Tuesday, December 26, 2006

Memuliakan Ibu

Oleh : Ahmad Soleh

Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar selalu berbuat dan bersikap baik kepada orang tua, ayah dan ibu kita. Syariah yang mulia ini memerintahkan untuk memelihara mereka dan tidak membentaknya di saat mereka sudah renta. Sekadar mengatakan 'ah' pun dilarang. Bahkan, larangan ini disejajarkan oleh Allah setelah larangan syirik kepada-Nya.

'Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.'' (QS Al Isra [17]: 23).

Secara khusus pula, Islam memerintahkan penganutnya untuk berbakti kepada ibu. Karena, ibu adalah orang yang mengandung, melahirkan, serta merawat kita. Dalam Alquran, Allah SWT menggambarkan penderitaan ibu, sebagai penjelas kewajiban berbakti kepadanya. ''Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.'' (QS Luqman [31] : 14).

Memuliakan ibu merupakan kewajiban yang diutamakan dan mengantarkan pelakunya kepada derajat yang tinggi. Sehingga, jika tidak ada orang lain yang memperhatikan ibu, mengurus, serta memeliharanya harus didahulukan dari perang di jalan Allah sekalipun.

Mu'awiyah bin Jahimah As-Salami meriwayatkan bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ''Ya Rasulullah, aku ingin berperang. Aku datang kepadamu meminta pendapat.'' Rasulullah bertanya, ''Apakah engkau masih memiliki seorang ibu?'' Dia menjawab, ''Masih.'' Kemudian Rasul bersabda, ''Layanilah ia, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua telapak kakinya.'' (HR An-Nasa'i)

Allah SWT mengharamkan seorang hamba durhaka kepada ibunya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari Mughiroh bin Syu'bah. ''Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian durhaka kepada ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menahan dan menuntut dan dia tidak suka kalian banyak bicara, banyak bertanya dan menghambur-hamburkan harta.''

Bila Islam menghormati ibu sedemikian tinggi, bagaimana dengan kita? Belum terlambat untuk memuliakan ibu kita mulai hari ini!

Sumber : Hikmah Republika Online, 22-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=276482&kat_id=14

Thursday, December 21, 2006

Tabayun

Oleh : Chandra Kurniawan

''Siapa yang mengajarkan surah (Alquran) yang kamu baca ini?'' Umar bertanya kepada Hisyam. ''Rasulullah,'' jawab Hisyam. Umar kaget dengan jawaban Hisyam, karena ia merasa, Rasulullah mengajarkannya bukan dengan bacaan seperti itu. Dengan tegas dan keras Umar berkata, ''Dusta kamu! Apa yang diajarkan Rasulullah SAW kepadaku berbeda dengan cara kamu membaca.''

Umar merasa marah dengan ulah Hisyam. Ia ingin membuktikan bahwa Hisyam bersalah. Umar menyeretnya menemui Rasulullah SAW. Setelah menghadap Rasulullah, Umar pun mengadu tentang perihal ini. Apa kata Rasulullah kepada Umar? Rasulullah SAW bersabda, ''Lepaskan dia, Umar! Bacalah, Hisyam!''

Dari sini Rasulullah menghendaki agar Umar melepaskan Hisyam dan menyuruh Hisyam untuk membaca Alquran. Rasulullah menyuruh Umar melepaskan Hisyam sebagai upaya agar Hisyam dapat menjawab dengan tenang tanpa tekanan. Sedangkan Rasulullah menyuruh Hisyam untuk membaca Alquran agar Hisyam membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Kemudian, Hisyam membaca Alquran menggunakan dialek yang berbeda dengan dialek Umar. Setelah mendengar bacaan Alquran Hisyam, Rasulullah SAW bersabda, ''Begitulah ia diwahyukan.'' Artinya, benarlah apa yang dibacakan Hisyam.

Setelah mengetahui bacaan Hisyam benar, Rasulullah menyuruh Umar membacanya, takutnya dialek Umarlah yang salah. Lagi-lagi di sini Rasulullah tabayun. Sekalipun Umar adalah sahabat yang terdekat dengannya, beliau tak peduli. Beliau hanya taat kepada kebenaran, sekali lagi agar tidak timbul fitnah di kemudian hari. Sebab, bisa jadi, hanya karena hal sepele, Islam menjadi rusak dan umat terpecah belah.

Setelah memastikan bahwa bacaan Umar juga benar, Rasulullah SAW kemudian bersabda, ''Begitu pulalah ia diwahyukan. Alquran diwahyukan untuk dibacakan dengan tujuh cara (qira'ah as-sab'ah), maka bacalah dengan cara yang mudah bagimu.''

Rasulullah menghendaki agar umatnya mau tabayun (mencari informasi yang benar) atas kejadian yang menimpa saudaranya. Sehingga kelak, tidak timbul fitnah dan ghibah.

