Friday, September 29, 2006

Puasa dan Kesehatan

Oleh : Muhtar Sadili

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana juga telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS Al-Baqarah [2]: 183). Dan, andai kalian memilih puasa tentulah itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 184).

Dua ayat di atas menggambarkan tentang kewajiban puasa dan manfaatnya. Selain menjadikan umat islam bertakwa, puasa juga penuh manfaat, antara lain bagi kesehatan badan. Jauh-jauh hari Rasulullah telah bersabda, ''Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.''

Berbagai penelitian ilmiah dan terperinci terhadap organ tubuh manusia dan aktivitas fisiologisnya menemukan bahwa puasa sangat dibutuhkan oleh tubuh, sama seperti halnya makan, bergerak, dan tidur. Jika manusia tidak bisa tidur, dan tidak makan selama rentang waktu yang lama, maka ia akan sakit, karena tubuhnya tidak beristirahat secara cukup. Maka, tubuh manusia pun akan mengalami hal yang tidak menguntungkan jika ia tidak berpuasa.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasaa'i dari shahabat Abu Umamah: ''Wahai Rasulullah, perintahkanlah kepadaku satu amalan yang Allah akan memberikan manfaat-Nya kepadaku dengan sebab amalan itu.'' Maka Rasulullah bersabda, ''Berpuasalah, sebab tidak ada satu amalan pun yang setara dengan puasa.''

Puasa bisa membantu badan dalam membuang sel-sel yang sudah rusak, sekaligus hormon ataupun zat-zat yang melebihi jumlah yang dibutuhkan tubuh. Dan puasa, sebagaimana dituntunkan oleh Islam adalah rata-rata 14 jam, kemudian baru makan untuk durasi waktu beberapa jam, merupakan metode yang bagus untuk membangun kembali sel-sel baru.

Dan, ini sangat berbeda dengan apa yang dipahami kebanyakan orang, bahwa puasa menyebabkan orang menjadi lemah dan lesu. Puasa yang bagus bagi badan itu adalah dengan syarat dilakukan selama satu bulan berturut-turut dalam setahun, dan bisa ditambahkan tiga hari setiap bulan.

Hal ini sesuai benar dengan anjuran Rasulullah dalam sebuah hadisnya: ''Siapa yang berpuasa tiga hari setiap bulan, maka itu sama dengan puasa dahr (puasa sepanjang tahun).''

Kalau memakai analisis matematika Alquran, kita akan menemukan relevansinya dengan firman-Nya: ''Barangsiapa yang beramal dengan satu perbuatan baik, maka Allah memberikan kepadanya 10 kali lipat dari amalan itu.'' (QS Al-An'am [6]: 160)

Analoginya, satu hari dihargai 10 hari oleh Allah, maka tiga hari dihargai 30 hari, dan bila tiga hari setiap bulan maka menjadi 36 hari. Dan ini senilai dengan 360 hari atau satu tahun dalam penghargaan Allah.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 29-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=266459&kat_id=14

Thursday, September 28, 2006

Puasa dan Keberpihakan

Oleh : Didin Hafidhuddin

Salah satu watak dasar manusia adalah kecenderungannya untuk selalu berpihak pada orang atau kelompok orang atau pada perilaku yang sejalan dengan keinginannya. Kelompok orang yang berperilaku baik akan selalu memiliki pengikut, sama halnya dengan kelompok orang yang berperilaku buruk pun akan memiliki pengikut pula. Hal ini merupakan sunatullah yang bersifat eksak (pasti) dan konstan (tetap), kapan dan di manapun.

Tidak akan mungkin ada orang atau kelompok orang yang berperilaku netral, meski menyatakan dirinya sebagai orang-orang yang netral. Atau pada waktu yang bersamaan, orang tersebut berpihak pada kebaikan sekaligus pula berpihak pada keburukan. Allah SWT berfirman dalam QS Al Azhab [33] ayat 4: ''Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati (dua kecenderungan dan dua buah pikiran) dalam rongganya ....''

Puasa Ramadhan yang sedang kita lakukan pada hakikatnya adalah mengasah dan menajamkan keberpihakan pada hal-hal yang baik, positif, dan maslahat bagi kebidupan pribadi atau masyarakat. Di sisi lain, juga memandulkan keinginan untuk berpihak pada hal-hal yang buruk, negatif, dan merusak tatanan kehidupan.

Sebagai contoh, puasa menajamkan keberpihakan pada kejujuran. Sehingga, orang yang berpuasa dengan baik dan benar diharapkan akan selalu bertindak jujur, baik jujur pada diri sendiri, keluarga, jujur pada amanah dan tanggung jawab, serta terlebih lagi jujur pada Allah SWT. Kejujuran inilah yang akan mengantarkan pada kebaikan, sebaliknya, khianat dan dusta akan mengantarkan pada keburukan.

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, ''Hendaklah kalian jujur karena kejujuran itu akan mengantarkan pada kebaikan, dan kebaikan itu akan mengantarkan pada nikmat surga. Seseorang yang berusaha untuk terus-menerus jujur, maka Allah akan mencatatnya sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian dusta dan khianat, karena dusta itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan kejahatan akan mengantarkan pada azab neraka. Seseorang yang terus-menerus dusta, maka kelak akan dicatat oleh Allah sebagai pendusta.''

Puasa juga menajamkan keberpihakan pada orang-orang lemah yang dekat dengan penderitaan dan berbagai kesulitan. Tidak mungkin orang yang berpuasa dengan baik dan benar akan berperilaku kejam, kasar, dan zalim kepada mereka. Rasa lapar dan haus yang dialami oleh yang berpuasa akan menumbuhkan kasih sayang kepada mereka yang hidupnya selalu lapar.

Keberpihakan kepada mereka (dalam arti memerhatikan nasib mereka) pada hakikatnya akan mengundang pertolongan dan rezeki dari Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya kalian akan mendapatkan pertolongan dan rezeki dari Allah kalau kalian berpihak pada orang-orang yang lemah.'' Semoga kita termasuk dalam barisan hamba yang mampu 'menangkap' hikmah puasa. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 27-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=266182&kat_id=14

Wednesday, September 27, 2006

Memacu Amalan Ramadhan

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Saudaraku, dalam satu tahun Allah menciptakan satu bulan istimewa, bulan yang penuh kasih sayang, barokah, dan ampunan. Sungguh bulan yang benar-benar beda dengan sebelas bulan lainnya, hari demi harinya berbeda, jam demi jamnya berbeda, detik demi detik berbeda; begitu spesial. Inilah bulan Ramadhan. Bulan yang sangat dirindukan oleh umat Islam sedunia.

Di bulan Ramadhan ini, Allah SWT menjanjikan akan menjamu hamba-hamba yang beriman. Sedemikian dahsyatnya jamuan Allah, sampai-sampai bagi siapa pun yang melewati saat-saat Ramadhan ini dengan sebaik-sebaiknya, maka dia dijanjikan mendapat jaminan keselamatan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, marilah kita manfaatkan bulan suci ini sebagai sarana peningkatan kualitas amal ibadah kita kepada Allah. Kita jadikan bulan ini sebagai sarana untuk mencapai tujuan mulia kita, yaitu memperbaiki mutu diri kita.

Apa sebenarnya yang harus kita perbaiki dari diri kita ini? Salah satu jebakan dari kehidupan duniawi sekarang adalah kita merasa aman dan bangga dengan aksesori dunia. Kita merasa senang dengan keindahan penampilan. Kita merasa senang mengeluarkan biaya yang mahal untuk memperindah rumah kita. Kita juga mau mengkredit tiap bulan untuk mobil mewah agar diri kita tampak lebih indah. Kita semakin bersungguh-sungguh memperindah aksesori duniawi. Tapi, tak banyak orang yang bersungguh-sungguh memperindah kepribadiannya dengan akhlak mulia dan kualitas ibadah yang baik.

