pada hari ketika kamu puasa janganlah berbuat keji, jangan berteriak-teriak (pertengkaran), apabila seorang memakinya sedang ia puasa maka hendaklah ia katakan, 'Sesungguhnya saya sedang puasa.' Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya sungguh bau busuknya mulut orang yang sedang puasa itu lebih wangi di sisi Allah pada hari kiamat daripada kasturi.

Dan bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan, apabila ia berbuka ia gembira dengan bukanya, dan apabila ia berjumpa dengan Rabbnya ia gembira karena puasanya.'' ( HR Al-Bukhary dan Muslim) Dalam kaitan ini Rasulullah SAW dengan tegas bersabda, ''Kam min shaimin laisa lahu min shiyamihi illalju'i wal 'athasyi, berapa banyak dari mereka yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa, kecuali rasa lapar dan haus.''

Agar ibadah puasa yang kita laksanakan selama bulan suci Ramadlan ini, dapat diterima oleh Allah SWT, hendaknya ibadah puasa tersebut memenuhi syarat-syarat sahnya puasa. Yang lebih penting lagi adalah niat. Niat harus benar-benar ikhlas, semata-mata karena Allah SWT kemudian tidak disertai dengan perilaku yang membatalkan puasa.

Lafal niat ini sangat penting diucapkan oleh seseorang yang akan melaksanakan ibadah puasa. Oleh karena itu, ada baiknya jika setiap malam seusai shalat tarawih berjamaah secara bersama-sama melafalkan niat puasa semata-mata karena Allah SWT.

Rasulullah SAW memberi bimbingan bahwa Allah Maha Pencemburu (ghayyur) jika seorang hamba berniat puasa bukan karena Allah, tapi karena niat yang lainnya.

Tindakan dan perilaku yang dapat membatalkan puasa, antara lain, berbohong, menipu, mengadu domba, ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), ataupun menyaksikan sesuatu dengan pandangan yang penuh syahwat. Walaupun secara hukum ibadah puasanya benar, namun jika perilaku-perilaku tersebut di atas dilakukan, maka bisa jadi pahala puasanya batal. Termasuk di dalamnya menyaksikan tayangan ghibah di layar kaca selama Ramadhan, dapat membatalkan pahala puasa.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, ''Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda, barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan kebohongan, maka tidak ada bagi Allah hajat (untuk menerima) dalam hal ia meninggalkan makan dan minumnya.'' Maksudnya Allah tidak merasa perlu memberi pahala puasanya.

Marilah kita jaga dan pelihara pahala ibadah shaum dan puasa dari hal-hal yang membatalkannya. Jangan sampai seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, kita tidak mendapatkan apa-apa dari amal ibadah puasa kita kecuali rasa lapar dan haus.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 03-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=266954&kat_id=14

Monday, October 02, 2006

Jangan Berputus Asa

Oleh : Dr Hj Tutty Alawiyah AS

Dalam kehidupan, manusia harus memiliki sebuah tujuan. Seorang yang telah mendapatkan Islam mempunyai tujuan dan arah yang jelas. Dia mempunyai pedoman dan petunjuk berupa Alquran dan As-Sunah, yang akan mengantarkannya sampai ke tujuan dengan selamat.

Islam mengajarkan hidup berkeseimbangan dan memahami bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang menuju tujuan yang benar, yaitu kepada jalan akhirat yang Tuhan sudah sediakan. Jalan menuju kepada Allah dan jalan kekekalan ke negeri akhirat itu ada fase-fasenya. Dunia, adalah satu fase saja.

Bagi orang yang mempunyai agama dan dia mengikuti Islam secara kaffah, dia akan dapat hidup dengan seimbang dan hidup dengan kebenaran dan kedamaian. Tetapi tidak mudah untuk mencapai keseimbangan karena di dunia ini banyak daya tarik, godaan yang bisa membuat manusia lupa, tergelincir, tersesat, dan lain-lain.

Hidup ini tidak bisa dijalani dengan seenaknya. Namun bukan berarti tidak bisa dilalui dengan mudah. Kalau saja manusia itu lebih bisa merenung akan tercapai bahwa hidup ini bisa menjadi mudah dan setiap persoalan selalu ada solusi dan jalan keluar yang baik. Adalah sangat disayangkan kalau manusia banyak yang tergelincir dan terpuruk berkepanjangan hanya karena merasa ujian-ujian yang diterimanya dia rasa tidak bisa mengatasinya.

Muslim yang 'menemukan jalannya' adalah Muslim seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya: ''Kalau senang ia bersyukur, kalau susah dia bersabar.''

Cobaan itu datang dari Allah. Orang-orang yang sabar terhadap musibah adalah orang-orang yang akan mendapat kabar gembira dari Tuhannya, seperti firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 155-157. ''Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yatu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, innaalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.''

Ramadhan adalah bulan yang pas untuk menggembleng diri menjadi Muslim yang menemukan jalannya, yaitu jalan Tuhan. Satu bulan penuh dalam setahun ini Allah berkehendak meningkatkan derajat ketakwaan hamba-hambanya. Salah satu mata 'pelajaran' penting dalam ibadah puasa adalah melatih kesabaran, supaya hidup selalu dalam keseimbangan.

Melatih kesabaran ini sangat penting karena manusia sekarang ini sering putus asa apabila menghadapi sebuah kenyataan yang pahit. Kita lihat saat ini banyak sekali orang yang mudah putus asa. Mendapat sedikit ujian, dia langsung menyerah. Mendapat ujian berupa ketidakmampuan ekonomi, dia dengan segera berpindah keyakinan.

Semoga melalui ibadah Ramadhan ini, iman kita dimantapkan. Rahmat Tuhan itu sangat luas. Terlalu sayang bila kita menyerah terhadap segala cobaan, yang adalah hanya ujian kecil dari Allah dalam satu fase -- yaitu alam dunia -- dalam perjalanan menuju-Nya.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 02-10-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=266783&kat_id=14