Mencari informasi yang benar atau tabayun, merupakan sikap yang sudah seharusnya melekat pada diri orang-orang beriman. Dengan cara seperti itulah umat Islam tidak mudah diadu domba oleh pihak yang tidak menginginkan Islam dan umatnya jaya.

Allah SWT berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.'' (QS Al-Hujurat [49]: 6).

Sumber : Hikmah Republika Online, 21-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=276354&kat_id=14

Wednesday, December 20, 2006

Sedih pada Tempatnya

Oleh : Chandra Kurniawan

Banyak di antara kita yang lebih bersedih pada urusan-urusan sepele seputar duniawi; bersedih karena sedikitnya harta, bersedih karena belum mendapatkan jodoh, bersedih karena belum memiliki anak, bahkan ada yang bersedih karena tim sepak bolanya kalah. Padahal dunia ini tempat persinggahan sementara.

Setiap orang sudah pasti akan mati, menemui Tuhannya, masuk surga atau neraka. Jangan pernah berpikir bahwa kematian kita akan datang pada usia 70 atau 80 tahun, misalnya. Tetapi berpikirlah bagaimana kita mengisi waktu dengan kebaikan.

Para ulama adalah orang yang hidup sederhana. Jika mendapatkan harta sekian, mereka mensyukurinya dan merasa cukup (qana'ah) dengannya. Sebut saja misalnya Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Taimiyah, Rabi'ah al-Adawiyah, dan Sayyid Quthb. Mereka hidup melajang hingga wafatnya, tapi mereka tidak bersedih karena belum menikah. Imam Bukhari hingga wafatnya belum memiliki anak satu pun, tapi tak pernah sekalipun dalam hidupnya dia meratap karena tidak dikaruniai anak.

Kebahagiaan seseorang itu tidak diukur dari materi duniawi, melainkan dari kebenaran yang sedang ditegakkannya dan kedekatannya pada Allah SWT. Bersedih karena urusan-urusan duniawi tidaklah menenteramkan hati dan tidaklah menambah kebaikan apa pun kepada kita. Sebaliknya, kesedihan hanya menambah gejolak dalam jiwa kita.

Dikisahkan bahwa seorang laki-laki pernah mendatangi salah seorang tabi'in yang sedang menangis, maka orang itu menaruh belas kasihan kepadanya. Ia lalu bertanya, ''Apa yang menyebabkanmu menangis? Apakah ada rasa sakit yang kau alami?'' Tabi'in itu menjawab, ''Lebih dahsyat dari itu.'' Orang tadi bertanya lagi, ''Apakah kamu mendapat berita bahwa salah seorang anggota keluargamu meninggal dunia?'' Tabi'in itu menjawab, ''Lebih dahsyat dari itu.'' Orang itu bertanya lagi, ''Apakah kamu kehilangan hartamu?'' Tabi'in itu menjawab, ''Lebih dahsyat dari itu.'' Laki-laki itu pun berkata sambil terheran-heran, ''Lalu, apakah yang lebih dahsyat dari semua itu?'' Tabi'in itu menjawab, ''Kemarin, karena tertidur, saya lupa bangun malam.''

Semestinya yang kita sedihkan adalah shalat yang tidak khusyuk, tidak mengisi waktu luang dengan amal shalih, tidak qiyamul lail, atau tidak bersedekah. Atau, melalaikan segala amal shalih lainnya padahal seharusnya kita sempat mengerjakannya.
Kita bersedih mestinya karena bekal untuk akhirat belum terisi penuh, padahal kita tak pernah tahu sampai batas mana usia kita. Lalu kesedihan itu akan menggerakkan hati untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Sumber : Hikmah Republika Online, 18-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275986&kat_id=14

Fasilitas Allah

Oleh : EH Kartanegara

''Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.'' (QS Adz-Dzariyaat [51]: 56). Ayat tersebut terkesan seperti pernyataan Allah, bukan perintah kepada manusia. Namun, jika dihayati lebih mendalam, lewat ayat tersebut Allah sesungguhnya menunjukkan kekuasaan-Nya yang absolut kepada manusia. Tak ada tawar-menawar bagi manusia untuk mencapai hakikat hidup selain menyembah kepada Allah.

Banyak orang yang berusaha atau mencoba melawan ketetapan itu. Kita tahu akibat apa yang akan ditanggungnya, baik semasa hidup di dunia maupun terlebih lagi kelak di akhirat. Hanya orang kafir yang congkak yang berani melawan ketentuan Allah, secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Bagi orang yang ikhlas, berserah diri kepada Allah dijamin bakal selamat di dunia dan akhirat. Sebab, kita --para manusia-- memang diciptakan Allah bukan untuk tujuan iseng atau main-main.

Para mufasir menafsirkan kata khalaqtu (tidak mencipta) dalam ayat tersebut, menunjukkan bahwa Allah punya kehendak khusus kepada manusia. Salah satunya adalah menjadi khalifah di bumi.