Saudaraku, mari kita bertekad, pantang bagi kita menyia-nyiakan perpindahan detik demi detik di bulan Ramadhan ini tanpa peningkatan amal. Ramadhan ini sungguh sangat berharga bagi kita sehingga kita harus memperhitungkan agar setiap ucapan, pikiran, dan perilaku kita menjadi amal shalih.

Mari kita isi bulan Ramadhan ini dengan melakukan amal ibadah, tidak saja ibadah secara ritual namun juga ibadah yang bersifat sosial. Salah satu caranya, kita dapat membuat skala prioritas dalam bulan Ramadhan ini. Pertama, manajemen waktu kita harus terkendali dengan baik. Kedua, kita harus mempunyai target yang jelas. Tentang shalat kita, misalnya. Kita evaluasi kembali, apakah sudah khusyuk dan sesuai dengan yang dicontohkan Nabi?

Saudaraku, hal lain yang prioritas harus kita tekadkan di bulan Ramadhan adalah menjadi ahli sedekah. Tentu saja kemampuan ekonomi di antara kita berbeda-beda. Sedekah itu tidak diukur dari besar kecilnya, akan tetapi optimalisasi yang kita lakukan. Percayalah, tidak pernah berkurang harta dengan disedekahkan, melainkan bertambah, bertambah dan bertambah nilainya di hadapan Allah.

Isya Allah selepas Ramadhan nanti, kita dapat merasakan kekuatan perubahan dalam diri kita, menjadi pribadi takwa yang dicintai Allah dan disayangi makhluk-Nya. Selamat menikmati jamuan Allah di bulan Ramadhan, Saudaraku!

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 26-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=266046&kat_id=14

Monday, September 25, 2006

Membiasakan Bersyukur

Oleh : KH Dr Surahman Hidayat MA

Nama Luqmanul Hakim telah diabadikan Alquran pada surah ke-31. Disebut al hakim karena mendapatkan ''hikmah'' dari Allah SWT. Hikmah atau wisdom yang dimaknai sebagai kepandaian bersyukur kepada Allah (QS Luqman [31]: 12). Sedangkan hikmah, kata Al Thabari, adalah bimbingan Allah (taufiq Rabbani) kepada seseorang untuk memadukan antara ilmu tentang sesuatu, manfaat sesuatu, dan pilihan aplikasi yang sesuai ilmu. Itulah yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya yang shalih, Luqman, karena pandai bersyukur, baik kepada Allah maupun kepada sesama terlebih kepada kedua orang tuanya.

Semua orang sepakat bahwa sosok paling berjasa adalah kedua orang tua. Kasih keduanya berlangsung sepanjang jalan, meskipun tetap terbatas. Tetapi kasih Allah SWT tak kenal batas, mencakup segala sesuatu, dan selalu mendahului murka-Nya ketika dilecehkan oleh hamba-Nya. Kasih-Nya berupa pintu ampunan bagi siapa yang meminta juga selalu terbuka. Jasa ayah bunda terlalu besar untuk dibalas, apalagi samudra rahmat Allah yang tiada bertepi. Yang diminta hanyalah ''... berterima kasih kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.'' (QS Luqman [31]: 14).

Orang yang tidak pandai berterima kasih kepada sesama yang kebaikannya tampak dengan indera, lebih tidak mampu lagi bersyukur kepada Allah yang memerlukan iman untuk sekadar mengakui curahan nikmat-Nya yang zhahir (lahir) dan batin.

Perkara terpenting dalam hidup ini adalah syukur, tulis Imam Arrazi. Dengan syukur berarti ada iman dan ketaatan. Tidak ada gunanya seorang mengaku berilmu kalau belum faham, atau mengaku tahu agama kalau belum tahu nilai kebaikan dan bahaya mengabaikannya ('arif). Sedangkan kearifan seseorang diukur dengan kepandaiannya dalam bersyukur (syakur) dan itulah hikmah. ''Siapa yang mendapatkan hikmah berarti telah mendapatkan kebaikan yang banyak.'' (QS Al Baqarah [2]: 269), yang memang pantas diberikan kepada para 'ulil albab (cerdas cendekia). Kepandaian bersyukur = hikmah = kecerdasan.

Di saat mengucapkan kata-kata syukur (terima kasih, alhamdulillah), ada nikmat yang dirasakan jika disertai keikhlasan. Orang yang bersyukur berarti menghadirkan kebaikan untuk dirinya sendiri sebelum berbagi dengan orang lain. Sedangkan orang yang tidak suka, berarti mengundang kemudharatan/bencana atas apa yang ia miliki, dengan menggunakannya secara salah dan menjauhkannya dari keberkahan.

Dengan semangat afala akunu 'abdan syakura (tidakkah pantas aku jadi hamba yang besyukur) menjalani ibadah jadi ringan, beramal kebajikan jadi menyenangkan, karena pikiran kita positif. Ya Allah, bimbinglah kami agar selalu bersyukur, jadikanlah ia milik dan kebiasaan kami. Amin.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 25-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=265893&kat_id=14

Puasa Penempa Jiwa

Oleh : M Mahbubi Ali

Ramadhan adalah bulan suci umat Islam. Banyak keutamaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya pada bulan ini. Di bulan ini terdapat suatu malam yang keutamaannya seperti keutamaan ibadah seribu bulan, itulah malam Lailatul Qadar.

Bulan Ramdhan adalah bulan maghfirah (pengampunan dosa). Orang yang melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, akan diampuni dosa-dosanya. Rasulullah bersabda, ''Siapa yang berpuasa ramadhan karana iman dan mengharapkan ridha Allah SWT niscaya diampuni dosa-dosa yang telah berlalu baginya.'' (HR Bukhari Muslim).

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh rahmah. Rasulullah SAW bersabda, ''Tatkala Ramadhan telah tiba, pintu-pintu surga dibuka, sedangkan pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.'' (HR Bukhari Muslim). Begitu mulianya Ramadhan, bahkan dalam hadis yang lain Rasulullah menyebut jika para hamba Allah mengetahui keutamaan yang terdapat dalam bulan Ramadhan niscaya mereka akan berharap satu tahun semuanya dijadikan bulan Ramadhan.

Namun yang terpenting, bulan Ramadhan bisa dijadikan momentum utama untuk membangun jiwa yang tangguh. Puasa adalah sarana penempaan jiwa. Pertama, puasa bisa menjadi sarana untuk belajar mengendalikan diri. Dengan melaksanakan puasa, seseorang harus menahan diri dari nikmatnya makan dan segarnya minuman. Ia harus berusaha bertarung dengan lapar dan dahaga.

Lebih dari itu, orang yang puasa juga harus menahan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT, seperti dusta, berkata kotor, bersumpah palsu, bergunjing (ghibah), dan lainnya. Sebab, puasa sejatinya bukan hanya tidak makan dan tidak minum, tetapi juga 'puasa' dari menuruti hawa nafsu. Kedua, melatih jujur dan menjaga amanat. Di samping sebagai sarana mengendalikan diri, puasa juga bisa dijadikan sebagai latihan untuk menempa kejujuran dan membuktikan amanah.

Ketiga, merasakan penderitaan fakir miskin. Dengan puasa seseorang akan merasakan perihnya lapar dan haus. Perasaan seperti ini akan membangkitkan sikap empati kepada kaum miskin.

Keempat, berpikir dewasa dan jernih. Ketika perut kosong, pikiran akan jernih dan tenang sehingga mampu memutuskan dan menyelasaikan masalah dengan tenang dan tepat. Dengan puasa, seseorang akan bersikap lebih bijak, berpikir lebih jernih, dan bertindak lebih dewasa.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 23-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=265723&kat_id=14

Friday, September 22, 2006

Memanknai Sabar

Oleh : Pardan Syafrudin

Dalam firman ini, ada suatu sikap dan perilaku yang istimewa dalam pandangan Allah SWT. Sifat tersebut adalah sabar.

Jaminan Allah SWT terhadap orang yang bersabar adalah akan dicukupkan pahala mereka dalam jumlah yang tak terbilang, sebagaimana firman-Nya, ''Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.'' (QS Az-Zumar [39]:10).

