Tuesday, July 31, 2007

Mengumpat

Oleh : Jamalullail Mahfudz

''Orang mukmin bukanlah orang yang suka menghina, suka mengutuk, suka melakukan perbuatan keji, dan mengatakan perkataan yang kotor.'' (HR Tirmidzi).

Rasulullah SAW mengecam orang yang saling mengumpat dan saling mencaci-maki. ''Dua orang yang saling mencaci-maki, dosa cacian yang mereka ucapkan ditimpakan kepada mereka berdua, sampai orang yang teraniaya (orang yang mulai dimaki) melampaui batas.'' (HR Muslim). Apalagi jika yang saling mencaci maki itu sesama kaum Muslim, menurut Rasulullah, ini adalah suatu kefasikan. (HR Bukhari dan Muslim). Juga perhatikan firman Allah SWT, ''Wahai orang-orang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.'' (QS Al Ahzab [33] : 70).

Mengumpat sangat berbahaya jika dilakukan dan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya akan dimasukkan ke neraka kepada orang yang suka mengumpat, dengan mengucapkan kata-kata kotor. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW ditanya, ''Perkara apakah yang paling penting yang memasukkan seseorang ke dalam surga?'' Rasulullah menjawab, ''Takut kepada Allah dan bertabiat baik.'' Beliau ditanya lagi, ''Perkara apakah yang paling telak yang menyebabkan seseorang masuk neraka jahanam?'' Rasulullah SAW menjawab, ''Mulut dan kemaluan.''

Dari Abu Sa'id Al Khudriy RA berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Apabila datang waktu pagi maka semua anggota badan anak Adam (manusia) memperingatkan kepada lidahnya, di mana anggota-anggota badan itu berkata, 'Takutlah kepada Allah dalam memelihara keselamatan kami, karena nasib kami tergantung kamu, bila kamu lurus maka kami pun lurus, dan bila kamu menyeleweng maka kami pun menyeleweng.'' (HR Tirmidzi).

Mengumpat juga akan jauh dari rahmat Allah SWT, ini karena Allah sangat membenci hamba-Nya yang berkebiasaan mengumpat. Ibnu Umar RA berkata, ''Manusia yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah orang yang suka memaki dan mengutuk.'' Islam mengajarkan berhati-hati dalam berucap, bertindak, dan bersikap, apalagi hanya karena hal-hal yang sepele. Terlalu sayang mengeluarkan kata-kata buruk. Bukan semata tak ada manfaatnya, malah mendatangkan kebencian Allah.

Hikmah Republika Online, 27-07-2007

Thursday, July 26, 2007

Hina

Oleh : Sabrur R Soenardi

Suatu hari Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada Ibrahim bin Adham, ''Bagaimana model kehidupan Anda?'' Ibrahim menjawab, ''Jika kami memperoleh rezeki kami bersyukur, jika tidak maka kami bersabar.'' ''Itu sama halnya dengan kebiasaan anjing-anjing di Khurasan,'' timpal Syaqiq. Ibrahim bertanya, ''Memangnya bagaimana model kehidupan Anda?''

Syaqiq menjawab, ''Jika kami mendapat rezeki, maka kami dermakan, jika tidak maka kami bersyukur.'' ''Anda pasti seorang mahaguru (tasawuf),'' kata Ibrahim bin Adham takzim. Kisah dalam kitab Nafahat al-Uns karya Jami di atas itu, menyiratkan asumsi bahwa solidaritas sosial dan sikap tidak mementingkan diri sendiri hampir susah kita jumpai di dunia manapun dan zaman apa pun. Jangankan mendermakan rezeki ketika menerima (model Syaqiq al-Balkhi itu), bersyukur saja ketika mendapatkan rezeki (model Ibrahim bin Adham) mungkin belum tentu.

Yang ada adalah, jika tidak memperoleh rezeki manusia umumnya berkeluh kesah, dan jika sudah mendapatkannya maka ia ingin tambah terus dan terus. Model seperti ini barangkali bisa kita saksikan manifestasinya pada sikap dan perilaku sebagian kaum elite politik kita belakangan ini, yang ingin selalu bergelimang fasilitas. Gaji naik, tunjangan ini dan itu, biaya sana dan sini, meski itu mungkin belum sebanding dengan maksimalitas kinerja yang ditunjukkan.