Maka, menjadi khalifah di bumi, tak lain adalah amanat, tugas, dan kewajiban, yang diberikan Allah kepada manusia. Bedakan kata 'khalifah' ini dengan pengertian politik manusia yang mentang-mentang dipilih menjadi pemimpin lewat pemilu, misalnya, lantas mau bertindak sewenang-wenang.

Khalifah dalam konteks amanat Allah adalah tugas mulia, yaitu menjadi wali atau wakil Allah di bumi. Di sini asyiknya, kalau Allah memberi tugas kepada manusia, pasti Allah juga memberi fasiltas yang luar biasa melimpah kepada manusia. Allah Mahatahu bahwa tanpa fasilitas, manusia hanyalah setitik debu yang hina.

Sungguh remeh jika fasilitas itu cuma berupa istana gemerlap, seribu mobil mewah, segudang berlian, dan deposito triliunan rupiah. Tak ada angka yang bisa mencatat fasilitas Allah untuk manusia. Kekayaan dan ilmu Allah, bahkan tak terbayangkan oleh manusia.

Untuk ilmu Allah, kita ingat surat Luqman (31) ayat 27, ''Dan sekiranya pohon-pohon di bumi adalah pena dan samudera (adalah tinta) dan sesudah itu ditambah dengan tujuh samudera, kalimat Allah tak akan pernah habis ditulis. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.''

Dalam teks aslinya, kata kalimatullah diterjemahkan oleh beberapa mufasir sebagai 'ilmu Allah dan hikmah-Nya'. Dengan ilmu Allah itulah, manusia diberi bekal materi, rohani, dan pengetahuan yang berlimpah untuk mengemban amanat menjadi wakil Allah di bumi.

Jika kepada para pejabat atau bos di kantor, kita tak malu merunduk-runduk, bahkan mengemis dan menyuap demi memperoleh fasilitas, sungguh terlaknat jika kita tak mau menyembah Allah. Jauh sebelum memperoleh fasilitas dari orang lain, kita sudah lebih dulu menikmati fasilitas gratis dari Allah yang telah menghidupkan kita.

Sumber : Hikmah Republika Online, 16-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275817&kat_id=14

Friday, December 15, 2006

Menjaga Hati dan Lisan

Oleh : Ibnu Hasan

Rasulullah SAW pernah menjamin surga bagi siapa saja di antara kaum Muslimin yang sanggup menjaga dua hal, yaitu menjaga apa yang terdapat di antara kedua bibirnya (lisan) dan menjaga apa yang terdapat di antara kedua kakinya (kemaluan). Mengapa penjagaan terhadap lisan menempati posisi yang sangat penting di dalam agama ini?

Fakta memperlihatkan betapa lisan manusia mampu menimbulkan kekacauan sosial serta konflik yang berkepanjangan. Pertikaian seringkali bermula dari lidah yang tidak dijaga dengan baik.

Alquran menasihati kita, ''Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.'' (QS Al Hujurat [49]: 12).

Dalam ayat yang lain Allah menyatakan bahwa prasangka sama sekali tidak berfaedah terhadap kebenaran (QS An Najm [53]: 28). Seringkali, kita menyangka yang bukan-bukan terhadap seseorang, padahal kita sama sekali tidak memiliki data yang pasti tentang itu. Kita juga sama sekali tidak mengetahui isi hati orang tersebut.

Bila sudah mulai menyangka yang tidak baik, maka kita pun akan cenderung dijalani pula, yaitu mencari-cari kesalahan (tajassus). Jika kita tidak suka terhadap orang lain, maka berbagai jalan akan ditempuh untuk mencari-cari hal yang salah dari diri orang tersebut. Kalau kesalahan sudah dicari-cari, maka manusia yang paling mulia pun akan tampak penuh noda di depan mata.

Prasangka dan tajassus biasanya akan dekat dengan bergunjing. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah RA dikatakan bahwa Rasulullah SAW suatu kali ditanya tentang pengertian ghibah. ''Yaitu kamu menyebut-nyebut saudara kamu tentang sesuatu yang tidak disukainya,'' terang Rasul. ''Lantas bagaimana sekiranya saudara saya seperti apa yang saya sebutkan?'' tanya orang itu lagi. ''Kalau dia seperti yang kamu ucapkan, berarti kamu telah melakukan ghibah, tapi sekiranya ia tidak seperti yang engkau katakan, maka kamu telah membuat tuduhan palsu terhadapnya.'' Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Manusia-manusia yang baik pun bisa memiliki kekurangan. Tapi, bukan berarti hal itu layak untuk diinvestigasi dengan prasangka dan tajassus serta dipublikasi dengan ghibah. Bukankah seorang hamba seharusnya merasa malu dengan teguran Tuhannya yang mengumpamakan semua itu dengan 'memakan daging bangkai saudaranya yang sudah mati'? Tidakkah kita merasa jijik karenanya?