Syekh Salim Al-Hilali, pensyarah kitab Riyadhush Shalihin karya Imam Nawawi, memaknai sabar dengan suatu sikap yang mampu mengendalikan diri dalam berbuat taat kepada Allah. Dari sini, akan sempurnalah kesabaran seseorang ketika memenuhi tiga unsur. Pertama adalah sabar dalam ketaatan. Dalam menjalani perintah-Nya, diperlukan pengabdian dan perjuangan yang luar biasa. Tuntutan dari sana sini mengharuskan kita istiqamah dan sabar untuk menjalaninya.

Unsur kedua adalah kesabaran dalam menghadapi kemaksiatan. Pendeknya, seorang Muslim dituntut menjauhi dan meninggalkan larangan dan kemaksiatan. Oleh karenanya Allah berfirman, ''Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan mengujimu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan orang-orang yang sabar di antara kamu sekalian.'' (QS Muhamad [47]:31).

Ketiga adalah kesabaran dalam mendapati musibah. Ketetapan dan takdir Allah kepada hambanya tentu berbeda. Termasuk di dalamnya ujian dari Allah dalam kesengsaraan ataupun sesuatu yang ditakutkan serta tidak di inginkan. Ketika kita menghadapi hal tersebut, kita bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah SWT tanpa keluh kesah, karena berprinsip semuanya datang dari Allah, dan Allah akan memberikan kepada hambanya dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 22-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=265594&kat_id=14

Thursday, September 21, 2006

Keutamaan Jujur

Oleh : Kholil Misbach Lc

Jujur merupakan sikap terpuji yang dianjurkan oleh agama, ia selalu bersanding dengan kebenaran yang harus dikawal dan ditegakkan, bahkan Allah SWT menyebut diri-Nya dengan Al-Haq yang artinya Mahabenar.

Begitu juga para nabi dan Rasul-Nya selalu mempunyai sifat Ash-Shidq yang berarti jujur.Jujur mempunyai banyak manfaat dan khasiat bagi pelakunya baik di dunia maupun di akhirat. Setidaknya ada enam manfaat bagi orang yang jujur dalam perkataan maupun perbuatannya.

Pertama, perasaan enak dan hati tenang, jujur akan membuat pelakunya menjadi tenang karena ia tidak takut akan diketahui kebohongannya. Baginda Rasul SAW bersabda, ''Tinggalkanlah apa yang meragukanmu menuju perkara yang tidak meragukanmu, sesungguhnya jujur adalah ketenangan sedangkan dusta adalah keraguan.'' (HR Turmudzi dari riwayat Hasan bin Ali).

Kedua, mendapatkan keberkahan dalam usahanya. Rasulullah SAW bersabda, ''Dua orang yang berjual beli mempunyai pilihan (untuk melanjutkan transaksi ataupun membatalkannya) selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan barangnya maka akan diberkahi jual beli mereka, dan jika mereka merahasiakan dan berdusta maka dihilangkan keberkahan jual beli mereka.'' (HR Bukhari)

Ketiga, mendapat pahala seperti pahala orang syahid di jalan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa meminta mati syahid dengan jujur, maka Allah akan mengantarkannya ke dalam golongan orang-orang syahid, walaupun ia mati di atas kasurnya.'' (HR Muslim) .

Keempat, selamat dari bahaya. Orang yang jujur walaupun pertama-tama ia merasa berat akan tetapi pada akhirnya ia akan selamat dari berbagai bahaya. Rasulullah SAW telah bersabda, ''Berperangailah selalu dengan kejujuran! Jika engkau melihatnya jujur itu mencelakakan maka pada hakikatnya ia merupakan keselamatan.'' (HR Ibnu Abi Ad-Dunya dari riwayat Manshur bin Mu'tamir).

Kelima, dijamin masuk surga, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW, ''Berikanlah kepadaku enam perkara niscaya aku akan jamin engkau masuk surga: jujurlah jika engkau bicara, tepatilah jika engkau berjanji, tunaikanlah jika engkau diberi amanat, jagalah kemaluanmu, tundukkan pandanganmu, dan jagalah tanganmu.'' (HR Ahmad dari riwayat 'Ubadah bin Ash-Shamit).

Keenam, dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda, ''Jika engkau ingin dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tunaikanlah jika engkau diberi amanah, jujurlah jika engkau bicara, dan berbuat baiklah terhadap orang sekelilingmu.'' (HR Ath-Thabrani). Demikianlah, jujur penting sekali, terutama di masa ketika segala aspek kehidupan dipenuhi kepalsuan dan dusta. Di manapun berada, kejujuran harus di atas segalanya. Jujur adalah simbol profesionalisme kerja dan inti dari kebaikan hati nurani seseorang.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 21-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=265446&kat_id=14

Wednesday, September 20, 2006

Berpacu dengan Waktu

Oleh : Noni Soraya

''Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran." (QS Al-Ashr [103]: 1-3)

Demikian dalam dan padat makna surat tersebut, tidak heran dulu dua orang sahabat Rasulullah SAW jika bertemu, mereka tidak berpisah hingga salah satunya membacakan surat ini kepada yang lainnya hingga selesai. Baru setelah itu mereka mengucapkan salam dan berpisah.

Surat tersebut menyadarkan kita betapa tiap detik waktu hidup di dunia ini sangat berharga. Mereka yang lalai mengisi waktu dengan kebajikan menjadi sosok yang merugi. Betapa sedikit waktu yang dimiliki seiring dengan cepatnya pergantian siang dan malam.

Kita tidak pernah tahu berapa lama waktu yang diberikan selama hidup di dunia. Semuanya misteri dan rahasia Allah SWT. Apabila waktu yang diberikan telah habis, ''Sedetik pun tidak akan bisa dimajukan ataupun dimundurkan.'' (QS Al-A'raf [7]: 34). Maka, modal waktu yang diberikan Allah SWT harus mendapat perhatian serius, apa hasil yang ingin dicapai dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Jangan sampai kita seperti sekelompok umat di akhirat nanti yang menyatakan, ''Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkanku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?'' (QS Al-Munafiqun [63]: 10). Percuma saja menyesal pada saat itu, karena sudah berada di Yaumul Mahsyar.

Waktu adalah kehidupan kita sendiri. Bila waktunya habis, kita akan mati. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dalam kitab Sahih al Jami', Rasulullah SAW bersabda, ''Belum lagi telapak manusia yang mengantarkan kita di kuburan --saat dibaringkan dalam liang lahat-- berangkat pulang, kita sudah ditanyai empat hal oleh Allah SWT, salah satu di antaranya adalah umur.'' Kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, ke mana saja umur dihabiskan.

Tidak mengherankan, Rasulullah SAW mengingatkan, ''Ambillah kesempatan lima sebelum lima: mudamu sebelum tua, sehatmu sebelum sakit, kayamu sebelum melarat, hidupmu sebelum mati, dan senggangmu sebelum sibuk,'' (HR Al Hakim dan Al Baihaqi). Seiring berakhirnya perjalanan di alam dunia, manusia memasuki perjalanan menuju akhirat. Seiring dengan merapuhnya fisik, selayaknya manusia mengisi waktunya dengan memperbanyak ibadah dan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 20-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=265325&kat_id=14

Tuesday, September 19, 2006

Keseimbangan

Banyak yang mengartikan ibadah secara sempit, hanya sebatas ritual keagamaan, hubungan vertikal kepada Allah dan melupakan hubungan sosial yang tersalur lewat kehidupan kemasyarakatan. Padahal Islam mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa memperoleh fiddunnya hasanah wa fil akhirati hasanah, kebaikan hidup di dunia dan di akhirat ''Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,'' (QS Al-Qashash [28]: 77). Ayat tersebut menegaskan perlunya keseimbangan menjalani hidup, baik untuk urusan duniawi maupun ukhrawi.