Jika orang yang hanya bersyukur jika mendapat rezeki dan bersabar ketika tidak mendapat rezeki oleh Syaqiq Balkhi diibaratkan tak ubahnya anjing, maka bagaimana dengan mereka yang tak pernah bersyukur dan tak pernah merasa puas dengan apa yang sudah diterimanya? Tentu berarti mereka lebih hina lagi.

Alasannya, mereka tidak pernah bersyukur. Sebaliknya, mereka berpikiran bahwa segala yang mereka dapatkan adalah hasil jerih payah mereka. Mendermakan sebagian hartanya dianggap sebagai tindakan merugikan diri sendiri.

Apa yang pernah disabdakan oleh Nabi SAW sangatlah cocok untuk mengilustrasikan 'gaya hidup' mereka ini. Kata Nabi Saw, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah, ''Seorang anak Adam jika memiliki segunung emas, maka ia pasti ingin memiliki dua (gunung emas). Ia tak akan pernah puas, hingga tanah memenuhi lubang hidungnya (mati).'' (HR Bukhari dan Muslim). Nauzubillahi min dzalik. Semoga kita terhindar dari sifat yang demikian.

Hikmah Republika Online, 25-0702007

Monday, July 23, 2007

Ilmu yang Bemanfaat

Oleh : Nasrullah Nurdian al-Khayyath

Ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung kebaikan (maslahat), memiliki nilai-nilai positif bagi sesama manusia ataupun alam. Namun, manfaat tersebut menjadi kecil artinya bila faktanya tidak membuat pemiliknya semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Imam Malik bin Anas RA (wafat 179 H) mendiskripsikan tentang ilmu yang bermanfaat itu. Ia berkata, "Yang disebut ilmu bermanfaat itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan sesuatu (hadis), melainkan nur (cahaya) Allah yang Mahasuci yang dimasukkan ke dalam hati manusia, yang selalu menerangi pemiliknya dalam setiap saat, baik dalam keadaan jelas (zhahir) atau tersembunyi (khali).''

Dengan ilmu, derajat seseorang akan terangkat, menyelami hidup ini dengan penuh semangat dan optimistis, terbukanya tabir kegelapan, serta semakin kokoh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman, ''Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kalian dengan beberapa derajat.'' (QS Al-Mujadalah [58]: 11).

Lalu, bagaimana cara memperoleh ilmu yang dapat menerangi hati kita dari kegelapan? Imam Syafi'i RA (wafat 204 H) ketika masih menuntut ilmu pernah mengeluh dan mengadukan suatu problematika kepada gurunya. Kata beliau, ''Wahai Guru, mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah dipahaminya?'' Lalu Imam Waki' RA (Sang Guru) menjawab, ''Ilmu itu ibarat cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.'' (Diwan al-Syafi'i).

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya bagi penuntut ilmu selalu berhati bersih, mempunyai perangai yang mulia, menjauhkan maksiat, serta meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela (al-akhlak al-madzmumah) yang jelas-jelas tidak disukai Allah dan Rasul-Nya. Hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari sifat tamak (rakus) terhadap urusan duniawi dan tidak pernah digunakan menzalimi sesama.

Hikmah Republika Online, 20-07-2007

Friday, July 20, 2007

Itsar

Oleh : Mujiyanto

Al itsar atau mengutamakan orang lain adalah tindakan yang disunahkan oleh Rasulullah SAW. Perilaku ini merupakan wujud persaudaraan sejati sesama Muslim. Itsar memiliki nilai yang mulia di sisi Allah.

Suatu ketika ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW. Ia bermaksud meminta bantuan kepada Nabi karena sedang dalam kesusahan. Rasulullah kemudian menyuruh laki-laki itu untuk menemui salah satu istrinya. Maka istri Rasul berkata, ''Demi Allah yang telah mengutusmu dengan hak, aku tidak mempunyai apapun kecuali air.'' Mendengar itu, Rasul menyuruh laki-laki itu kepada istri beliau yang lain. Ternyata, hasilnya sama. Istri Rasulullah hanya punya air.

Rasul kemudian bersabda di hadapan para sahabat, ''Siapa yang mau menjamu tamu pada malam ini?'' Seorang laki-laki dari kaum Anshar menyanggupinya. ''Aku, ya Rasul.'' Orang Anshar ini lalu membawa laki-laki tersebut ke rumahnya.

Sesampai di rumah ia berkata kepada istrinya, ''Wahai istriku, muliakanlah tamu Rasulullah ini. Apakah engkau punya sesuatu?'' Istrinya menjawab, ''Tidak, kecuali makanan anak-anak kita.''