Sumber : Hikmah Republika Online, 15-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275695&kat_id=14

Thursday, December 14, 2006

Usia Empat Puluh

Oleh : Agus Sutanto

Akar dan orientasi kultur masyarakat Barat adalah materialisme. Mereka menilai dan membuat indikator hidup dari sisi materialistis. Atas dasar ini tidak mengherankan jika mereka mempunyai ungkapan bahwa 'hidup' dimulai pada umur 40 tahun. Life begin at 40.

Asumsinya adalah pada umur ini, karier telah cukup mapan, pendapatan, serta kekayaan telah mencukupi. Karena itu, sering pula pada usia 40 ini dikaitkan dengan puber kedua, yang membawa pada perselingkuhan. Kemapanan materi membawa godaan, sehingga umur 40 tahun merupakan saat kritis terjadi perceraian dalam rumah tangga.

Islam memberi perhatian kepada umur 40 berbeda secara diametrikal dengan budaya Barat. Umur 40 tahun mendapat perhatian khusus dari Alquran. Dalam Surat Al Ahqaf [46] ayat 15 Allah berfirman: ''Kami perintahkan manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: Ya tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah kau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat beramal shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.''

Dalam surat tersebut setidaknya terdapat empat indikator kemuliaan manusia yang seharusnya menjadi identitas orang yang mencapai umur 40 tahun yaitu bersyukur, beramal shalih, bertaubat, dan berserah diri. Bersyukur kepada Allah atas karunia umur yang mengantarkannya mencapai angka 40.

Bersyukur atas kenikmatan hidup yang telah dianugerahkan Allah baik berupa kenikmatan material maupun nikmat anak keturunan (dzuriyat).

Bersyukur sesuai hakikat bahwa semuanya karena kehendak yang mengikuti nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah dan dicontohkan dalam kehidupan Rasul dan para sahabat.
Bertobat disertai kesadaran bahwa manusia mempunyai kalbu yang berbolak-balik antara tarikan kebaikan dan keburukan. Bertobat disertai perenungan dan perhitungan apakah di usia 40 tahun lebih berat kebaikannya atau keburukannya.

Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadisnya, ''Sesiapa yang mencapai umur 40 tahun dan dosanya lebih berat dari amal baiknya maka bersiaplah memasuki neraka.''
Berserah diri, merupakan permulaan yang pas untuk menapaki usia 40 tahun. Dengan demikian umur 40 tahun dipandang sebagai pencerahan kejiwaan, gerbang cahaya menuju kehidupan yang lebih mulia. Wallaahu a'lam.

Sumber : Hikmah Republika Online, 13-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275384&kat_id=14

Tuesday, December 12, 2006

Video

Oleh : Prof Ir H Ardi MSc

Kehadiran video telah memberikan dampak atau pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat dewasa ini. Dengan video kita bisa merekam momen-momen penting dalam kehidupan kita sebagai kenangan indah.

Namun, video juga kerap dipergunakan untuk tujuan yang tidak terpuji. Tersebarnya video porno yang mungkin berdurasi hanya beberapa menit saja ke masyarakat, tidak hanya berdampak besar pada si pelakunya, tetapi juga pada keluarga, institusi, dan masyarakat. Jabatan yang tinggi bisa copot, harga diri, pamor, dan ketenaran seketika ternoda. Malu tidak hanya menimpa si pelaku tetapi juga keluarganya.

Itu baru di dunia, bagaimanakah di akhirat kelak? Mudah-mudahan kita semua tersadar bahwa sebenarnya kehidupan kita di dunia mulai sejak kita dilahirkan ibunda tercinta sampai ajal menjemput, tidak satu detik pun luput dari catatan dan rekaman video yang mahacanggih. Ada dua 'kameraman' yang tidak pernah tidur, yaitu malaikat Rakib dan Atid yang selalu setia mendampingi di kanan dan kiri kita. Semua perbuatan baik dan buruk yang kita lakukan akan tercatat dan terekam secara detail dari segala posisi dan sudut.

Perbuatan-perbuatan baik seperti shalat, puasa, zakat, membantu orang lain dan sebagainya akan tercatat dan terekam. Perbuatan buruk pun tidak akan ada yang terluput, mulai dari mengambil ubi di kebun tetangga hingga korupsi atau menerima suap, semua terekam. Dalam mahkamah Allah kelak, semua akan diputar ulang di hadapan-Nya dan semua makhluk-Nya. Dalam QS Qaaf (26): 16-17 ''Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.'' (QS Qaaf [50]: 16-17).

Dalam surat Al Infithaar (82) ayat 10-12 juga disebutkan, ''Padahal, sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.''

Apakah kita tidak malu seandainya catatan dan video kehidupan kita yang jelek diperlihatkan dan diputar di hadapan Allah kelak? Belum terlambat rasanya untuk memulai membuat 'rekaman' yang baik, yang membuat kita layak untuk masuk dalam golongan orang-orang mulia di sisi Allah.