Dalam masalah ibadah, Islam memberikan dua pahala sekaligus. Ibadah shalat, selain menunaikan kewajiban dan berharap pahala akhirat, juga harus memberi pahala dunia yakni mengajarkan hidup bersih dan menanamkan disiplin waktu. Ibadah puasa selain berharap rahmat, ampunan, dan surga-Nya, juga harus memberi manfaat secara langsung, yakni membentuk kepribadian unggul yang dapat mengendalikan hawa nafsu dan punya kepedulian sosial yang tinggi.

Jadi, beragama yang benar, selain melaksanakan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji, juga mempunyai rasa tanggung jawab sosial yang tinggi.

Karena itu, belum dikatakan sempurna keagamaan seseorang jika dia berkecukupan harta benda, namun tidak menyedekahkannya dan membantu saudaranya yang masih kekurangan. Seorang haji akan lebih afdhal jika turut membantu biaya sekolah anak tetangganya yang miskin. Muslim yang hakiki adalah sosok yang selalu beribadah kepada Allah, dan juga konsis dan peka terhadap kehidupan sosial.

Dalam mengekspresikan keseimbangan, Islam sangat menekankan kewajaran. Islam tidak menyukai hal-hal yang berlebihan. Rasulullah sendiri memberikan contoh yang wajar dan sederhana dalam menjalani ibadah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, ''Ingatlah, sesungguhnya aku ini tetap berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, dan aku juga menikah. Barangsiapa yang tidak menyukai sunahku, maka tidak termasuk golonganku,'' (HR Bukhari-Muslim).

Jika kita telah beragama dengan seimbang, niscaya kita akan menjalani hidup ini dengan tenang, sejahtera dan bahagia di dunia dan akhirat. Sehingga, tidak dijumpai lagi sebagian orang yang memaksakan kehendaknya, mengkafirkan saudaranya, melakukan aksi kekerasan dan teror.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 18-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=264983&kat_id=14

Monday, September 18, 2006

Akhlak Terpuji

Oleh : Syarif Hade Masyah

Begitu pentingnya akhlak terpuji, sampai-sampai Rasulullah SAW pada satu kesempatan berdoa, ''Ilahi, tunjukkan aku pada akhlak terpuji, karena tidak ada yang bisa menunjukkannya kecuali hanya Engkau. Hindarkan aku dari akhlak tercela, karena tidak ada yang bisa menghindarkannya selain Engkau.'' (HR Ibnu Abid-Dunya).

Keberhasilan Rasulullah membangun umat bukan lantaran kecanggihan teknologi, kekuatan angkatan perang, persenjataan tangguh, dan kecakapan orang-orang terdekatnya. Agama baru yang diperkenalkan Rasulullah berhasil dianut bermiliar orang hingga hari ini, karena Nabi mengerti bagaimana cara memperkenalkannya dan mampu meluluhkan hati yang membatu. Akhlak terpuji yang selalu ditunjukkan Nabi dalam segenap sisi kehidupannya membuat agama ini lebih mudah dan lebih cepat menyebar memasuki hati manusia dari ufuk timur ke ufuk barat.

Jargon Nabi pada saat berdakwah juga selalu berkait dengan pembenahan aspek moral, selain tentu saja permasalahan ketauhidan. Sabda Nabi yang sangat terkenal menyebutkan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak terpuji. Akhlak terpuji sesungguhnya sudah dikenal masyarakat sebelum Nabi diutus. Karena, konsep akhlak terpuji pada dasarnya sudah dimiliki oleh masyarakat secara naluriah. Nabi hanya meneguhkan kembali sesuatu yang masih bersifat naluriah itu menjadi sesuatu yang bersifat ibadah.

Anas bin Malik, abdi Nabi selama puluhan tahun, suatu kali mendegar Rasulullah SAW bersabda, ''Akhlak terpuji itu bagian dari amal calon penghuni surga.'' Karena, ''Allah itu terpuji. Dia selalu menyukai hal-hal yang terpuji. Allah itu pemurah. Dia selalu menyukai memberi. Dia menyukai akhlak terpuji dan tidak menyukai sebaliknya,'' kata Nabi pada waktu yang lain.

Dua hadis itu memberikan rumus untuk melihat siapa yang akan menjadi calon penghuni surga dan siapa yang akan menjadi calon penghuni neraka. Akhlak di sini tidak bermakna sempit, karena ia meliputi semua bentuk penghormatan terhadap etika dan nilai-nilai moral baik kepada Allah, Rasulullah, makhluk Allah yang lain, termasuk lingkungan sekitar kita, maupun diri kita sendiri.

Akhlak terpuji tidak sama dengan melakukan perbuatan karena riya (melakukan perbuatan karena mengharapkan pujian orang lain). Meski boleh mendapat pujian, tetapi berakhlak terpuji tidak benar bila diniatkan semata-mata untuk dipuji. Pujian yang dibenarkan adalah pujian yang tidak memengaruhi amal dan akhlak kita pada saat kita tidak dipuji.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 16-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=264842&kat_id=14

Friday, September 15, 2006

Puasa dan Taqwa

Oleh : Fahmi Fahriza

Allah SWT berfirman, ''Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.'' (QS Al-Baqarah [2]: 183). Tanpa harus melakukan pengkajian yang mendalam, kita memahami bahwa takwa adalah tujuan akhir dari pelaksanaan kewajiban puasa.
Apa yang dimaksud dengan takwa?
Abu Hurairah pernah ditanya oleh seseorang dengan pertanyaan yang sama, yang dijawabnya dengan balik bertanya, ''Apakah engkau pernah melalui jalan yang penuh duri?''
Orang itu menjawab, ''Tentu saja.''
''Lalu apa yang engkau lakukan?''
Ia menjawab, ''Jika aku melihat duri, aku akan menyingkirkannya atau menghindarinya.''
Kata Abu Hurairah, ''Demikian itulah takwa.'' (Ibn Abi Dunya dalam Kitab at-Taqwa).

Dengan jawabannya itu, Abu Hurairah ingin menegaskan bahwa hakikat takwa adalah kehati-hatian dalam menjalani kehidupan ini karena khawatir terjerumus ke dalam dosa. Hal itulah yang selalu ditegaskan Rasulullah, ''Seorang Mukmin tidak akan mencapai derajat takwa hingga meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir terjerumus ke dalam hal-hal yang haram.'' (HR al-Bukhari, At-Tirmidzi, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi).

Ramadhan adalah momentum yang pas untuk menggembleng diri menjadi insan yang bertakwa. Syaratnya, ibadah puasa dilakukan dengan sungguh-sungguh, disertai dengan penjagaan penuh terhadap hati, lisan, dan perbuatan. Tanpa penjagaan itu, puasa tidak bernilai ibadah, seperti sabda Rasulullah SAW, ''Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa pun selain rasa haus dan lapar. Betapa banyak orang yang melakukan shalat malam dan shalat tarawih tidak mendapat apa pun selain begadangnya saja.'' (HR Ahmad dan ad-Darimi).

Tentu, kita berlindung kepada Allah dari puasa dan shalat malam/tarawih sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW tersebut. Karena itu, marilah kita menjadikan Ramadhan, yang sebentar lagi menghampiri kita, sebagai momentum sekaligus sarana untuk meraih ketakwaan dalam makna yang sesungguhnya.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 15-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=264678&kat_id=14

Thursday, September 14, 2006

Amanah Jabatan

Oleh : Ahmad Zaki Arba

Ketika Khalifah Utsman bin Affan mengutus kurir ke negeri tetangga untuk menjalin hubungan persahabatan, Umi Kaltsum, istrinya, menitipkan bingkisan minyak wangi untuk istri raja negeri itu. Pulangnya, si kurir ganti membawa titipan bingkisan balasan dari istri raja berupa mutiara. Melihat kiriman tersebut, Utsman yang terkenal karena kedermawanan dan katakwaannya itu langsung menyitanya dan menyimpannya sebagai kas baitul mal.