Mendengar jawaban istrinya, orang Anshar ini tidak lantas mengusir sang tamu. Ia berpesan kepada istrinya, ''Hiburlah mereka (anak-anaknya). Jika mereka mau makan malam maka tidurkanlah. Jika tamu kita sudah masuk, matikanlah lampu dan perlihatkan kepadanya seolah-olah kita sedang makan.''

Tamu itu pun datang. Mereka semua duduk. Tamu itu pun makan dalam keadaan gelap. Orang Anshar dan istrinya menemani sang tamu, seolah-olah sedang makan pula. Akhirnya sahabat Anshar dan istrinya itu tidur dalam keadaan lapar.

Ketika waktu Subuh, sahabat Anshar ini menemui Rasulullah SAW dan menceritakan perbuatannya. Nabi pun berkata, ''Allah sungguh takjub karena perbuatan engkau bersama istrimu tadi malam pada saat menjamu tamu.'' (Mutafaq alaih)

Alangkah indah jika karakter itsar muncul sekarang. Apalagi banyak anggota masyarakat yang mengalami kesusahan hidup. Itsar mendorong kita untuk mau menekan ego dan mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain.

Memang tidak bisa dimungkiri, kini justru karakter mementingkan diri sendiri yang mendominasi kehidupan kita. Namun, bukan berarti itsar tidak bisa kita lakukan. ''... Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya....'' (QS Saba [34]: 39).

Hikmah Republika Online, 16-07-2007

Thursday, July 19, 2007

Kenyang

Oleh : Ganda Pekasih

''Tidak ada bejana yang yang diisi anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam untuk menegakkan tulang punggungnya. Sepertiga perutnya untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya dan sepertiga lagi untuk nafasnya.'' (HR At Tirmidzi) Makan, sesungguhnya jelas tidak hanya sekadar penghalau rasa lapar. Apalagi saat ini. Makan menjadi bagian dari gaya hidup dan tujuan kesenangan serta gengsi. Maka tempat-tempat makan prestisiuspun tak pernah sepi dari pengunjung. Bahkan, ada yang memesan kursi jauh sebelumnya.

Walau jenis makanan yang dimakan halal adanya, tapi berhati-hatilah ketika batas proporsional tidak lagi diindahkan. Allah berfirman, ''Makan dan minumlah, tapi jangan berlebih lebihan. Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang berlebih lebihan.'' (QS Ala'raaf [7]: 31).

Dikisahkan Nabi Yahya AS berjumpa iblis yang sedang membawa alat pancing. Bertanya Yahya AS, ''Untuk apa alat pancing itu?'' ''Inilah syahwat untuk mengail anak Adam.'' ''Adakah padaku yang dapat kau kail?'' Iblis menjawab, ''Tidak ada, hanya pernah terjadi pada suatu malam engkau makan agak kenyang hingga kami dapat menggaet engkau sehingga berat untuk mengerjakan shalat.'' Yahya AS terkejut. ''Kalau begitu aku tak akan mau kekenyangan lagi seumur hidupku.''

Kekenyangan membuat tubuh menjadi malas bergerak. Mengerjakan ibadah jadi berat sehingga mudah bagi iblis membisikkan tipu dayanya. Tanpa kita sadari otak pun menjadi tidur, tubuh jadi gemuk, lemak menumpuk.

Itu sebabnya, Rasulullah berpesan agar kita makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Para sahabat pun mengikuti ajaran itu. Imam Ghazali mengutip ucapan Abu Bakar Shiddiq RA dalam hal ini, ''Sejak aku memeluk Islam, belum pernah aku mengenyangkan perutku karena ingin dapat merasakan manisnya beribadah, dan belum pernah aku kenyang minum karena sangat rindunya aku pada Ilahi.''

Jelaslah mengapa Alquran dengan lantang membenci tindakan berlebih-lebihan, dalam hal ini banyak makan (kekenyangan). Di samping dari sisi kesehatan akibat banyak makan tentu bisa menimbulkan berbagai penyakit, banyak makan memberatkan pula seseorang untuk beribadah dan lebih celaka lagi, akan mematikan hati nurani.