Sumber : Hikmah Republika Online, 12-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275238&kat_id=14

Monday, December 11, 2006

Menjinakkan Perasaan

Oleh : Guslaeni Hafidz

Al-Hafidz Abu Ishak Ibrahim bin Abdurrahman meriwayatkan dari Dhamirah, dia mengisahkan, ada dua orang yang mengajukan persengketaan kepada Nabi SAW. Beliau memenangkan yang benar dan mengalahkan yang batil. Orang yang dikalahkan menyatakan ketidakrelaannya.

Temannya bertanya, ''Apa yang kamu inginkan?'' Dia menjawab, ''Kita ingin menemui Abu Bakar ash-Shiddiq.'' Maka keduanya pun berangkat untuk menemuinya. Orang yang menang berkata, ''Sesungguhnya kami berdua mengadukan persengketaan kami kepada Nabi SAW dan beliau memenangkan perkaraku.'' Maka Abu Bakar berkata, ''Kalian tetap dalam keputusan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.''

Namun temannya tetap menolak keputusan dan berkata, ''Ayo kita menemui Umar saja.''' Kemudian orang yang menang perkara berkata, ''Sesungguhnya kami berdua mengadukan persengketaan kami kepada Nabi SAW dan beliau memenangkan perkaraku, tetapi dia tidak menerimanya.'' Kemudian Umar bertanya kepada orang yang menolak keputusan, dan dia berkata, ''Begitukah?'' Kemudian Umar masuk ke rumah dan sebentar kemudian dia keluar sambil membawa pedang yang terhunus. Lalu dia memenggal leher orang yang menolak keputusan hingga tewas.

Maka Allah menurunkan ayat, ''Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.'' (QS An-Nisaa' [4]: 65)
Dalam mensikapi aturan Allah, sering kali kita terhanyut oleh perasaan. Kita menilai baik dan buruknya aturan dari Sang Pencipta mengikuti anggapan perasaan.

Kisah asbabun nuzul di atas seharusnya mengingatkan kita. Sebagai hamba Allah, tak pantas rasanya meragukan aturan-aturan yang telah Allah tetapkan. Sikap terbaik yang kita tunjukkan adalah sami'na wa ato'na (kami mendengar dan kami taat). Bukan lantas mengukurnya dengan perasaan yang sangat mudah terwarnai oleh kondisi lingkungan yang kian jauh dari nilai-nilai Islam.

Kini, saatnya kita belajar menjinakkan perasaan kita agar tidak terkotori oleh hawa nafsu yang bisa melemahkan keimanan kita. Ingatlah, ''Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.'' (QS Al-Baqarah [2]: 216). Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 11-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=275093&kat_id=14

Budaya Malu

Oleh : Ibnu Hasan

''Sesungguhnya sebagian yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah, 'Bila kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu'.'' (HR Bukhari).

Rasa malu memang merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita. Sekiranya tidak ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis di atas akan benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa kekangan. Kalau sudah seperti itu, maka berbagai penyelewengan dan penyimpangan tentu akan dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah.

Bahkan mungkin, berbagai penyimpangan itu dikemas dalam tampilan yang saleh dan agamis. Tanpa adanya rasa malu, apa yang tidak layak menjadi pantas, dan apa yang terlarang menjadi boleh dan dipandang baik.

Penting untuk dipahami bahwa rasa malu seharusnya diarahkan pada hal-hal yang salah dan buruk, bukan dalam hal-hal yang benar dan baik. Tidak semestinya seseorang malu untuk menuntut apa yang memang menjadi haknya. Tapi, ia seharusnya malu jika mengambil apa-apa yang bukan haknya, walaupun tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui perbuatannya.

Nabi Luth AS mengingatkan kaumnya (yang menyimpang secara seksual) ketika mereka datang dan bernafsu pada tamu-tamu Luth yang berparas tampan. Beliau berkata, ''Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu.'' (QS Al-Hijr [15]: 68). Namun, apa hendak dikata, rasa malu sudah hilang dari diri mereka. Dan, mereka pun hendak melampiaskan nafsu sesuka mereka. Sampai akhirnya Allah menurunkan azab atas diri mereka. Alangkah indah sekiranya kaum Muslimin memiliki rasa malu yang kuat, sehingga rasa malu itu menjadi penuntun ke arah perilaku yang mulia. Setiap kali hal-hal yang buruk menggoda di hadapan, maka mereka berkata dengan hati yang bergetar, ''Sungguh saya malu pada Allah untuk berbuat yang semacam ini."

Semua itu akan menjadi lebih kokoh lagi ketika rasa malu sudah menjadi karakter yang bersifat kolektif. Budaya malu. Dengan begitu semua pihak saling diingatkan untuk merasa malu setiap kali terdorong melakukan hal yang buruk. Sebagai konsekuensinya, rasa malu akan menjadi ''penyakit'' yang menulari masyarakat luas. Maka, insya Allah masyarakat pun akan menjadi sehat setelah terjangkit ''penyakit'' yang positif ini.