''Kalau kau bukan istri khalifah, engkau tidak mungkin akan mendapatkan bingkisan ini,'' kata khalifah kepada istri yang dicintainya itu. Umi Kaltsum bersikeras, bingkisan itu adalah hadiah balasan pribadi dari istri raja. Utsman membenarkan, tapi pengirimnya menggunakan fasilitas khilafah. Langkah itu, menurut Utsman, adalah ilegal, bisa menimbulkan preseden buruk, serta merupakan contoh yang tidak bagus bagi pejabat lain.

Utsman yang menjabat sebagai khalifah lebih memilih menjaga ketakwaan diri dan istrinya daripada menukarnya dengan bingkisan duniawi yang tidak seberapa. Karena bagi dia, pada dasarnya jabatan yang diembannya adalah amanat dari Allah, yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.Tentang menjaga takwa ini, Rasulullah SAW mengingatkan, ''Seseorang tidak akan sampai pada tingkatan takwa sebelum rela meninggalkan hal-hal yang sepertinya tidak apa-apa, tetapi dapat menimbulkan apa-apa.''

Agar tidak teperdaya oleh fasilitas jabatan dan tidak tertipu oleh syetan lewat cobaan duniawi, Allah SWT menuntun hamba-Nya agar hidup qana'ah (merasa cukup) dengan harta benda yang dimilikinya. Dengan qana'ah akan tumbuh rasa syukur, dan dari rasa syukur inilah timbul sifat kedermawanan yaitu rela memberikan sebagian harta yang dimilikinya untuk disedekahkan kepada orang lain. Sebaliknya, jika tidak ada sifat itu, maka yang akan muncul adalah sifat bakhil, egois, dan kufur nikmat.

Kehati-hatian terhadap fitnah jabatan, diiringi sifat qana'ah dan syukur, dapat mengarahkan setiap keluarga mukmin terhindar dari perbuatan korupsi, menumpuk harta yang tidak jelas kedudukannya, berbuat curang, dan terjaga dari keinginan menggunakan fasilitas pemerintah untuk kepentingan pribadi. Rasulullah SAW memberi peringatan, ''Jagalah dirimu dari berbuat zalim, karena berbuat zalim akan merupakan kegelapan di hari kiamat. Dan jagalah dirimu dari sifat bakhil, karena kebakhilan itu mendorong manusia menumpahkan darah dan menghalalkan segala cara yang diharamkan Allah.'' (HR Muslim).

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 14-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=264505&kat_id=14

Wednesday, September 13, 2006

Empati

Oleh : Sigit Indrijono

Di tengah fenomena kehidupan dunia saat ini yang sangat hedonistik, manusia mempunyai kecenderungan bersifat egoistik. Lebih mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain.

Banyak contoh nyata egoisme yang ditemui sehari-hari dalam kehidupan. Bisa jadi, kita telah melakukan praktik egoisme tersebut, secara sadar ataupun tidak. Harus disadari bahwa egoisme adalah suatu penyimpangan dari jalan yang diridhai-Nya.

Egoistik bisa diantisipasi dengan empati. Empati merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam interaksi antarpribadi. Dengan empati, kita bisa saling memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Sehingga, kita tidak akan meraih tujuan yang menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan pada orang lain.

Pada dasarnya, empati itu telah tertanam pada diri setiap manusia. Suatu sunatullah yang telah dilekatkan pada penciptaan manusia oleh Allah SWT. Saling memahami antarpribadi yang timbul dari empati akan meningkatkan rasa saling ketergantungan. Karenanya akan timbul keinginan saling bekerja sama. Selanjutnya akan timbul keinginan untuk mendahulukan kepentingan orang lain. Akhirnya terjalin rasa belas kasihan dan tenggang rasa terhadap sesama hamba Allah SWT.

Rasulullah SAW, panutan kita, mempunyai empati yang dalam terhadap orang lain, seperti yang tergambar dalam ayat berikut ini. ''Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.'' (QS At Taubah [9]:128).

Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah bersabda, ''Seorang Muslim bersaudara dengan sesama Muslim lainnya, tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dibiarkan dianiaya oleh orang lain. Dan barangsiapa yang menyampaikan hajat saudaranya, niscaya Allah akan menyampaikan hajatnya. Dan barangsiapa membebaskan kesukaran seorang Muslim di dunia, niscaya Allah akan membebaskan kesukarannya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi kejelekan seorang Muslim, niscaya Allah akan menutup kejelekannya di hari kiamat.'' (HR Bukhari Muslim).

Hadis di atas menekankan tentang pentingnya empati dengan memahami permasalahan yang dihadapi oleh orang lain. Kepedulian terhadap kesulitan orang lain merupakan indikator sejauh mana rasa ukhuwah seseorang terhadap orang lain. Atribut-atribut duniawi seperti pangkat, kedudukan, ataupun status sosial harus ditanggalkan, karena kita semua adalah hamba Allah SWT.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 13-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=264329&kat_id=14

Cinta Dunia

Oleh : Arif Abi Naufal

''Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh, kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memahaminya?' (QS Al-An'am: 32).

Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa mencintai dunia, maka dia merusak akhiratnya, dan barangsiapa yang mencintai akhirat, maka (seolah-olah) membinasakan dunianya. Maka, utamakanlah yang kekal (akhirat) daripada yang fana (dunia).'' (HR Ahmad dan Baihaqi).

Bahayanya bila di dalam hati kita dikuasai oleh kecintaan kepada dunia, berulang-ulang ditegaskan oleh Allah dan juga Rasul-Nya, dalam banyak ayat-ayat dan hadis. Sehingga, barangsiapa yang mau mengambil hikmah darinya, maka ia termasuk ke dalam golongan manusia yang beruntung. Jika tidak, maka segala macam kerugian dan malapetaka pasti akan menimpanya baik ketika di dunia, lebih-lebih nanti di alam akhirat.

Kecintaan kepada dunia yang dimaksud adalah bahwa segala fasilitas kehidupan yang diberikan oleh Allah SWT, dipergunakannya semata-mata hanya untuk melampiaskan hawa nafsunya saja. Sehingga, ia diperbudak dan menjadi hamba hawa nafsunya sendiri. Bahkan, hawa nafsu itu diposisikan sedemikian rupa sehingga ia ditaati seperti menaati tuhan.

Jika manusia sudah sedemikian rupa keadaannya, maka hatinya akan menjadi keras. Segala kebaikan-kebaikan sulit untuk dapat masuk ke dalam hati, karena setan sudah menguasai dan bertahta secara menyeluruh di dalam hatinya.

Imam Ghazali berkata, ''Ciri khas nafsu ialah merasa enak, lalai, santai atau malas. Dan semua ajakannya bersifat batil. Andaikan engkau mau menuruti perintahnya, engkau akan rusak. Atau lupa tidak mewaspadainya, engkau pasti hanyut dan sulit sekali menolak keinginannya. Padahal, semua itu akan mengajakmu ke neraka.'' (Mukasyafatul Qulub).

Kehidupan ini, bagaimanapun lamanya, akan berakhir juga. Cepat atau lambat, suka atau tidak semua manusia akan meninggalkannya dan harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya di hadapan Allah SWT. Bila kebaikan yang ditanam, maka akan menuntun ke surga. Jika keburukan yang dikerjakan, maka akan menjerumuskannya ke neraka. Maka, sudah saatnya kita memohon kepada Allah SWT agar dianugerahi kemampuan untuk memahami hakikat dunia ini, lalu dengan penuh kehati-hatian meletakkannya di tangan kita, bukan di hati.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 12-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=264214&kat_id=14

Monday, September 11, 2006

Meninggalkan Syubhat

Oleh : Abu Naila

Syubhat adalah suatu perkara yang samar-samar di antara yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah SWT. Para ulama memiliki pendapat yang berbeda tentang batasan-batasan halal dan haram ini.

Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa yang halal adalah apa-apa yang telah ditunjukkan oleh dalil mengenai kehalalannya. Sedangkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa yang haram adalah apa-apa yang telah ditunjukkan oleh dalil mengenai keharamanannya.