Hikmah Republika Online, 17-07-2007

Jiwa Kesatria

Oleh : Muhbib Abdul Wahab

Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa suatu hari Rasul SAW didatangi oleh seseorang yang ingin berkonsultasi. Orang itu bertanya, ''Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika ada orang hendak mengambil hartaku?'' ''Jangan kau berikan hartamu kepadanya!''
''Bagaimana kalau orang itu akan membunuhku?''
''Lawanlah dia!''
''Bagaimana jika ia benar-benar membunuhku?''
''Engkau mati syahid.''
''Bagaimana jika aku yang membunuhnya?''
''Dia akan masuk neraka,'' tegas Rasul.
Dialog konsultatif tersebut mengisyaratkan bahwa setiap Muslim harus berjiwa ksatria demi kemuliaan diri (izzah). Berani karena benar, dan rela berkorban demi membela kebenaran.

Sifat ksatria adalah benteng kemuliaan diri. Menjadi Muslim harus terhormat, bermartabat, tidak menjadi sasaran penghinaan dan penistaan. Karena itu, Muslim dilarang bersikap rendah dan lemah diri. ''Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang paling tinggi (derajatnya), jika kamu beriman.'' (QS Ali Imran [3]: 139).

Jiwa ksatria menempa Muslim untuk tegar dalam menghadapi cobaan iman, tampil dengan etos kerja dan produktivitas yang tinggi, dan semangat bersaing yang kuat. Umar bin Al-Khattab pernah menyatakan, ''Dahulu (sebelum Islam) kami sungguh hina dan tidak bermartabat. Lalu Allah membuat kami mulia dengan berislam. Jika mencari kemuliaan di luar Islam, maka Allah akan membuat kita hina.''

Nabi SAW adalah teladan ksatria dalam banyak hal. Beliau ksatria dalam mengakui kekhilafan dan kekurangannya dengan banyak beristighfar. Beliau ksatria dalam memimpin perang melawan musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya. Beliau ksatria dalam mengambil keputusan dengan cepat dan tepat di saat diperlukan. Beliau ksatria dalam membela kaum miskin dan tertindas.

Beliau ksatria dalam menegakkan keadilan hukum bagi siapa pun yang berperkara. Beliau ksatria dalam melindungi dan membahagiakan rumah tangganya. Beliau juga ksatria dalam berbisnis: bersikap jujur, terbuka, dan tidak curang. Beliau ksatria dalam membedakan antara urusan pribadi dan urusan umat, sehingga beliau selalu bertindak penuh kemuliaan, keadilan, dan kemanfaatan bagi semua. Sudah saatnya kita memperbaiki diri agar memiliki jiwa yang tangguh, sesuai tuntunan Islam.

Hikmah Republika Online, 14-07-2007

Tuesday, July 17, 2007

Kesalahan dan Kebaikan

Oleh : Mahmudi Arif D

''Ingatlah olehmu dua perkara, yaitu kesalahanmu kepada orang lain dan kebaikan orang lain kepadamu. Lupakan dua perkara, yaitu kebaikanmu pada orang lain dan kesalahan orang lain kepadamu.''

Nasihat ahli hikmah ini, perlu kita jadikan bahan renungan dan introspeksi dalam upaya mencapai pribadi yang ber-akhlakul karimah. Nilai seseorang bukanlah berada pada penampilan dirinya, bukan pula dari jabatan dan harta benda yang telah dikumpulkan. Seseorang dinilai bukan dari kursi yang diduduki, bukan pula berapa pangkat yang disandang dan tanda jasa yang melekat pada dadanya, serta bukan karena garis keturunannya. Seorang itu dinilai dari budi pekerti luhur yang menghiasi perilakunya.

Dikatakan dalam pepatah Arab, ''Kemuliaan seseorang itu dengan budi pekerti yang baik, bukan karena keturunan.'' Mengapa kita harus mengingat kesalahan yang telah dikerjakan pada orang lain? Dengan mengingatnya, akan menimbulkan perasaan menyesal dalam diri kita, perasaan yang mendorong untuk bertobat kepada Allah, kemudian berusaha memperbaikinya dengan meminta maaf dan tidak akan mengulanginya.

Mengingat kebaikan orang lain terhadap kita akan mendorong kita selalu berbuat baik kepada orang lain. Kehidupan tidak akan terbina dengan baik tanpa kebaikan orang lain, yang pada hakikatnya kebaikan itu untuk dirinya sendiri. Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak sempurna iman seseorang sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.'' (HR Bukhari-Muslim).