Apakah masih ada rasa malu di hati kita? Barangkali perhatian kita terhadap pertanyaan tersebut pada hari ini akan menjadi penyelamat bangsa di masa-masa yang akan datang. Semoga!

Sumber : Hikmah Republika Online, 09-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=274940&kat_id=14

Thursday, December 07, 2006

Umat yang Kuat

Oleh : A Ilyas Ismail

Kata Islam dalam Alquran disebut hanya delapan kali, sedangkan kata ummat (umat) diulang sampai 64 kali yang tersebar dalam 13 surat. Ini menarik, mengarah pada indikasi bahwa persoalan umat bisa lebih besar ketimbang persoalan Islam itu sendiri.

Umat adalah suatu komunitas yang diikat oleh kesamaan visi dan misi (ideologi). Dalam bahasa Alquran, kata umat berasal dari kata umm, yang berarti ibu. Ini dapat dipahami bahwa keberadaan umat itu sama dengan keberadaan seorang ibu. Peran keduanya tak diragukan lagi, amat penting, bahkan menentukan kelangsungan dan kemajuan hidup manusia.

Pendapat lain menyatakan, kata umat berasal dari kata amma, yang secara harfiah bermakna bergerak ke depan. Dari kata ini dibentuk kata amam, berarti depan, dan kata imam, berarti pemimpin atau orang yang berada di barisan depan.

Dalam pengertian ini, umat adalah suatu komunitas yang diminta untuk terus bergerak maju atau melangkah ke depan mendekati visi atau cita-cita. Sebagai sutu komunitas, umat Islam dianugerahi oleh Allah tiga sifat yang menjadi inti kekuatannya, yaitu umat pertengahan (ummatan wasathan, QS Al-Baqarah [2]: 143), umat penyeimbang (ummatan muqtashidah, QS Al-Maidah [5]: 66), dan umat terbaik (khairu umma).

''Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.'' (QS Ali Imran [3]: 110).
Menurut Sayyid Quthub, umat terbaik seperti dikehendaki ayat di atas, adalah umat yang benar dari segi akidah dan ibadah, serta kuat dari segi ekonomi dan politik. Dengan begitu mereka mampu memegang kendali kepemimpinan dunia (al-qiyadah al-basyariyah) seperti dibuktikan oleh Rasulullah SAW dan kaum Muslimin pada periode awal Islam.

Amar ma'ruf, nahi munkar, dan iman dipahami Quthub sebagai ciri atau karakteristik dasar komunitas Islam (umat). Dalam bahasa modern, amar ma'ruf dapat dipahami sebagai humanisasi, yaitu program pemberdayaan (empowerment) dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Nahi munkar dipahami sebagai liberasi, yaitu ikhtiar membebaskan umat dari kezaliman dan berbagai pelanggaran moral.

Sementara iman bermakna transendensi, yaitu seruan agar manusia tidak melupakan komitmen dan perjanjian primordialnya dengan Allah SWT. Pada humanisasi terkandung penguatan intelektual, sedangkan pada liberasi terkandung penguatan moral. Sementara pada transendensi terkandung penguatan spiritual.

Inilah tiga hal yang akan membangun kekuatan umat, yaitu kekuatan intelektual, moral, dan spiritual. Dengan tiga kekuatan ini, manusia baik sebagai individu maupun sebagai umat, akan bertahan hidup (survive), bahkan panjang umur dalam arti maju dan beradab. Wallahu a'lam.

Sumber : Hikmah Republika Online, 06-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=274484&kat_id=14

Wednesday, December 06, 2006

Musibah

Oleh : Asrori

Musibah dalam bahasa Arab berarti mengenai, menimpa, atau membinasakan. Muhammad Husein Thabataba'i, ahli tafsir modern dalam kitabnya, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, menyatakan bahwa musibah adalah kejadian apa saja yang menimpa manusia yang tidak dikehendaki. Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Nasr at-Thabari pernah mengatakan, ''Apa yang menimpa manusia berupa hal-hal yang tidak dikehendaki, itu namanya musibah.''

Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menyinggung persoalan 'musibah' ataupun nama lain dari itu, bala dan cobaan. Seperti termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 155, Al Maidah (5) ayat 49, dan At Taubah (9) ayat 50. Musibah yang menimpa seseorang atau suatu kelompok tertentu, berupa sakit, kerugian dalam usaha, kehilangan barang, meninggal dunia (musibah yang bersifat individual), dan bencana alam, peperangan, wabah penyakit, kekeringan yang berkepanjangan, dan musibah lain yang bersifat sosial.