Namun, setiap kita sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk meninggalkan hal-hal yang syubhat tersebut. Rasulullah SAW bersabda, dari Abu Abdullah, Nukman bin Basyir RA, ''Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram juga jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara yang samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menghindari perkara-perkara samar (syubhat), berarti telah memelihara agama dan kehormatan dirinya. Adapun siapa yang terjerumus di dalam perkara-perkara yang samar, berarti telah terjerumus di dalam hal yang haram.''

Akan tetapi, kebanyakan manusia saat ini bahkan bukan saja telah berani melanggar daerah yang samar-samar tersebut, melainkan telah berani untuk melanggar daerah-daerah yang jelas keharamannya. Bahkan yang lebih memilukan lagi adalah ketika korupsi, suap, mark-up dana yang tidak semestinya, dan hal-hal syubhat serta haram lainnya itu sudah menjadi budaya di negeri ini. Astagfirullah al-Adzim.

Sebelum seseorang terjerumus ke dalam perkara-perkara yang diharamkan Allah SWT, dia pasti bermula dari seringnya melakukan perkara-perkara yang syubhat. Dia memulainya dengan melakukan perkara-perkara yang membuat hatinya gundah. Namun, seringnya dia melakukan tersebut telah membuat merasa apa yang dilakukannya itu adalah sah-sah saja. Keimanan akan pengawasan Allah SWT dalam hatinya telah luntur. Hatinya telah sakit dan mengeras bagaikan batu karang. Ketika itu terjadi, sentuhan dan percikan air tidak akan mampu melunakkan hatinya.

Rasulullah mengibaratkan seseorang yang bermain dengan perkara-perkara syubhat adalah seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar pekarangan orang lain. Suatu saat ternaknya akan memakan rumput yang berada di pekarangan tersebut, padahal itu adalah daerah terlarang baginya.

Apa yang dapat mengontrol diri dari tindakan-tindakan syubhat tersebut? Pertama, bersihkanlah hati dari segala hal yang mengarah kepada kemaksiatan terhadap Allah dan manusia lainnya. Rasulullah SAW bersabda, ''Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging, apabila ia baik maka akan baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila ia telah rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya.'' Yang dimaksud Rasul Allah itu adalah hati. Kedua, perbanyaklah doa kepada Allah SWT agar hati ini diteguhkan kepada jalan kebenaran dan kecintaan kepada-Nya.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 11-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=264033&kat_id=14

Hakikat Istighfar

Oleh : Suyono A Mubarok

''Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia mohon ampun kepada Allah, niscaya dia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS An-Nisaa' [4]:110).

Ayat tersebut menegaskan bahwa siapa pun orangnya yang sungguh-sungguh mohon ampun dengan beristighfar kepada Allah atas kejahatan atau kezalimannya, maka dosanya akan diampuni.

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadisnya, ''Hai sekalian manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan beristighfarlah (mohon ampun) kepada-Nya, maka sungguh aku bertobat mohon ampun kepada Allah tiap hari seratus kali." (HR Muslim).

Namun, tidak sedikit orang yang mempermainkan istighfar. Istighfar hanya terucap lewat bibir. Seseorang mungkin mampu melantunkan istighfar sampai puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali. Tapi, hatinya tidak menyelami hakikat istighfar yang sesungguhnya. Ia tak menyadari apa yang harus diperbuat ketika ia beristighfar kepada Allah SWT.

Merujuk pada pendapat Ali bin Abi Thalib, istighfar adalah nama yang berlaku pada enam makna. Pertama, istighfar harus dibarengi penyesalan atas dosa-dosa yang telah lalu. Kedua, seseorang harus bertekad tidak kembali berbuat dosa selamanya.

Ketiga, mengembalikan hak orang lain yang telah diambilnya (tanpa hak) hingga dia berjumpa dengan Allah terlepas dari tuntutan orang lain. Keempat, hendaklah seseorang memerhatikan kewajiban-kewajiban yang pernah disia-siakan agar segera dipenuhinya. Kelima, seseorang harus memerhatikan daging di tubuhnya dari hasil yang haram, agar dia menyesali dengan kesedihan sampai tubuhnya kurus kering, hingga tumbuh daging baru dari hasil yang halal. Keenam, seseorang harus merasakan sakitnya ketaatan, seperti dia merasakan manisnya kemaksiatan. Maka, ketika itu seseorang layak mengucapkan, ''Astaghfirullah.''

''Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.'' (QS Ali Imran [3]:135).

Bila, lantunan istighfar sejalan dengan hati dan sesuai dengan hakikatnya, maka akan membuahkan banyak keutamaan. Keutamaan di dunia di antaranya diberi kenikmatan yang baik dan terus-menerus.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 09-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=263868&kat_id=14

Friday, September 08, 2006

Berani karena Iman

Oleh : Taufik Hidayat

Seorang Muslim yang mempunyai kenyakinan yang kokoh terhadap Allah SWT akan selalu berani dan teguh prinsip. Dia sangat yakin, segala sesuatu yang datang padanya adalah atas kuasa-Nya, seperti firman Allah dalam Alquran surat At Taubah (9) ayat 51, ''Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang beriman harus bertawakal.'' Karenanya, tak ada satu alasan pun yang membuatnya takut menjalani hidup.

Imam Al Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya tentang surat At Taubah ayat 51 itu, bahwa ketetapan Allah SWT itu ada di Lauhul Mahfuzh. Juga dikatakan bahwa apa yang Allah SWT kabarkan kepada kita ada di dalam ketetapan-Nya (Lauhul Mahfuzh), baik kita akan mendapatkan kemenangan, dan kemenangan itu baik buat kita, maupun kita bakal terbunuh, dan mati syahid itu jauh lebih baik bagi kita. Segala sesuatunya ada ketentuan Allah di dalamnya.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah SWT memberikan petunjuk kepada Rasulullah SAW cara menjawab pernyataan musuh-musuh kaum Muslimin. Yaitu, untuk mengatakan kepada mereka: ''Tidak akan menimpa kepada kami kecuali apa yang Allah tetapkan buat kami. Kami di bawah kehendak dan ketentuan Allah. Dialah pemimpin dan pelindung kami. Dan kami pasrah diri kepada-Nya. Cukuplah Dia menjadi penolong kami dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.''

Umar bin Al Khathab adalah salah satu contoh Muslim yang memutus urat rasa takutnya dan hanya merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Ibnu Asakir menceritakan, setiap orang yang berhijrah tentu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin Al Khathab. Ketika hendak hijrah, dia menghunus pedangnya, menyandang busurnya, dan memegang anak panahnya, lalu dia pergi ke Ka'bah.

Pada saat itu para pemuka Quraisy sedang berada di serambi Ka'bah. Umar melakukan thawaf mengelilingi Ka'bah tujuh kali lalu mendirikan shalat dua rakaat di dekat Maqam. Kemudian, dia mendekati para pemuka Quraisy yang membentuk beberapa gerombol. Dia berkata ''Siapa yang ingin ibunya mati nelangsa, anaknya menjadi yatim, dan istrinya menjadi janda, maka silakan menghadangku di balik lembah ini, tapi dengan syarat tak seorang pun yang menyertainya.'' Sudah saatnya kaum Muslim belajar dari keberanian pada pendahulunya. lahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 08-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=14

Thursday, September 07, 2006

Rahasia Silaturahim

Oleh : Ummu Fathin

Islam memandang penting jalinan tali silaturahim. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu majah, Rasulullah SAW bersabda, ''Yang paling cepat dapat mendatangkan kebaikan adalah balasan (pahala) orang yang berbuat kebajikan dan menyambungkan tali silaturahim, sedangkan yang paling cepat mendatangkan kejahatan ialah balasan (siksaan) orang yang berbuat jahat dan memutuskan hubungan kekeluargaan.''

Pengertian 'menyambungkan' adalah suatu proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. Rasulullah SAW bersabda, ''Yang disebut bersilaturahim itu bukanlah seseorang yang membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahim itu ialah menyambungkan apa yang terputus.'' (HR Bukhari).