Melupakan kebaikan yang telah diperbuat pada orang lain akan mendorong kita menjadi pribadi yang mukhlis. Setiap kebaikan, hanya diniatkan lillah ta'la, seikhlas-ikhlasnya. Sebagai Muslim, sudah semestinya menjaga agar hati selalu suci dari kemunafikan, perbuatan harus selalu suci dari riya' lidah harus selalu suci dari kebohongan. Sedangkan dengan melupakan kesalahan orang lain, akan mendorong kita menjadi pribadi pemaaf. Kita akan gampang memaafkan, sebesar apa pun kesalahan orang.

Hikmah Republika Online, 13-07-2007

Wednesday, July 11, 2007

Istighfar

Oleh : Wiwik Ariyani

''Setiap manusia pasti pernah berbuat dosa dan sebaik-baiknya orang yang berdosa adalah yang bertaubat.'' (HR Ibnu Majah).

Manusia tidaklah diciptakan seperti malaikat yang selalu taat kepada Allah SWT, dan tidak pula seperti Setan yang selalu berbuat dosa. Hadis di atas menunjukkan manusia pasti pernah berbuat dosa, karenanya istighfar merupakan kewajiban harian yang harus selalu dilakukan setiap manusia.

Semestinya, istighfar tidaklah sekadar ucapan. Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya At-Taubah Ila-llah, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan sehingga Allah SWT benar-benar menerima istighfar kita. Pertama, istighfar harus disertai dengan keikhlasan dan niat yang benar, ''Seluruh amal perbuatan manusia ditentukan oleh niatnya. Dan, balasan amalan seseorang sesuai dengan apa yang diniatkannya.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua, istighfar harus dilakukan dalam keadaan suci, baik dari hadas besar ataupun kecil. Rasulullah SAW bersabda, ''Setiap orang yang berbuat dosa, kemudian ia bangun dan bersuci serta memperbaiki bersucinya, kemudian ia beristighfar kepada Allah SWT, maka Allah SWT pasti mengampuninya.'' (HR Bukhari).

Ketiga, ada keselarasan antara hati dan lisan. Janganlah lisan beristighfar akan tetapi hatinya masih ingin terus berbuat dosa. Ibnu Abbas berkata, ''Orang yang beristighfar kepada Allah SWT dari suatu dosa, sementara ia masih terus menjalankan dosa itu maka ia seperti orang yang sedang mengejek Tuhannya.''

Keempat, hendaknya istighfar dilakukan saat shalat tahajud, karena hal itu akan menambah kekhusyukan, terbebas dari riya dan termasuk waktu mustajab. Firman Allah SWT, ''Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).'' (QS Adz-Dzariaat [51]: 18).

Kelima, lafal istighfar bagusnya sesuai dengan Alquran dan sunah Nabi SAW, karena kita akan mendapat dua pahala sekaligus, pahala mengikuti Alquran dan sunah dan pahala istighfar, Seperti yang dicontohkan Alquran, ''Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.'' [QS Al A'raaf [7]: 23]. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita. Wallahu a`lam bish-shawab.


Hikmah Republika Online, 11-07-2007

Tuesday, July 10, 2007

Nasihat

Oleh : Ilham Maulana

''Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.'' (QS Al 'Ashr [103]: 1-3).

Pada ayat ketiga surat Al 'Ashr di atas ada kata tawashi bil haq artinya saling menasihati dalam kebenaran. Menurut ilmu bahasa Arab, kata tawashi ber-sighah tafa'ul. Jadi, tawashi merupakan hubungan timbal balik dari kedua pihak. Dalam arti kata, kita menasihati orang lain dalam hal kebenaran, tetapi kita juga menerima nasihat orang lain yang serupa.

Tawashi bil haq berarti masing-masing pihak saling menasihati pihak lain soal kebenaran. Adapun orang yang paling dekat untuk saling memberikan nasihat adalah mereka yang berada dalam tanggung jawab dan pengayoman kita, seperti istri atau suami, anak, dan saudara. Rasulullah SAW selalu mendengarkan nasihat dari para sahabat, sebagaimana disebutkan dalam beberapa peristiwa yang dirangkum kitab-kitab sunah dan sirah. Beliau disebutkan senantiasa menerima pendapat orang lain bahkan terkadang mengesampingkan pendapat sendiri. Beliau menerima masukan dari mana saja untuk kebaikan diri dan umat manusia.