Musibah adalah ketentuan yang datang dari Allah SWT yang tidak bisa ditolak maupun dicegah. Walau demikian, manusia wajib untuk menghindari atau mengantisipasi dari berbagai bentuk musibah yang sudah maupun yang akan terjadi pada diri kita. Seorang yang terkena sakit diwajibkan untuk berobat agar mendapatkan kesehatan seperti sedia kala. Bila terkena banjir, kekeringan, ataupun bencana alam lainnya, diwajibkan baginya untuk menghindar dari bahaya tersebut.

Upaya untuk mengantisipasi musibah bukan saja pada tingkat pencegahan semata, tapi juga pada tingkat penanggulangannya. Karena membiarkan diri dalam kerusakan dan kebinasaan sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Alquran dalam menjaga jiwa. Sebagaimana firman Allah, ''Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah sangat menyukai orang-orang yang berbuat baik.'' (QS Al Baqarah [2]: 195).

Islam memberikan tuntunan dalam menyikapi musibah yang dialami oleh seseorang, berupa istirja -- mengembalikan segalanya kepada Allah SWT dengan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (sesungguhnya kami milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya). Berdoa agar musibah yang menimpa diri kita hanyalah bentuk ujian dari Allah SWT bagi hamba-Nya yang soleh. Ikhlas dan lapang dada dalam menghadapinya, agar kita mendapatkan rahmat dan pahala-Nya.

Dalam kehidupan di dunia, secara niscaya manusia tidak akan pernah terlepas dari musibah, bencana, dan cobaan. Selama hayat masih dikandung badan, seketika itu juga musibah mengintai dan kerap menghampiri kita. Dua hal saja menghadapinya, melakukan upaya antisipasi dan ber-istirja. Waqllahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Hikmah Republika Online, 05-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=274342&kat_id=14

Makanan Hati

Oleh : Abdussalam

''Ingatlah bahwa dalam tubuh terdapat sepotong daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah, sepotong daging itu adalah hati.'' (HR Bukhari).

Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW menggambarkan betapa hati mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam diri seseorang. Pantaslah kiranya, jika ia dapat disebut sebagai parameter dari segala aktivitas manusia. Hati dalam hadis di atas bukanlah hati dalam bentuk fisik yang berfungsi sebagai penyaring racun dalam tubuh. Hati yang dimaksud adalah hati yang dapat mengantarkan seseorang pada keadaan yang penuh ketenangan, kedamaian, ketenteraman, dan bahkan pada sebuah yang cinta abadi.

Secara leksikal, kata hati adalah hasil terjemahan dari qalb (kalbu). Kalbu merupakan bentuk masdar dari fiil qalaba-yaqlibu-qalban, yang berarti membalikkan, mengubah, memalingkan, dan mengalami perubahan. Pemaknaan etimologis tersebut tidak jauh dari latar belakangnya yang cenderung selalu berubah-ubah.

Kalbu adalah lokus dari kebaikan dan kejelekan, kebenaran dan kesalahan. Hati dalam bentuk ruh atau lathifah adalah sesuatu yang halus, tidak kasat mata, tidak dapat diraba, dan bersifat rohani rabbani.

Lathifah tersebut merupakan hakikat dari diri manusia. Ia adalah salah satu komponen manusia yang berpotensi memahami, menyerap, atau memersepsikan segala hal yang ditujukan kepadanya dan akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan kata lain, hati menunjukkan sentralitas dalam diri manusia sebagai pusat kepribadian dan membuat manusia menjadi manusiawi. Untuk mengenali seseorang, apakah hatinya tenteram atau tidak dapat dikenali dari segala tingkah laku fisik mereka. Karena segala tingkah laku seseorang bersumber dari panggilan atau bisikan suara hatinya (shaut al-dlamir).

Bagi orang yang bertingkah laku Qurani, berarti hatinya tenteram, dan bagi orang yang bertingkah laku syaithani maka dalam hatinya tidak ada rasa tenteram yang menyelimutinya.

Kecenderungan hati ditentukan oleh ''makanan'' apa yang dikonsumsinya. Karena sebagaimana tubuh, hati juga butuh makan. Tetapi, bukan berbentuk konkret seperti nasi, roti, keju, dan lain sebagainya. Makanan untuk hati dapat dilakukan berupa dzikrullah (banyak mengingat Allah).

Allah SWT berfirman, ''(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah (dzikrullah). Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram.'' (QS Al-Radu: 28). Bila dalam sehari semalam sedikitnya kita memerlukan makanan sebanyak tiga kali plus camilan, berapa kali dalam sehari Anda memberi ''makan'' hati Anda?

Sumber : Hikmah Republika Online, 02-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=274017&kat_id=14

Muhasabah

Oleh : Ihsan M Rusli

Waktu ibarat pedang yang akan menebas siapa saja yang tidak memanfaatkannya dalam kebaikan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-'Ashr (103): ''Demi waktu, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati dalam kebenaran dan nasihat-menasihati dalam kesabaran.''