Kalau orang berkunjung kepada kita dan kita balas mengunjunginya, ini hal biasa serta tidak memerlukan perjuangan yang tinggi. Karena bisa jadi hal itu dilakukan karena kita merasa berutang. Akan tetapi, ada orang yang tidak pernah bersilaturahim kepada kita, lalu dengan sengaja kita kunjungi walaupun harus menempuh jarak yang cukup jauh dan memakan waktu, maka di sinilah makna silaturahim akan sangat kita rasakan.

Apalagi, bila hal itu kita lakukan terhadap orang yang membenci kita. Padahal, jelas hak-hak kita pernah terambil atau hati kita sempat terlukai, tapi kita yang mendahului untuk mengunjunginya. Di sinilah kekuatan silaturahim yang sebenarnya.

Begitu pentingnya silaturahim ini, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib menjelaskan, ''Barangsiapa senang untuk dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya serta dihindarkan dari kematian yang buruk, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan menyambung silaturahim.'' (HR Ath-Thabrani).

Allah memberikan berkah selama perjalanan usia seseorang, lantaran semasa hidupnya penuh dengan amal perbuatan yang baik, termasuk menyambung silaturahim. Itulah kehidupan yang panjang meski dalam perhitungan usia hanya sebentar. Karena memang ukuran sebenarnya untuk kehidupan yang diberkahi itu bukan bulan atau tahun, tetapi keagungan amal perbuatan dan banyaknya pengaruh yang ditanamkan.

Maka, sudah semestinya silaturahim tidak hanya dilakukan pada hari lebaran saja, tetapi lebih baik jika dilakukan secara kontinu. Bila terjadi selisih pendapat atau salah paham, maka segeralah melaksanakan silaturahim. Menjalin kembali hubungan silaturahim adalah hal yang mudah, asal diniatkan dengan sungguh-sungguh dan tulus. Mulakanlah hari ini.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 07-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=263522&kat_id=14

Wednesday, September 06, 2006

Tawadhu

Oleh : Muhtadi

Ibnu Mandhur, dalam karyanya Lisanul Arab menjelaskan ta-wa-dla sama dengan ta-dzal-la-la yang berarti merendahkan hati (humble). Seorang yang tawadhu bersikap rendah hati dengan cara memosisikan dirinya tidak lebih tinggi derajatnya dari orang lain.

Merendahkan hati tidak sama dengan menghinakan diri sendiri. Menurut Imam Ghazali, kehinaan itu justru ada pada kesombongan, sedangkan sikap tawadhu merupakan ekspresi dari keluhuran budi pekerti. Tawadhu yang seperti ini bisa dilihat secara jelas pada sikap para sahabat Nabi. Beberapa riwayat menjelaskan bahwa Abu Bakar ketika menjadi khalifah masih membantu memerah susu untuk tetangganya. Umar bin Khathab saat menjabat khalifah membawa daging dengan tangan kiri dan susu di tangan kanannya. Ali bin Abu Thalib pun saat menjadi khalifah tidak segan-segan membeli daging sendiri dan membawanya pulang. Abu Hurairah saat menjabat gubernur di Madinah terlihat pula memikul sendiri kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangganya.

Di sini, jabatan publik yang diemban tidak menghalangi mereka untuk bersikap merakyat, yang mungkin bisa menghinakan mereka. Justru sikap tawadhu inilah yang mengantarkan mereka pada kemuliaan. Hal ini sudah ditegaskan Rasulullah dengan sabdanya, ''Tidaklah sedekah itu mengurangi harta. Tidaklah seorang hamba yang pemaaf kecuali Allah menambahkan kemuliaan baginya. Dan tidak pula seorang yang bersikap tawadhu kecuali Allah mengangkat derajatnya.'' (HR Muslim)

Tawadhu bukanlah sikap yang dipaksakan dan dipertontonkan pada orang lain seolah-olah dirinya rendah hati. Siapa yang merasa dirinya tawadhu, kata Ibnu Atha'illah, maka berarti dia benar-benar sombong; sebab tidak mungkin ia merasa tawadhu kecuali kalau ia merasa tinggi atau besar. Oleh karena itu, tatkala kau menetapkan dirimu itu tinggi, maka kau benar-benar telah sombong.

Hakikat tawadhu ialah suatu sikap yang muncul karena melihat atau memerhatikan kebesaran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tampak jelas. Sombong, angkuh, dan membanggakan diri adalah lawan dari sikap tawadhu. Allah jelas-jelas melarang sikap-sikap seperti itu. ''Dan janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.'' (QS Luqman [31]:18)

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 06-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=263384&kat_id=14

Tuesday, September 05, 2006

Ikhlas

Oleh : Kholil Misbach

Dikisahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad, bahwa ketika Allah menciptakan bumi, planet kita ini bergetar, lalu Allah menciptakan gunung dengan kekuatan yang diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat akhirnya kagum akan penciptaan gunung tersebut.

Malaikat bertanya, ''Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat daripada gunung?''
Allah menjawab, ''Ada, yaitu besi.''
Malaikat bertanya lagi, ''Ya Allah adakah yang lebih kuat dari besi?''
Allah menjawab, ''Ada, yaitu api, besi dapat meleleh kalau dipanaskan.''
Para malaikat bertanya lagi, ''Adakah yang lebih kuat daripada api?'' Allah menjawab, ''Ada, yaitu air, api akan padam kalau disiram air.''
Malaikat bertanya lagi, ''Ya Allah adakah penciptaan Engkau yang lebih hebat daripada air?''
Allah menjawab, ''Ada, yaitu angin, angin dapat membawa awan dalam perjalanan yang amat jauh, bahkan badai juga dapat menyebabkan ombak besar yang mampu merobohkan rumah-rumah di pantai.''
Para malaikat bertanya lagi, ''Ya Allah adakah yang lebih kuat dari semua ini?''

Allah menjawab, ''Ada yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah, tangan kanannya memberi sedangkan tangan kirinya tidak mengetahui.'' Ikhlas dalam bersedekah tanpa pamer dan dipuji ternyata lebih dahsyat daripada gunung, besi, air, dan angin. Empat komponen itu adalah vital bagi bumi. Dan, sebuah tatanan masyarakat akan kokoh dan maju jika setiap elemen masyarakat mempunyai rasa ikhlas yang kuatnya melebihi keempat elemen di atas.-

Walau seseorang berbuat amal kebajikan hingga seluruh tenaga dan pikiran terkuras, namun kalau tidak diiringi dengan hati yang tulus dan niat yang ikhlas, maka perbuatannya akan sia-sia belaka di mata Allah. Ibadah yang tidak ikhlas akan membawa pelakunya ke jurang neraka, karena didasarkan rasa riya (berpamrih) atau alasan selain karena Allah.

Orang yang ikhlas dengan sendirinya akan bermanfaat bagi lingkungannya. Ia selalu memberi tanpa meminta balasan. Ia mengulurkan bantuan tanpa diminta. Bahkan, perbuatan tidak menyenangkan hatinya pun ia balas dengan senyuman dan sapaan mulia.

Sifat ikhlas inilah yang akan memacu dan memicu lahirnya generasi unggulan yang siap bersaing di tatanan dunia global. Karena, hanya pribadi yang ikhlaslah yang sebenarnya paling berhak untuk mendapatkan tanda jasa dan penghargaan dari masyarakat, tanpa dia meminta atau mengharapkan. Wallahu a'lam.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 05-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=263195&kat_id=14

Monday, September 04, 2006

Perjanjian Primordial

Oleh : A Ilyas Ismail

Dalam bahasa Arab, perkataan aqidah berasal dari kata 'aqd yang secara harfiah berarti sesuatu yang mengikat. Janji, sumpah setia, dan berbagai bentuk transaksi lainnya dinamai 'aqd (akad), karena ia mengikat setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Iman yang kuat kepada Allah SWT, tanpa ada sedikit pun keraguan di dalamnya dinamai aqidah, karena ia mengikat hati orang yang beriman dan harus ditepati sepanjang hayatnya.