Hal yang sama dilakukan oleh para sahabatnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam khutbah pertama kalinya di atas mimbar berkata, ''Wahai sekalian manusia, apabila kalian melihatku dalam kebenaran, maka bantulah aku. Dan, bilamana kalian melihatku dalam kebatilan, maka cegahlah aku. Taatilah aku selama aku menaati Allah. Namun, apabila aku bermaksiat kepada-Nya, maka tiada alasan bagi kalian untuk menaatiku.''

Setiap Muslim adalah penyeru dakwah kepada Allah. Barangsiapa belajar sesuatu, ia berkewajiban mengamalkan dan mengajarkan orang lain. Inilah dakwah. Ada yang berdakwah dengan kata-kata yang baik, ada pula yang berdakwah dengan persahabatan yang baik, dengan uswah hasanah. Sudah saatnya seorang Muslim tidak lagi hidup dengan disibukkan mengurusi urusan sendiri dan menutup mata pada peristiwa yang menimpa saudara-saudara Muslim lainnya. Tawashi bil haq adalah salah satu ciri Muslim sejati. Wallahu'alam bish-shawab.

Hikmah Republika Online, 10-07-2007

Friday, July 06, 2007

Jujur dan Adil

Oleh : Mulyana

Setiap pesta demokrasi atau pemilihan umum di belahan dunia manapun selalu merujuk pada dua pilar utama untuk mengukur kesuksesan pelaksanaannya. Dua pilar utama ini adalah jujur dan adil. Kedua pilar ini menjadi penting karena sangat menentukan legitimasi dan kredibilitas pelaksanaan suatu pesta demokrasi.

Namun, jujur dan adil sejatinya merupakan nilai yang universal yang sejatinya dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan, tidak hanya dalam pesta demokrasi belaka. Dalam bermuamalah, hukum, hidup bermasyarakat, dan bahkan mengelola sebuah negara pun nilai-nilai kejujuran dan keadilan harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

Pada dasarnya setiap manusia memiliki nurani untuk selalu jujur. Tetapi, karena keangkuhan, kebodohan, atau egonya, manusia sering menggadaikan kejujuran dirinya. Coba kita perhatikan firman Allah yang menjelaskan bahwa setiap manusia mengakui Tuhan Yang Maha Pencipta itu adalah Allah, tetapi karena keangkuhan manusia tidak mau beribadah kepada Allah.

Firman-Nya, ''Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Niscaya mereka menjawab, ''Allah.'' Katakanlah, ''Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?'' Katakanlah, ''Cukuplah Allah bagiku.'' Kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri. (QS Az Zumar [39]: 38).

Demikian pula halnya dengan adil. Allah menjelaskan bahwa berbuat adil adalah lebih dekat dengan takwa. Allah berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Al Maidah [5]: 8).

Semoga kita selalu menerapkan prinsip-prinsip yang jujur dan adil dalam segala aspek kehidupan, sehingga kita bisa menjadi orang dan bangsa yang bermartabat. Insya Allah.

Sumber : Hikmah Republika Online, 06-07-2007

Wednesday, July 04, 2007

Amunisi Taqwa

Oleh : Bondan Waluyo

Kaum Muslim belum banyak yang memahami dan mengamalkan esensi takwa. Masih banyak kaum Muslim memahami esensi takwa hanyalah sebatas ajaran agama semata. Padahal, ajaran takwa dalam Islam sungguh suatu muatan nilai moral yang dapat mengantarkan manusia sukses dalam membangun derajat kemulian di hadapan Allah SWT maupun di hadapan manusia.

Allah SWT berfirman, '' .... Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu adalah yang paling bertakwa.'' (QS Alhujurat [49]: 13). Rasulullah pun menegaskan, ''Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat bentuk dan harta kamu sekalian, namun sungguh Allah hanya melihat hati dan perbuatan kalian.'' (HR Muslim).

Dalam dua sumber itu dapat dipetik makna. Pertama, esensi takwa adalah derajat kemulian yang paling mulia di hadapan Allh SWT. Kedua, esensi takwa memiliki ajaran moral yang bisa memuliakan derajat seseorang dalam membangun hubungan sosial antarmanusia, baik dalam hidup berumah tangga, hidup bermasyarakat, maupun hidup bernegara.

Imam Khusairi dalam kitabnya Risalah Al-Khusairiyyah dijelaskan esensi takwa adalah tawaduk (rendah hati). Contoh amalan rendah hati kita jadi orang kaya, orang pandai, orang yang punya jabatan tetap rendah hati karena sadar semua kekayaan, ilmu, dan jabatan hanyalah milik Allah SWT.