Salah satu keunikan waktu adalah dia tidak dapat diulang, tak dapat mundur; waktu akan berjalan terus melaju ke depan. Suka atau tidak suka dia akan meninggalkan mereka yang lalai, yang tidak memanfaatkan waktunya secara maksimal untuk kebajikan dan ketakwaan kepada Allah.

Dalam setiap pergantian waktu, entah itu tahun Masehi atau Hijriyah, kita diingatkan kembali akan perlunya melakukan muhasabah, evaluasi diri, atau introspeksi. Tentu saja evaluasi diri secara kritis dan jujur yang bagi seorang Muslim tidak hanya dilakukan dalam hitungan tahun, malah dalam setiap denyut napas kita akan selalu ada pertanyaan evaluatif.

''Allah ridha apa tidak terhadap apa yang aku perbuat?'' Hal itu bisa saja dilakukan menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, dan bulan demi bulan. Shalat lima waktu juga mengingatkan kita akan perlunya muhasabah dalam setiap rentang waktu yang kita lalui di antara shalat-shalat kita.Perputaran waktu, pergantian tahun, adalah sarana muhasabah bagi setiap Muslim untuk mencetak prestasi yang lebih baik di hari depan. Allah SWT mengingatkan manusia tentang hal ini, ''Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS 59: 18) Tidak ada jalan lain bagi seorang Muslim bahwa kehidupan yang dilakukannya harus dievaluasi secara terus-menerus dengan istikamah.

Hasil dari muhasabah akan membuat seseorang kembali termotivasi untuk berprestasi karena Allah dalam setiap aktivitas kehidupannya. Percayalah Allah Mahateliti dan tidak pernah lengah, walau manusia tidak dapat melihat Allah secara zahir tapi Allah selalu melihat dan mengawasi hamba-Nya.

Ketakwaan itulah prestasi tertinggi yang harus diraih oleh seorang mukmin. Untuk itulah perlunya muhasabah dilakukan. ''.... Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.'' (QS Al Hujurat [49]: 13)

Sumber : Hikmah Republika Online, 01-12-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=273881&kat_id=14

Tuesday, December 05, 2006

Persahabatan yang Tulus

Oleh : Sudar As-Salafy Zein

Abu Sulaiman Darami berkata, ''Jangan sekali-kali engkau bersahabat kecuali salah satu dari dua macam ini. Pertama, orang yang dapat engkau ajak bersahabat dalam urusan duniamu dengan jujur. Dan, kedua orang yang karena bersahabat dengannya engkau memperoleh kemanfaatan untuk urusan akhiratmu.''

Islam sangat menjunjung tinggi persahabatan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ''Tidakkah engkau beriman sehingga engkau mencintai sesama saudaramu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri.''

Wujud refleksi cinta bukan hanya dalam sikapnya untuk selalu membela sesama saudaranya, tetapi tampak pula dari tutur katanya yang lemah lembut, caranya bicara yang sangat waspada. Dia takut apabila ada orang lain tersakiti hatinya karena lidahnya, walau dalam bercanda atau senda gurau sekalipun.

Lihatlah tanda-tanda persaudaraan itu; ketika kita memberi sesuatu maka dia akan menerimanya dengan rasa haru. Ketika kita dalam kesulitan, dialah orang pertama yang menawarkan diri untuk meringankan beban. Ketika dalam kegelapan, dialah manusia paling merasa bersalah karena merasa tidak memberikan pelita.

Penderitaannya bukanlah karena dirinya lapar atau sakit merintih dalam rasa nyeri. Penderitaan yang dia rasakan adalah ketidakberdayaannya ketika melihat saudaranya kedinginan mengerang kelaparan; menanggung beban hidup berkepanjangan. Kebahagian baginya adalah apabila dia bisa bagaikan cahaya yang menerangi sekitarnya.

Renungkanlah, ketika Rasulullah memekik karena sakit yang tak tertahankan tatkala malaikat mencabut nyawa Beliau. ''Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.''

Tubuh Rasulullah SAW mulai dingin, kaki dan dada beliau sudah tak bergerak. Bibir beliau bergetar seakan hendak menyampaikan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinga beliau. ''Uushikum bishshalati, wa ma malakat aimanukum (peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu).''

Fatimah menutupkan tangan ke wajahnya, sementara Ali kembali mendekatkan telinga ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan, ''Ummatii, ummatii, ummatii (umatku, umatku, umatku),'' bisik Rasulullah. Begitulah ketulusan cinta Rasullah SAW kepada kita. Di antara sakaratul maut Beliau, kita diingatnya. Betapa ikhlasnya perjuangan dan pengorbanan Rasulullah SAW; hanya berharap dapat memberikan kebaikan yang terbaik bagi kita. Sebagai umatnya, sudahkah kita bisa dengan tulus mengasihi sesama, seperti dicontohkan Beliau?

Sumber : Hikmah Republika Online, 30-11-2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=273722&kat_id=14