Dalam Alquran disebutkan bahwa setiap manusia menyatakan janji dan komitmen untuk senantiasa menuhankan Allah SWT dan menyembah hanya kepada-Nya tatkala Allah SWT bertanya, ''Bukankan Aku ini Tuhanmu?'' Mereka menjawab, ''Betul (Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan ini) agar di hari kiamat nanti kami tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).'' (QS Al-A'raf [7]: 172).

Menurut mahaguru tafsir, Ibnu Katsir, iman dan syahadah seperti disebut dalam ayat di atas, adalah iman dalam bentuk fitrah yang merupakan kecenderungan atau watak dasar manusia. (QS Ar-Rum [30]: 30). Itu sebabnya sebagian pakar menyebut iman dan syahadah semacam ini sebagai ''perjanjian primordial'' yang intrinsik dan inheren menyertai setiap kelahiran anak manusia.

Namun, sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih, setelah manusia mendapat pengaruh dari keluarga dan lingkungan sosialnya, ia bisa berubah dari fitrahnya dan tumbuh menjadi orang kafir sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Kepada orang-orang yang menyimpang dari fitrahnya ini, Allah SWT menegur dan mengingatkan kembali janji primordialnya yang dahulu pernah dideklarasikan. ''Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan.'' (QS Yasin [36]: 60).

Teguran Allah SWT dalam ayat di atas sungguh penting, agar kita tidak lalai dan lupa kepada-Nya. Manusia modern, tulis Profesor Sayyid Husain Nashr, berada di pinggiran, jauh dari 'centrum' pusat kehidupan, yaitu Allah SWT. Dikatakan, hubungan mereka dengan Allah SWT begitu jauh, bahkan hampir terputus sama sekali. Tak heran bila mereka banyak mengidap penyakit 'kehampaan spiritual' akibat terputus dari asalnya dan lupa terhadap janji primordialnya.

Diakui, di satu sisi Allah SWT sebagai asal dan sumber kehidupan bersifat transendent, yaitu Mahatinggi (ta'ala), sehingga tak ada sesuatu pun serupa atau menyerupai-Nya. Namun, di sisi lain, Allah SWT bersifat sangat inmanen, yaitu Mahadekat (qarib) dan Mahahadir (omni-present). (QS Al-Baqarah [2]: 186).

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 04-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=263040&kat_id=14

Generasi Mandiri

Oleh : Mulyana

Allah SWT dan Rasul-Nya telah memberi petunjuk beharga bahwa perubahan seorang manusia, masyarakat, bangsa, ataupun umat manusia secara umum sangat ditentukan bagaimana mereka berusaha untuk melakukan perubahan tersebut. ''Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.'' (QS Ar-Ra'd [13]: 11).

Sejarah pun telah membuktikan. Sebuah bangsa yang gigih dalam berjuang dan mengoptimalkan segala kemampuan dan sumber daya yang dimiliki, akan menjadi bangsa yang besar dan maju. Sebaliknya, bangsa yang hanya mengandalkan pinjaman dan belas kasihan dari lembaga-lembaga 'rentenir', maka bangsa tersebut tak akan pernah maju. Karena, bangsa seperti ini dengan mudah akan selalu diatur oleh lembaga donor tersebut.

Bagi kita umat Islam, telah ada contoh nyata dari Rasulullah SAW yang terlahir dalam keadaan yatim. Beliau berusaha dan bekerja secara optimal hingga berhasil dan sukses menjadi pedagang dalam usia yang relatif muda. Poin penting yang harus digarisbawahi dari firman Allah SWT dan fakta kesuksesan di atas adalah kemandirian. Kemandirian merupakan manifestasi dari keyakinan seseorang atau bangsa untuk mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya dengan tidak bergantung pada orang atau bangsa lain. Kemandirian sangat menentukan berhasil atau tidaknya dalam melakukan perubahan menuju kebaikan. Kemandirian ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa dibarengi keberanian.

Kemandirian seseorang sangat ditentukan bagaimana mereka mendapat didikan sejak dari kecil. Proses pembentukan kemandirian pun dipengaruhi pula oleh sistem pendidikan di sekolah. Sekolah yang selalu berorientasi pada hasil yang harus dicapai oleh anak didiknya, menyebabkan kreativitas dan keberanian seorang anak menjadi tumpul.

Namun sebaliknya, sekolah yang menghargai proses yang telah dilakukan anak didiknya, dan terus memberikan stimulus agar mereka berkreasi, akan lebih mudah menumbuhkan keberanian dan kemandirian. Dalam konteks kekinian, sepertinya kemandirian sebagai bangsa belum terwujud di Indonesia. Banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi maupun hukum sangat kental dengan intervensi kepentingan negara lain. Karenanya, jika kita mau bangkit menjadi bangsa yang besar, maka mulailah dari sekarang, tumbuhkan kemandirian kepada setiap anak bangsa ini. Tunjukkan kepada negara luar bahwa bangsa ini memiliki kehormatan yang tidak bisa dibeli dengan sumbangan apa pun.

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 02-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=262883&kat_id=14

Friday, September 01, 2006

Al-Wahn

Oleh : Imam Santoso

''Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke liang kubur.'' (QS At-Takatsur [102]: 1-2). Rasulullah SAW bersabda di hadapan para sahabatnya, ''Suatu masa nanti kalian akan diserbu oleh musuh-musuh kalian dari berbagai penjuru seperti hidangan yang diserbu oleh orang-orang yang kelaparan dan ingin memakannya.

Para sahabat terheran-heran dan bertanya, 'Apakah karena saking sedikitnya jumlah kami ketika itu ya Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Tidak, bahkan pada hari itu jumlah kamu sangat banyak. Namun, jumlah yang banyak itu hanya seperti buih di lautan. Dan ketika itu, kamu dijangkiti penyakit al-wahn.' Para sahabat bertanya lagi, 'Apa itu al-wahn?' Rasulullah bersabda, 'Cinta dunia dan takut pada kematian'.'' (HR Abu Dawud).

Allah SWT mengingatkan bahwa jumlah yang banyak tanpa ditopang dengan akidah yang benar, bukan menjadi jaminan kemenangan Muslimin. Sebab, bila penyakit al-wahn ini sudah menginfeksi seluruh syaraf keimanan, saluran keimanan seseorang akan lumpuh dan melupakan bahwa muara kehidupan di dunia ini adalah akhirat.

Imbasnya sangat ironis, akar kekuatan Muslim tercerabut dengan hilangnya rasa persaudaraan, apatis, dan apriori pada nasib saudaranya yang kesusahan. Masuknya virus al-wahn ini juga akan diiringi dengan bibit-bibit penyakit lain seperti sekularisme, kapitalisme, dan penyakit akidah lainnya yang berpotensi membunuh iman.

Sikap zuhud dan ukhuwah Islamiyah adalah serum yang tepat untuk menangkal serangan dan wabah al-wahn ini. ''Wahai anak Adam, sesungguhnya jika kamu memberikan kelebihan hartamu, maka itu lebih baik bagimu. Namun jika kamu menahannya, maka itu sangat jelek bagimu. Tidaklah kamu dicela dalam kesederhanaan. Dan dahulukanlah orang yang menjadi tanggunganmu.'' (HR Tirmidzi).

Zuhud inilah yang menjadi sikap awal tumbuhnya rasa persaudaraan di antara Muslim. Dengan kesederhanaan, sikap tamak pada dunia akan terkikis dengan sendirinya, sehingga muncul sikap hidup yang selalu ingin memberi kelebihan hartanya kepada yang membutuhkan.

Rasulullah SAW bersabda bahwa barometer keimanan seorang Muslim adalah kecintaannya terhadap sesama Muslim. Bila ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya, maka barulah ia benar-benar beriman.

''Siapa saja yang mengunjungi orang sakit atau bersilaturahim mengunjungi saudaranya karena Allah, maka dua malaikat memuji dan mendoakannya, 'Bagus kamu dan bagus pula perjalananmu, dan surgalah tempatmu.'' (HR Tirmidzi).

Sumber : Kolom Hikmah Republika Online, 01-09-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=262694&kat_id=14