Lalu qanaah (mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan-Nya). Contoh amalan qanaah mempergunakan kekayaan, keilmuan, dan jabatan untuk kemaslahatan umat. Jikalau dalam hidup bermasyarakat dan bernegara terbangun umat yang qanaah tidak akan terjadi kemiskinan, kebodohan, dan penyelewengan jabatan karena sadar bahwa kekayaan, ilmu, dan jabatan adalah amanah Allah SWT yang akan dimintai pertanggungjawaban-Nya.

Ketiga adalah wirai (malu berbuat maksiat kepada Allah dan manusia). Jikalau semangat wirai terbangun dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, maka tidak akan terjadi tindakan-tindakan tak terpuji seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan lain sebagainya.

Dan keempat adalah yaqin (optimistis). Kita harus yakin dalam menghadapi segala persoalan hidup, jangan putus asa dalam persoalan hidup karena hidup kita dan mati kita hanyalah milik Allah SWT.

Kesimpulannya, semangat takwa akan mengantarkan kita menuju kemulian di hadapan Allah SWT. Dengan empat 'anumisi' berlandas takwa itu -- tawaduk, qanaah, wirai, dan yaqin maka akan terbangun manusia yang mulia, masyarakat yang maju, dan bangsa yang berperadaban tinggi. Insya Allah.

Sumber : Hikmah Republika Online, 04-07-2007

Tuesday, July 03, 2007

Malu pada Allah

Oleh : Muhbib Abdul Wahab

''Jika engkau tidak merasa malu, perbuatlah sekehendakmu.'' (HR Abu Daud). Hadis ini memberikan petunjuk berharga kepada kita bahwa kendali moral itu terletak pada rasa malu. Jika seseorang sudah tidak lagi memiliki rasa malu, niscaya pelanggaran hukum dan moral menjadi hal biasa, tanpa rasa salah dan dosa.

Malu pada tempatnya adalah kunci keutamaan. Rasa malu membuat Muslim bersikap hati-hati untuk tidak melanggar larangan Allah. Rasa malu mengantarkan kita pada sikap iffah, yaitu memelihara diri dari sifat tidak terpuji dan menjaga martabat sebagai seorang Muslim, sehingga kita selalu menjauhi perbuatan maksiat dan dosa.

Rasulullah SAW pernah memberi nasihat kepada para sahabatnya, ''Hendaklah kalian merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.'' Para sahabat menimpali, ''Alhamdulillah kami sudah merasa malu kepada Allah.'' Rasul SAW lalu menyatakan, ''Tidak, kalian belum merasa malu. Orang yang betul-betul merasa malu di hadapan Allah hendaklah menjaga kepala berikut isinya (pikiran), menjaga perut berikut isinya (makanan), dan hendaklah mengingat mati dan bencana. Siapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat, hendaklah meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang sudah melakukan itu semua, berarti telah betul-betul mempunyai rasa malu kepada Allah.'' (HR Al-Tirmidzi).

Sungguh kesadaran untuk merasa malu kepada Allah itu sangat penting, baik bagi rakyat lebih-lebih bagi pejabat. Sebagai rakyat kita merasa malu kepada Allah karena belum sepenuhnya mampu menaati perintah dan larangan-Nya, dan juga belum mampu berbuat banyak untuk kemajuan bangsa. Para pejabat semestinya juga merasa malu kepada Allah karena banyak amanah rakyat yang belum dapat diwujudkan. Janji-janji sewaktu kampanye belum banyak dilaksanakan. Kebijakan yang diambil masih banyak yang melukai rasa keadilan rakyat.

Malu itu perisai diri. Merasa malu kepada Allah berarti membentengi diri dengan meneladani akhlak Allah sebagaimana tecermin dalam Asmaul Husna. Rasulullah SAW adalah teladan pemimpin yang memiliki rasa malu kepada Allah sangat tinggi, sehingga beliau tidak mau merepotkan rakyatnya.

Jadi, mari kita malu pada tempatnya. Malu jika anak kita rajin shalat, sementara kita tidak. Malu jika banyak anak negeri ini tidak dapat bersekolah, sementara kita yang kebetulan wakil rakyat atau pejabat publik sibuk minta fasilitas.

Sumber : Hikmah Republika Online, 03-07-2007